Jakarta, CNN Indonesia -- "Tak ada yang lebih penting dibanding kesehatan kita—itulah aset utama kita." Demikian disampaikan oleh senator Amerika Serikat Arlen Specter, suatu kali.
Tak salah lagi, kesehatan memang motor kehidupan. Demi mengupayakan kehidupan yang beriringan dengan kesehatan, kalangan life science—bidang studi sistematis dan holistik organisme hidup—melakukan serangkaian upaya.
Salah satu upaya yaitu membentuk wadah semacam forum. Indonesia sendiri memiliki Forum Riset Life Science Nasional (FRLN). Forum ini baru saja digelar pada 24-25 Agustus 2016 kemarin, diikuti tak kurang 400 peneliti dari sejumlah perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyelenggaraan FRLN digagas oleh Bio Farma dan didukung oleh Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi
. Setiap tahun, FRLN mengusung tema berbeda. Kali ini, mengenai
Tantangan Menuju Kemandirian Riset Nasional Bidang Life Science.
“FRLN akan meningkatkan sinergi riset bidang life science antara pemerintah, perguruan tinggi, industri, serta komunitas pendukungnya,” ujar Direktur Utama Bio Farma Iskandar dalam siaran pers yang diterima redaksi CNNIndonesia.com.
Sebelumnya, pada 2015, wadah ini bernama Forum Riset Vaksin Nasional (FRVN). Perubahan nama ini dilakukan dengan tujuan menjadikan FRLN memperluas cakupan pengembangan produknya, tidak hanya sebatas vaksin, tapi juga produk
life science yang mencakup semua produk yang dihasilkan dari organisme hidup melalui proses bioteknologi.
Produk life science nasional akan mendorong tersedianya biofarmasetikal dengan harga terjangkau bagi rakyat.Direktur Utama Bio Farma Iskandar |
Mandiri di Bidang FarmasiSejalan dengan tema yang diusung, kata Iskandar, FRLN tahun ini ditujukan untuk mempercepat hilirisasi (pelaksanaan) serta komersialisasi produk life science yang kelak diakui sebagai produk nasional.
Digelarnya FRLN juga dianggap sebagai dukungan terhadap Inpres No. 6 Tahun 2016, yang menyatakan pemerintah mendorong pengembangan biofarmasetikal, termasuk di dalamnya penguasaan teknologi dan inovasi bidang farmasi, serta alat kesehatan.
“Produk life science nasional akan mendorong tersedianya biofarmasetikal dengan harga terjangkau bagi rakyat,” ujar Iskandar.
Sepanjang forum riset yang sudah berlangsung sejak 2011, telah dibentuk konsorsium penelitian yang didukung Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi seperti adanya lima konsorsium penyakit Tuberkulosis, Hepatitis B, Dengue, HPV dan HIV.
Forum ini telah pula membentuk tujuh
working group, antara lain bidang Eritropoietin (EPO), Rotavirus, Malaria, Influenza, Stem Cell, Delivery Systems & Adjuvant dan Pneumokokus.
Konsorsium dan working group riset di bidang life science tersebut, disampaikan Iskandar, masih memerlukan dukungan pengembangan, khususnya di bidang sumber daya manusia, platform teknologi terbaru, laboratorium inti yang dapat digunakan bersama, serta pendanaan yang berkesinambungan agar riset dapat dikomersialkan.
Menurut Iskandar, riset life science saat ini masih menghadapi banyak kendala dan tantangan. Oleh karenanya, ia menilai perlu adanya langkah nyata untuk mengidentifikasi hambatan yang dihadapi secara komprehensif untuk mendapatkan solusi yang tepat.
Upaya percepatan hilirisasi produk nantinya akan ditangani Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang akan menindaklanjuti penelitian yang telah memiliki hak paten dan siap dikomersialisasi.
Sementara, dalam bidang pendanaan, Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP) yang berada di Kementerian Keuangan diharapkan dapat mendorong riset strategis dan inovatif yang implementatif dan menciptakan nilai tambah melalui pendanaan riset.
Percepatan Hasil ForumDr. Maharani, peneliti senior Bio Farma dan Ketua Panitia FRLN 2016, menyatakan secara resmi mengenai dua agenda besar FRLN 2016, sebagaimana tertera dalam siaran pers.
Pada hari pertama, FRLN membahas capaian hasil konsorsium dan working group sehingga menghasilkan rekomendasi percepatan ke arah komersialisasi. Pada hari ke-dua, hasil dan rekomendasi tersebut disampaikan kepada para
stake holder agar percepatan komersialisasi produk life science dapat terkawal dengan baik.
Selain pembahasan utama, pada FRLN tahun ini juga dilakukan serah terima antigen klon TB dari Konsorsium Tuberculosis kepada Kementerian Kesehatan Indonesia, yang selanjutnya diserahkan kepada Bio Farma, untuk pengembangan ke skala industri.
Konsorsium riset Tuberculosis terdiri dari beberapa institusi, yakni Bio Farma, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga, Universitas Hassanudin, Universitas Brawijaya, Universitas Mataram, Universitas Jember, Unika Atma Jaya dan RS Rotinsulu. Sedangkan Pusat Biomedik dan Teknologi Dasar Kesehatan Litbangkes berperan sebagai koordinator.
Di luar agenda tersebut, FRLN tahun ini juga mengusung dua penandatanganan nota kesepahaman, yakni antara Bio Farma dengan Rektor Universitas Nusa Cendana Kupang, NTT, dalam kaitan kerja sama riset produksi anti serum, serta antara Bio Farma dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Republik Indonesia, dalam upaya melindungi pengelolaan terhadap kekayaan intelektual.
Menurut Maharani, percepatan penyebaran produk life science memerlukan dukungan pihak-pihak terkait, seperti kebijakan, regulasi dan pendanaan.
"Dengan seluruh rangkaian acara ini, kami harapkan riset life science dapat segera menjadi produk nasional yang mandiri guna memenuhi kebutuhan biofarmasetikal, farmasi, dan alat kesehatan dalam negeri."
(rah/vga)