Kamila Andini Perjuangkan Suara Perempuan lewat Film

Gloria Safira Taylor | CNN Indonesia
Sabtu, 22 Apr 2017 14:46 WIB
Sutradara muda yang pernah membesut The Mirror Never Lies, Following Diana dan Memoria itu konsisten berjuang untuk memberi suara pada perempuan.
Sutradara muda yang pernah membesut The Mirror Never Lies, Following Diana dan Memoria itu konsisten berjuang untuk memberi suara pada perempuan. (Foto: CNN Indonesia/Gloria Safira Taylor)
Jakarta, CNN Indonesia -- Memberi suara pada perempuan dari sudut pandang perempuan adalah prinsip yang dipegang Kamila Andini dalam melahirkan karya-karyanya.

Perempuan yang juga ibu dari satu anak itu pernah membuat kisah tentang perempuan lewat The Mirror Never Lies, Following Diana dan yang terbaru tayang beberapa waktu lalu Memoria.

"Hampir semua film saya karakter utamanya perempuan. Meskipun film di Indonesia banyak perempuan yang menjadi pemeran utamanya, sebagai filmmaker perempuan saya harus memperlihatkan sosok perempuan yang berbeda dari bagaimana biasanya laki-laki menggambarkan sosok itu," ujarnya saat ditemui CNNIndonesia.com di Koloni Bintaro, Tangerang Selatan, Kamis (20/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perempuan kelahiran Jakarta 6 Mei 1986 itu menilai, peran perempuan yang ada di layar kaca kebanyakan hanya sebagai sosok hiburan. Padahal, perempuan memiliki kerumitan yang harus dipahami oleh laki-laki dan perempuan itu sendiri.

Memberi suara pada perempuan

Dalam film pertamanya, Kamila mengisahkan tentang hubungan ibu dan anak perempuan suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. 

Sementara, dalam film kedua, Following Diana atau dalam bahasa Indonesianya, Sendiri Diana Sendiri, ia mengangkat persoalan poligami yang seringkali terjadi di Indonesia. Diana, tokoh dalam film itu harus melihat suaminya memberikan ilustrasi tentang bagaimana suaminya ingin membagi kehidupan dengan wanita lain.

Cerita soal poligami memang bukan hal baru yang dijadikan dalam bentuk film. Meski demikian, Kamila lebih memfokuskan pada dilema yang dihadapi seorang perempuan saat berhadapan dengan hal itu.

"Karakternya galau, antara tidak mau tapi juga tidak bisa lepas dari suaminya, sedangkan karakter itu susah buat diterima oleh perempuan. Tapi itulah perempuan, karena perempuan tidak pernah berpikir soal dirinya sendiri, dia selalu berpikir soal orang lain, selalu banyak orang di kepalanya," tuturnya kemudian.

Perempuan, kata dia, berada di posisi sulit ketika ia harus dihadapkan dengan keputusan poligami. Selain soal poligami, putri sutradara kawakan Garin Nugroho itu juga membuat film Memoria yang bercerita soal perjuangan hidup perempuan di Timor Leste. Menurut Kamila, tidak mudah untuk membuat karakter perempuan dalam film tersebut.

Saya benar-benar ingin memperlihatkan kondisi perempuan yang sebenarnya, meski banyak yang belum bisa menerima dan memang tidak mudah untuk diterima.


Timor Leste yang telah resmi memisahkan diri dari Indonesia 14 tahun silam memang telah meraih kemerdekaannya. Namun, masih terdapat luka kenangan yang membekas bagi sebagian masyarakatnya terutama yang dialami para wanita yang selama masa penjajahan di negaranya harus melayani nafsu seksual para tentara.

Sejarah, pengaruh lingkungan dan budaya menjadi hal yang tidak bisa dilepaskan begitu saja kala dia menciptakan karakter perempuan yang nyata. Menurut dia, memperjuangkan soal perempuan dalam film tidak bisa dilepaskan dari hal-hal tersebut.

"Tentang kekerasan perempuan di Timor Leste, kami memang tidak bisa melihatnya dalam satu perspektif tapi harus melihat dari sejarah, lingkungan dan itu sangat penting sekali di negara Indonesia yang sangat komunal, di mana di sini sangat tergantung dengan lingkungannya. Itulah yang saya ingin penonton saya rasakan," ujarnya kemudian.

Dalam rekam jejak kariernya, Kamila pernah mendapatkan Earth Grand Prix Award di Tokyo International Film Festival dan Bright Young Talent Award di Mumbai International Film Festival.

(FOKUS) Kamila Andini dan Suara Perempuan lewat Film Kamila Andini. (Foto: CNN Indonesia/Gloria Safira Taylor)
Perempuan dan kesetaraan

Kamila tidak menampik dan menegaskan kalau dirinya menginginkan kesetaraan untuk perempuan. Meski demikian, dia ingin perempuan memahami makna dari setara. Perempuan dan laki-laki memiliki kebutuhan yang berbeda secara gender. Kebutuhan itulah, kata Kamila, yang tidak dapat disamaratakan.

"Kebutuhan perempuan dan laki-laki berbeda secara biologis. Soal hak, suara dan pilihan saya ingin perempuan punya hak yang sama, pilihan yang sama dan suara yang sama dengan laki-laki," ujarnya. 

Istri dari sutradara film Ifa Isfansyah itu menambahkan kepedulian itulah yang membuat dirinya lebih fokus dalam pembuatan film soal perempuan. Dengan karakter perempuan yang lebih spesifik, Kamila ingin membuka perspektif soal kesetaraan itu.

Terbukanya perspektif seseorang soal perempuan dapat menghilangkan stigma yang seringkali menempel pada mereka. Stigma 'perempuan itu seharusnya begini..', itulah yang hingga saat ini masih sering dikatakan baik oleh laki-laki bahkan perempuan itu sendiri.

Kadangkala, perempuan tidak berani untuk jujur dan memulai bicara. Bahkan, mereka tidak berani untuk merencanakan keinginan mereka yang masih tersimpan dalam pikiran. Itu menjadi hal yang membuat perempuan jadi terkurung bahkan terpenjara.

Oleh karenanya, kata Kamila, untuk melihat persoalan perempuan tidak boleh lupa dengan lingkungan, ruang sosial dan budaya yang ada di sekitar mereka.

Ia menilai, jujur dan bicara soal keinginan mereka menjadi hal penting untuk memerdekakan perempuan. Karena hal itu merupakan hak yang harus disuarakan.

"Jujur dan bersuara itu menjadi penting. Kebanyakan perempuan hanya untuk merencanakan saja tidak berani," tuturnya. (rah)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER