Jakarta, CNN Indonesia -- Mendengar kata
fashion, seketika yang terlintas adalah label busana ternama, gemerlap arena catwalk, busana dengan warna atau potongan beragam, hingga busana berpotongan sederhana tapi dengan harga fantastis.
Nyatanya, di balik segala hal yang serba glamor itu, fesyen menyimpan sisi kelamnya yang jarang muncul ke permukaan. Tidak semua orang menyadari proses yang harus dilalui sepotong kaos yang mereka kenakan saat ini, atau, mereka mungkin tidak menyadari bahwa mereka adalah korban dari dunia fesyen itu sendiri.
Pandangan kritis itu muncul dalam pameran mode yang menjadi bagian dari proyek IKAT/eCUT, Goethe Institute. Sesuai tajuknya yakni Fast Fashion: The Dark Side of Fashion, pameran yang berlangsung dari 9 Maret hingga 9 April di Gudang Sarinah, Pancoran, Jakarta Selatan ini menyuguhkan sisi kelam dari dunia fesyen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diawali dengan konsep Fast Fashion itu sendiri. Dalam konteks ini, fast fashion (seperti halnya fast food pada makanan), pakaian diproduksi secara massal dengan proses produksi cepat termasuk proses desain, manufaktur dan penjualan.
Pada akhirnya, Fast Fashion menimbulkan Fast Consumer yakni konsumen dengan cepat memutuskan membeli pakaian karena tren dan harga yang semakin murah ketika membeli lebih banyak.
Claudia Banz, kurator pameran, mengatakan sisi baik dari Fast Fashion adalah harga yang terjangkau dan kemudahan dalam akses, ditambah peran media sosial saat ini. Tapi, ada harga yang harus dibayar.
"Baju model baru keluar, dua minggu kemudian ada model baru lagi. Lalu orang merasa perlu untuk punya yang baru. Fast fashion membentuk kebutuhan baru," jelas Claudia.
Oleh karenanya, kata dia, pameran ini mengangkat tema besar akan konsumerisme. Mau tidak mau, konsumerisme membawa dampak pada produksi massal pakaian demi memenuhi permintaan konsumen. Tapi, konsumen mungkin tidak tahu siapa dan bagaimana kondisi pekerja yang turut berperan dalam sepotong baju yang mereka kenakan.
Untuk lebih meyakinkan, Claudia lalu menunjukkan foto-foto korban peristiwa runtuhnya pabrik garmen Rana Plaza, Daka, Bangladesh pada 23 April 2013.
Pada insiden itu, ribuan pekerja tewas, ratusan hilang dan luka-luka. Pekerja di Rana Plaza adalah bagian dari empat juta pekerja garmen di Bangladesh. Mereka melayani pasar internasional, Eropa, Amerika dan brand internasional. Peristiwa ini, menurut Claudia, menjadi gambaran betapa para pekerja berusaha bertahan hidup dengan bekerja di tempat yang tidak layak.
"Mereka bekerja di tempat yang rapuh. Mereka korban nyata dari fast fashion," ucapnya.
Dari sisi konsumen sendiri, konsumerisme membuat orang terus membeli pakaian namun banyak tidak terpakai dan berakhir di almari.
Berdasarkan riset, Claudia menyebut, di Eropa dari sekian pakaian yang dimiliki, sekitar 40 persen hanya menghuni almari. Di Jerman, orang mendonasikan pakaian mereka yang tidak dipakai. Tapi rupanya pebisnis memanfaatkan pakaian ini dan dijual ke negara lain, seperti di Afrika.
"Ketika pameran ini diadakan di Jerman, saya bilang pada warga Jerman dan mereka syok. Mereka pikir pakaian bekas itu didonasikan," ujar Claudia.
baca berikutnya...
Pameran Fast Fashion: The Dark Side of Fashion membuat mata lebih terbuka akan dunia di balik glamornya fesyen.
Selain menyoal konsumerisme, pameran ini juga mencoba memberikan gambaran bagaimana sepotong pakaian, jeans misalnya, dari dibuat hingga kemudian sampai di tangan konsumen dan dikenakan.
Jika dibanding ponsel atau komputer, sepotong busana terlihat tidak kompleks. Kompleksitasnya justru ada pada proses produksinya. Sayangnya, produksi pakaian tidaklah transparan. Claudia menjelaskan, tipikal fast fashion adalah banyaknya sub supplier. Pakaian tidak diproduksi di satu tempat.
Sebagai contoh, sepotong celana yang dibuat di Belanda. Sementara Uzbekistan menjadi tempat penanaman kapasnya. Kapas pun dipintal dan dijadikan kain di India. Pewarnaan dilakukan di Indonesia dan China. Bahan dijahit di Bangladesh, sedangkan sentuhan akhir atau sandblasting dilakukan di Turki. Celana jeans pun dijual di Jerman. Pada akhirnya, celana yang tidak terpakai dibawa ke Zambia, Afrika.
"Sepotong jeans bisa melalui perjalanan panjang, 40.000 kilometer, artinya, kerusakan lingkungan juga terjadi di banyak tempat," tambahnya.
Fashion dan ekonomi tidak lepas dari profit. Selama ini mungkin orang berpikir mereka membayar mahal untuk sepotong kaos karena bahan berkualitas atau mahalnya biaya distribusi. Semuanya salah. Kaos bisa mahal karena produsen menginginkan profit yang besar. Biaya lain meliputi transport, pajak, bahan tidaklah mahal. Lebih pahit lagi, cost terkecil adalah gaji pekerja.
"Menyedihkan, orang pikir makin mahal harga baju, makin tinggi gaji pekerja," ucapnya.
Sementara itu, lingkungan turut merasakan dampak negatif dari industri fast fashion. Air selain menjadi sumber kehidupan bagi manusia, juga menjadi penggerak utama dalam industri pakaian. Tanpanya, tidak akan ada pakaian yang dikenakan kini. Beberapa foto menunjukkan kondisi sungai di beberapa negara tercemar akibat buangan limbah air sisa pewarnaan kain.
Sungai Tullahan di Filipina memiliki air berwarna pink atau kadang warna lain tergantung dari limbah sisa pewarnaan kain dari pabrik tekstil di sekitar. Sungai di Zengcheng, China juga memiliki warna tidak biasa, warna biru jins. Faktanya, sebanyak 320 juta warga China sulit mengakses air bersih.
Air bersih banyak terbuang dalam industri pakaian. Cukup mengejutkan ketika 12 ribu liter air terbuang untuk satu kaos.
"Fashion tidaklah buruk, tapi produksinya yang massal bisa berdampak negatif. Penggunaan bahan kimia, bisa memicu alergi, kanker," tambah Claudia.
Slow Fashion, sebuah alternatif baca berikutnya ... Ada
fast (instan), ada pula
slow (berproses). Slow Fashion dihadirkan untuk melengkapi sekaligus memberikan alternatif bagi dunia fashion.
Aprina Murwanti, kurator pameran lainnya, menunjukkan bahwa dunia fashion bisa bergerak menuju industri yang lebih bertanggung jawab dan peduli terhadap lingkungan. Di Slow Fashion Lab, pengunjung bisa mengetahui jenis-jenis tanaman yang bisa digunakan untuk bahan pewarnaan kain. Misal daun jati, daun jambu biji dan kayu tingi.
"Banyak sumber daya hayati untuk pewarna, bisa daun atau biji. Campuran yang beda, warna yang dihasilkan beda," jelas Aprina.
Penggunaan serat-serat alami sebagai material kain juga bisa jadi pilihan, misal serat dari nanas dan rami. Nyatanya, produksi kain dengan serat-serat ini menggunakan lebih sedikit air daripada kain dari bahan kapas.
Bila
fast fashion banyak menggunakan teknologi modern, teknik dalam produksi
slow fashion menggunakan teknik tradisional. Bahkan, slow fashion mengenal teknik ecoprinting, yakni motif kain dibuat dengan bakteri.
Selain soal material dan teknik, slow fashion mengedepankan soal kesinambungan produk. Barang-barang yang tidak terpakai, bisa dibuat ulang menjadi barang yang berguna. Pengunjung bisa melihat hasil-hasil karya komunitas produsen barang upcycle atau barang hasil pemanfaatan limbah. Misal Oja dengan produk clutch dengan bahan plastik hitam.
Lewat pameran ini, publik bisa sadar dengan apa yang mereka pakai, dan terutama asal muasal pakaian mereka. Aprina berkata konsumen perlu tahu label-label apa saja yang termasuk
blacklist dalam industri fashion.
"
Aware about you buy. Cek dari mana, karena beberapa label sudah masuk daftar hitam," kata Aprina.