Candu Bekerja Bisa Jadi Berkaitan dengan Gangguan Mental

Lesthia Kertopati | CNN Indonesia
Senin, 20 Jun 2016 09:11 WIB
Studi terbaru menyebut statistik gangguan mental para pecandu kerja alias workaholic, lebih tinggi dibandingkan mereka yang bekerja moderat.
Studi terbaru menyebutkan candu kerja berkaitan dengan gangguan mental. (Picjumbo/Viktor Hanacek)
Jakarta, CNN Indonesia -- Studi terbaru mengindikasikan bahwa statistik gangguan mental diantara para pecandu kerja alias workaholic, lebih tinggi, dibandingkan mereka yang bekerja moderat.

Mengutip Fox News, beberapa gangguan mental yang menyertai para pecandu kerja adalah cemas berlebihan, depresi dan Obsessive-Compulsive Disorder atau OCD.

Cecilie Schou Andreassen, pemimpin studi, menyebutkan bahwa para workaholic memiliki nilai tertinggi pada tes psikologi, dibandingkan partisipan lainnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ilmuwan yang terlibat dalam studi menyimpulkan, satu dari empat partisipan workaholic, punya kecenderungan OCD. Sementara satu dari tiga partisipan, terus-menerus merasa cemas dan sekitar 10 persen para pecandu kerja yang terlibat dalamm penelitian, menderita depresi.

Adapun, partisipan non-workaholic yang punya gangguan kelainan serupa, dalam studi tersebut, jumlahnya hanya 25 persen dari kelompok workaholic.

Studi dilakukan berdasarkan sejumlah pertanyaan, diantaranya waktu kerja, tingkat stres, serta cara melakukan pekerjaan dan memenuhi tenggat waktu.

Namun, peneliti mempertegas bahwa pekerja keras tidak dikategorikan dalam kelompok pecandu kerja. Studi tersebut juga tidak mengeksplorasi waktu kerja lembur dan efeknya bagi kesehatan mental.

“Setiap perilaku manusia bisa berubah menjadi penyakit. Itu adalah tendensi kehidupan manusia, bila dilakukan berlebihan. Salah satunya adalah pekerjaan,” kata Andreassen, dikutip Inquistr.

Dia mengatakan istilah ‘workaholic’ telah banyak disalahgunakan di dunia modern. “Workaholic kini dianggap normal,” ujarnya.

Adapun Profesor Psikologi University of Southern California, Steve Sussman mengatakan penelitian tersebut masih ambigu. Pasalnya perilaku para workaholic sebenarnya mendekati para pecandu lainnya, termasuk pecandu obat-obatan terlarang.

“Kerja sebagai candu, belum banyak dipahami oleh masyarakat,” terang Sussman. “Beberapa spesialis sudah mulai meneliti tentang itu, tapi lainnya masih menyebutnya sebagai perilaku kompulsif.”

Sementara Assistant professor Malissa Clark dari University of Georgia, mengungkapkan, workaholic seharusnya masuk dalam slaah satu penyakit kejiwaan yang harus ditangani oleh terapis profesional.

“Banyak terapis profesional tidak memasukkan candu kerja ini sebagai gangguan mental. Padahal, jika ini berlangsung lama, imbasnya adalah kehidupan sosial dan kesehatan pribadi yang terganggu,” terang Clark.

Dia menyebut, candu kerja bisa menghancurkan hubungan antara pasangan serta keluarga karena si workaholic tidak bisa ‘berhenti’ bekerja.

Oleh karena itu, Clark menyebutkan atasan di kantor harus bisa mewaspadai gejala kecanduan kerja ini dan memberikan waktu libur pada karyawan workaholic. Hal tersebut bisa menyadarkan si pecandu kerja bahwa sudah saatnya berhenti.

Meskipun demikian, masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut guna mengonfirmasi keterkaitan antara candu kerja dan gangguan mental. Andreassen mengatakan, para pekerja yang berprestasi di kantor, belum tentu punya status mental yang sehat.

(les)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER