Jakarta, CNN Indonesia -- Musim gugur yang lalu, spesialis endokrinologi reproduksi John Zhang membuat kehebohan setelah ia melaporkan kelahiran bayi dari tiga orang tua. Bayi sehat ini menyimpan DNA campuran dari ibu kandung beserta suaminya dan donor wanita yang tak ada hubungan darah.
Teknik mencampur DNA itu disebut terapi penggantian mitokondria yang memungkinkan ibu 36 tahun menghapus faktor cacat yang ada dalam genom-nya sendiri. Cacat genom ini telah membuat dua anak sebelumnya lahir dengan sindrom Leigh, gangguan syaraf yang mematikan dan menyebabkan kematian sebelum bayi berumur 3 tahun.
Walau banyak yang menganggap ini sebagai terobosan baru, berita ini juga memicu banyak pertanyaan yang menyangkut kode etis dan penjelesan ilmiah. Berbicara di New Hope Fertility Center, John Zhang bermaksud menjawab pertanyaan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, penjelasannya justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan lagi.
Laporan terbaru John dengan tim yang dipublikasikan di jurnal Reproductive BioMedicine Online menggambarkan teknik dan detail ketiga partisipan. Kedua data ini sudah diminta lama untuk mengawasi secara benar metodologi yang diambil Zhang.
Namun, ketika akan mempublikasikan materi baru ini, para editor jurnal mendapati catatan Zhang masih banyak kelemahan dan keterbatasan di beberapa area. Ini termasuk pertanyaan mengenai ijin, risiko terapi penggantian mitokondrial dan kesehatan jangka panjang anak.
“Walau kami mampu membujuk penulis untuk memasukkan detail cara kerja mereka, masih banyak hal yang belum jelas mengenai metodologi dan hasilnya,” ungkap Mina Alikani, editor jurnal dan ahli embrio klinis.
Dalam pernyataan yang disediakan oleh fasilitator New Hope, Zhang mengakui memang masih banyak yang harus diperbaiki.
“Akan selalu ada kekuatiran setiap kali ada prosedur dan inovasi baru yang ditanamkan dalam tubuh manusia. Kami setuju masih banyak hal yang belum diketahui mengenai teknik ini. Kami juga akan terus memonitor perkembangan anak dan mengetes jika ada hasil yang merugikan,” terang Zhang.
Kelemahan utama dari kerja Zhang ini, menurut para kritik, adalah prosedur yang tidak diakui pemerintah AS sehingga prosedur pun dilakukan di Meksiko.
“Percobaan ini lakukan diluar struktur peraturan yang biasanya,” ujar ahli bioetika dan dokter anak Jeffrey Botkin dari Universitas Utah.
Tanpa masukan yang benar, Botkin mengatakan jika pertanyaan penting mengenai teknik dan juga pengaruh pada hasil embrio setelah percobaan akan sulit dijawab.
Kongres pun melarang Food and Drug Administration (FDA) untuk mempertimbangkan pendaftaran untuk penelitian di bidang ini. Uniknya, respon akan metode pencangkokan seperti ini di Inggris berbeda.
Di bulan Desember kemarin, Human Fertilization and Embryology Authority Inggris setuju membiarkan klinik mencoba prosedur seperti ini tergantung kasus per kasus.
Maret kemarin, Inggris menyetujui lisensi untuk menjalankan prosedur pertama pada Doug Turnbull, direktur Wellcome Trust Center for Mitochondrial Research di Universitas Newcastle.
“Kita akan mengamati jalannya penelitian ini di Inggris dan menjalan percobaan secara hati-hati sekaligus belajar mengenal lebih baik cara kerja teknik ini,” ujar Botkin.
Secara umum, cara Zhang dan tim bekerja mengangkat nukleus yang ada dalam telur ibu kandung, meninggalkan semua mitokondria cacat yang menjadi penyebab bertumbuhnya sindrom Leigh dalam fetus.
Nukleus ini kemudian ditempatkan pada telur sehat dari seorang wanita donor. Nukleus wanita donor sendiri telah diangkat. Hasilnya adalah telur hibridasi dengan gen nuklir ibu kandung dan citoplasma dan mitokondria ibu donor.
Telur hibrid ini kemudian difertilasi oleh sperma sang ayah yang ditanam dalam ibu kandung.
Teknik ini secara potensial mencegah berbagai penyakit mitokondria mulai dari buta sejak lahir atau perusakan progresif otot.
