Sisi Kelam Dunia Mode

Elise Dwi Ratnasari | CNN Indonesia
Jumat, 10 Mar 2017 08:26 WIB
Melalui pameran bertajuk Fast Fashion: The Dark Side of Fashion, publik diajak melihat sisi lain dunia mode yang jauh dari glamor.
Melalui pameran bertajuk Fast Fashion: The Dark Side of Fashion, publik diajak melihat sisi lain dunia mode yang jauh dari glamor. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mendengar kata fashion, seketika yang terlintas adalah label busana ternama, gemerlap arena catwalk, busana dengan warna atau potongan beragam, hingga busana berpotongan sederhana tapi dengan harga fantastis.

Nyatanya, di balik segala hal yang serba glamor itu, fesyen menyimpan sisi kelamnya yang jarang muncul ke permukaan. Tidak semua orang menyadari proses yang harus dilalui sepotong kaos yang mereka kenakan saat ini, atau, mereka mungkin tidak menyadari bahwa mereka adalah korban dari dunia fesyen itu sendiri.  

Pandangan kritis itu muncul dalam pameran mode yang menjadi bagian dari proyek IKAT/eCUT, Goethe Institute. Sesuai tajuknya yakni Fast Fashion: The Dark Side of Fashion, pameran yang berlangsung dari 9 Maret hingga 9 April di Gudang Sarinah, Pancoran, Jakarta Selatan ini menyuguhkan sisi kelam dari dunia fesyen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diawali dengan konsep Fast Fashion itu sendiri. Dalam konteks ini, fast fashion (seperti halnya fast food pada makanan), pakaian diproduksi secara massal dengan proses produksi cepat termasuk proses desain, manufaktur dan penjualan.

Pada akhirnya, Fast Fashion menimbulkan Fast Consumer yakni konsumen dengan cepat memutuskan membeli pakaian karena tren dan harga yang semakin murah ketika membeli lebih banyak.

Claudia Banz, kurator pameran, mengatakan sisi baik dari Fast Fashion adalah harga yang terjangkau dan kemudahan dalam akses, ditambah peran media sosial saat ini. Tapi, ada harga yang harus dibayar.

"Baju model baru keluar, dua minggu kemudian ada model baru lagi. Lalu orang merasa perlu untuk punya yang baru. Fast fashion membentuk kebutuhan baru," jelas Claudia.

Oleh karenanya, kata dia, pameran ini mengangkat tema besar akan konsumerisme. Mau tidak mau, konsumerisme membawa dampak pada produksi massal pakaian demi memenuhi permintaan konsumen. Tapi, konsumen mungkin tidak tahu siapa dan bagaimana kondisi pekerja yang turut berperan dalam sepotong baju yang mereka kenakan.

Untuk lebih meyakinkan, Claudia lalu menunjukkan foto-foto korban peristiwa runtuhnya pabrik garmen Rana Plaza, Daka, Bangladesh pada 23 April 2013.

Pada insiden itu, ribuan pekerja tewas, ratusan hilang dan luka-luka. Pekerja di Rana Plaza adalah bagian dari empat juta pekerja garmen di Bangladesh. Mereka melayani pasar internasional, Eropa, Amerika dan brand internasional. Peristiwa ini, menurut Claudia, menjadi gambaran betapa para pekerja berusaha bertahan hidup dengan bekerja di tempat yang tidak layak.

"Mereka bekerja di tempat yang rapuh. Mereka korban nyata dari fast fashion," ucapnya.

Dari sisi konsumen sendiri, konsumerisme membuat orang terus membeli pakaian namun banyak tidak terpakai dan berakhir di almari.

Berdasarkan riset, Claudia menyebut, di Eropa dari sekian pakaian yang dimiliki, sekitar 40 persen hanya menghuni almari. Di Jerman, orang mendonasikan pakaian mereka yang tidak dipakai. Tapi rupanya pebisnis memanfaatkan pakaian ini dan dijual ke negara lain, seperti di Afrika.

"Ketika pameran ini diadakan di Jerman, saya bilang pada warga Jerman dan mereka syok. Mereka pikir pakaian bekas itu didonasikan," ujar Claudia.

baca berikutnya...

Perjalanan Sepotong Jeans

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER