Jakarta, CNN Indonesia -- Berbicara makanan, manusia punya kebiasaan buruk yang dianggap normal. Di beberapa daerah, menyisakan sedikit makanan di piring dianggap gestur kesopanan. Ada juga yang menganggap piring yang licin tandas seusai makan adalah perilaku rakus.
Tapi, kebiasaan menyisakan makanan yang semula sebagai gestur kesopanan itu, berubah buruk. Pasalnya kini, banyak masyarakat di dunia yang berakhir membuang-buang makanan mereka.
Salah satu negara dengan kasus pemborosan makanan terparah adalah Amerika Serikat. Studi yang dilakukan
The Guardian menyebut Amerika membuang setengah makanan mereka, terutama sayur dan buah. Hal itu, menurut para pakar, karena konsumen membuang lebih dari sekedar bagian yang dianggap ‘sampah’ saat memasak makanan. Pun ketika di makan, masih ada lagi bagian tersisa yang kemudian terbuang ke tempat sampah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, obsesi konsumen mendapatkan bahan makanan yang sempurna tanpa cacat, dari bagian kulit hingga isinya, membuat banyak bahan makanan yang tersia-siakan.
“Jika dianalagikan, ini seperti kulit wajah yang harus bebas jerawat,” kata Jay Johnson, distributor buah dan sayur di Florida dan Carolina, seperti dilansir
Daily Meal. “Apa yang terjadi di bisnis makanan saat ini, semua harus punya tampilan sempurna atau kemudian terbuang. Jika ada bahan makanan yang punya cacat, sudah pasti tidak akan jadi pilihan konsumen. Padahal belum tentu produk tersebut buruk.”
Tidak hanya menumpuk sampah, pemborosan bahan makanan ini juga merugikan secara ekonomi. Guardian menyebut, nilai kerugiannya bisa mencapai US$1600 per keluarga.
Tapi di sisi lain, temuan ini mendorong adanya gerakan baru, seperti beberapa supermarket yang menawarkan diri membeli buah dan sayuran berpenampilan ‘buruk’ untuk kemudian diolah menjadi makanan siap saji.
Lainnya, pengusaha kuliner dan restoran pun kini banyak yang mengampanyekan gerakan anti sampah makanan, dimana sisa makanan yang tidak terjual diberikan kepada tunawisma secara cuma-cuma.
(les)