Jakarta, CNN Indonesia -- Untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup, bekerja menjadi jalan yang diambil manusia. Terkadang tuntutan pekerjaan serta harga kebutuhan yang terus meningkat membuat seseorang mengambil jam kerja lebih atau lembur.
Namun tanpa disadari, bekerja ternyata mampu membunuh seseorang secara harafiah.
Melansir
Counsel and Heal, sebuah studi yang dilakukan para peneliti dari Australian National University (ANU) menemukan, standar bekerja 48 jam dalam satu minggu dapat membunuh seseorang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dokter Huong Dinh, peneliti utama ANU dari Fakultas Kesehatan Penduduk menjelaskan, standar jam kerja yang dinilai terlalu lama dapat memicu serangan berbagai penyakit kronis.
Kondisi ini akan lebih parah untuk pada wanita. Pasalnya, usai bekerja di kantor, wanita umumnya masih harus mengerjakan berbagai pekerjaan ekstra di rumah.
Umumnya penyakit tersebut timbul akibat stres berkepanjangan. Kaum pekerja juga kerap mengabaikan kesehatan seperti melewati sarapan, serta konsumsi makanan yang tidak sehat.
"Jam kerja adalah penyebab yang paling mengikis kesehatan mental dan fisik seseorang, karena mereka cenderung melewatkan jam makan dan tidak menjaga diri sendiri," ujar Dinh.
Pernyataan tersebut timbul setelah para peneliti menganalisis data hasil survei yang dikumpulkan dari Household, Income and Labour Dynamics in Australia (HILDA). Dari survei tersebut, sebanyak 8.000 orang berusia 24 - 65 tahun ambil bagian sebagai responden.
Dari analisis ini, para peneliti melihat bagaimana batas jam kerja dapat mempengaruhi kesehatan pekerja.
Para peneliti menemukan, agar seseorang dapat menjalani hidup sehat, jam kerja yang dianjurkan adalah 39 jam per minggu. Jika diasumsikan hari kerja per minggu adalah lima hari, maka setiap hari, jam kerjanya adalah 7-8 jam.
Sementara bagi perempuan yang melakukan pekerjaan rumah, jam kerja di kantor bahkan dapat dipersingkat hingga 34 jam per minggu.
Bagi pria, jam kerja dapat mencapai angka maksimal 47 jam per minggu. Hal tersebut lantaran para pria umumnya tidak melakukan pekerjaan rumah.
Dinh mengatakan perempuan merupakan pihak yang secara umum paling dirugikan dengan sistem jam kerja tersebut. Meskipun mampu mengerjakan pekerjakan sama baiknya dengan pria, wanita tetap memiliki keterbatasan secara kodrat.
"Mengingat tuntutan yang sering dibebankan pada wanita, tidak mungkin bagi sebenarnya untuk bekerja lebih seperti yang diminta perusahaan, kecuali mereka dapat memperhatikan kesehatannya," ujar Dinh.
Lebih lanjut, peneliti menilai perubahan terhadap jam kerja harus dilakukan untuk menciptakan kehidupan kerja yang sehat serta membuat pekerjaan rumah lebih seimbang.
Dengan hasil ini, diharapkan masyarakat tidak lagi melihat lembur sebagai sarana untuk membuat pekerjaan jadi lebih baik.
(okt/chs)