Yang menjadi permasalahan utama adalah tidak semua mitokondria yang cacat dapat dihilangkan. Bayi laki-laki dengan tiga genetik ini, dilaporkan oleh Zhang dalam laporan terbarunya, memiliki potensi cacat DNA antara 2,36 hingga 9,23 persen, berdasarkan contoh urin, folikel rambuh dan kulup yang disunat.
“Data itu tidaklah mengejutkan. Setahu saya, jarang sekali ada kasus dimana inti telur ini bersih dari pengaruh bawaan mitokondria dari nukleus donor,” ujar Doug Wallace, ketua Center for Mitochondrial and Epigenomic Medicine di Rumah Sakit Anak Philadelphia.
Bahkan pada muatan 9 persen cacat DNA, orang dengan sindrom Leigh akan terlihat normal. Ia menambahkan walau tidak terlihat, tingkat potensi itu mungkin lebih tinggi pada jaringan yang lain yang ada pada anak laki-laki hasil percobaan ini. Salah satunya bisa pada jaringan otak atau jantung.
Zhang dan tim melaporkan cek fisik anak laki-laki ini termasuk investigasi syaraf secara detail dan ruting mulai dari 2 minggu, 4 minggu, 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan. Semua menunjukkan normal dan hingga kini, tim masih mengawasi perkembangan anak laki-laki ini dengan ketat. Program monitoring ini masuk dalam rencana follow-up panjang depan.
Mengenai rencana jangka panjang Zhang ini pun dianggap tidak jelas, mengingat pengakuan orang tua secara publik yang tidak berencana untuk membiarkan anaknya seumur hidup menjalani tes reguler dalam memonitor tingkat kesalahan dalam DNA-nya.
Ahli biologi molecular dari Universitas California, Patrick O’Farrell, yang tidak terlibat dalam penelitian Zhang, menganggap keputusan orang tuanya itu mencemaskan karena mengingat kemungkinan berkembangnya muatan mutasi sejalan dengan bertambahnya umur sang anak.
Dalam kasus ini, tim Zhang melaporkan, ada lima telur yang menjalani pertukaran dan fertilisasi. Embriyo yang akhirnya ditanam membawa 5 persen DNA cacat tetapi para peneliti tidak meneliti seberapa rusak DNA yang diturunkan dalam embrio yang tidak digunakan.
Sisa dari telur yang difertilisasi ini masih ada, terang Zhang, tetapi ia belum mengetes telur ini untuk mengetahui seberapa besar DNA cacat yang ada di setiap telur sisa ini. Jika memang ada orang tua ini memutuskan untuk punya anak lagi, ia baru akan melakukan tes.
Tanpa kesiapan data mengenai transfer DNA cacat dalam telur yang difertilisasi ini, O’Farrell merasa informasi penting diabaikan. Bayi tiga orang tua ini menawarkan kesempatan langka untuk mempelajari pemisahan dan transmiri genom mitokondria.
Melalui wawancara per telepon, Zhang menegaskan jika analisa masih terus berjalan.
“Ini adalah ranah baru. Wajar jika banyak pertanyaan dan akan lebih banyak lagi penelitian mengenai hal ini. Dengan tes baru di penelitian baru ini, kita akan terus belajar,” seru Zhang.
Terlepas dari berbagai pertanyaan yang belum terjawab, penelitian terobosan baru dari Zhang ini memicu penelitian serupa di berbagai negara. Para editor jurnal yang memegang laporan terbaru memberi kredit pada Zhang karena telah mengangkat kesadaraan untuk mewaspadai penggunaan terapi penggantian mitokondria di Inggris.
Sementara itu, ahli kesuburan Valery Zukin telah menggunakan teknik tiga orang tua ini di Ukraine untuk membantu dua wanita tidak subur penderita sindrom embrio arrest. Sindrom ini membuat telur subur berhenti bertumbuh sebelum mereka ditanam di rahim. Kedua wanita ini telah melahirkan bayi-bayi yang sehat tahun ini.
Kabar gembira seperti ini jelas mendapat sambutan hangat dari orang tua yang bersusah payah mendapatkan anak.
Namun, ahli seperti O’Farrell terus menyatakan kekuatirannya terhadap prosedur seperti ini karena dianggap terlalu cepat dan terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab.
“Saya merasa memperluaskan kerja ini dalam kasus-kasus ketidaksuburan sangatlah berbahaya. Setiap gen yang mengkompromikan kesuburan, yang harus diketahui sebelumnya adalah bagaimana pengaruhnya nanti di aspek perkembangan anak. Jika hanya memperhatikan masalah kesuburan, cacat lainnya yang disebabkan oleh gen akan tetap ada.”