Jakarta, CNN Indonesia -- Eca tampak tertawa ceria bersama perempuan-perempuan yang sedang memperjuangkan hak-haknya di peringatan Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day di Jakarta, pada Rabu (8/3).
Sesekali dia membetulkan tatanan rambutnya yang dia ikat model cepol, memperlihatkan rahang jenjangnya. Jika dilihat sekilas Eca memang seperti perempuan lainnya, memakai rok, berdandan, menggunakan make up tipis, bahkan sesekali terdengar sedang membicarakan tampilan polisi lalulintas yang menurutnya menarik dengan perempuan lainnya di samping jalan.
Namun, siapa yang menduga jika perempuan cantik dengan leher jenjang ini adalah perempuan transgender yang sedang memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan tidak utuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Iya, aku
pede loh jadi transgender, transeksual, aku gemulai, cantik, jadi memang aku tidak pantas jadi laki-laki," kata Eca dengan raut wajah bahagia. Ia mengaku dirinya menjadi transgender sejak remaja.
Dari pengalaman yang dialaminya, Eca mengungkapkan bahwa tidak mudah baginya hidup sebagai 'perempuan tidak utuh' di Indonesia. Bukan hanya diperlakukan tidak adil dan pandangan jijik dari masyarakat, dukungan secara hukum pun masih bisa dibilang minim di Indonesia.
Selama ini, kata Eca masyarakat menilai kaum transgender adalah bagian masyarakat yang berperilaku tidak senonoh dengan masa depan yang sangat suram.
"Ya kan mereka tahunya waria kerja apa
sih, paling
ngamen, atau jual diri, tapi kan
enggak semuanya begitu," kata Eca.
Padahal, kata dia, saat ini banyak para perempuan tidak utuh yang memutuskan untuk membuka usaha salon kecantikan atau membuka butik di beberapa outlet terkenal. Bahkan tidak sedikit dari mereka juga yang memutuskam berkeluarga dan mengadopsi anak bersama pasangannya.
Oleh karena itu, Eca menilai perlu adanya perubahan pola pikir dan paradigma masyarakat terhadap para perempuan tidak utuh ini.
Kurangnya perlakuan adil dan sulitnya akses administrasi pun bukan lagi hal baru yang mereka rasakan. Eca mengatakan, selama ini dia dan teman-teman sesama transgender dan transeksual selalu dianggap sebagai kaum terpisah, bahkan dirinya merasakan sulitnya memiliki akun tabungan di bank.
"Itu
loh, kita mesti mengisi formulir di
teller, ada kolom gender pilih
female or
male, kalau kita isi
male dia lihat
kok aku ya dandan, disangkalah kami banci.
Sakit loh, kita ini bukan banci
yah, kita ini perempuan yang tidak utuh," kata Eca.
 Bendera pelangi di antara peserta aksi International Women's Day di Jakarta, Rabu (8/3). (Foto: CNN Indonesia/Tiara Sutari) |
Cerita DeaLain Eca, lain pula cerita Dea, ibu dua anak asal Manado berusia 32 tahun. Dea yang juga turut aksi peringatan hari perempuan internasional itu menyuarakan haknya sebagai perempuan, dan sekaligus sebagai pecinta sesama jenis atau lesbian.
Bersama teman-teman lesbiannya, Dea membawa bendera warna pelangi yang merupakan bendera identitas LGBT, sambil menggendong putranya yang baru berusia 16 bulan itu.
"Saya tidak percaya institusi pernikahan, tapi sayangnya negara kita tidak seperti itu, kedua anak saya mengalami kesulitan ketika mengurus administrasi kependudukan," kata Dea.
Sebagai penyuka sesama jenis yang memutuskan untuk memiliki keturunan, Dea tidak bisa hidup bersama dengan ayah dari kedua anaknya. Maka, dia memutuskan merawat anak-anaknya itu seorang diri.
Namun, kehidupan sosial dan bermasyarakat kata Dea justru tidak semudah saat dia memutuskan perkara hidupnya sendirian. Dari mulai soal administrasi, hingga perkara ke Rumah Sakit pun Dea sering dipersulit.
"Ada yang namanya BPJS, dan juga ketika ke puskesmas untuk imunisasi mereka bertanya mana suami saya, mana akta lahir anak saya yang menggunakan nama ayahnya," kata Dea.
Kesulitan-kesulitan itu bahkan tidak terhitung dengan cibiran masyarakat sekitar. Sepanjang hidupnya sejak dia memutuskan untuk menjadi orangtua tunggal yang lesbian dengan dua anak yang harus dibesarkan, dia telah mengalami diskriminasi bukan hanya dari masyarakat sekitarnya, tetapi bahkan perlakukan buruk dari aparat pemerintah saat dia melakukan tugasnya sebagai masyarakat yang taat, mengurus administrasi kependudukan.
"Saya hanya ingin bertanya, memang salah jika seorang perempuan penyuka sesama kemudian memutuskan membesarkan dua orang anak tanpa seorang ayah? Kenapa harus selalu nama ayah di akta kelahiran," ujarnya lagi.
Dea menilai sistem patriarki di Indonesia masih terlalu kuat dan ini kerap jadi persoalan yang membebaninya.
(rah)