LIPUTAN KHUSUS

Memories Cafe Jalan Jaksa yang Bakal Jadi Kenangan

Agung Rahmadsyah | CNN Indonesia
Minggu, 20 Mei 2018 17:17 WIB
Sepi pengunjung membuat salah satu ikon Jalan Jaksa, Memories Cafe, terpaksa menjual lahannya.
Foto: CNN Indonesia/Safir Makki
Jakarta, CNN Indonesia --
Dua jalur aspal di Jalan Jaksa, Jakarta Pusat, tampak lengang saat saya kunjungi pada Rabu (9/5) malam. Tempat makan di sisi kanan dan kiri jalan yang biasanya ramai ditongkrongi turis mancanegara juga banyak yang tutup. Bangunan yang terlihat ramai didatangi pengunjung hanya tinggal dua minimarket dan Memories Cafe.

Memories Cafe menjadi satu-satunya bar dan restoran yang hingga saat ini masih berdiri tegak menghadapi terpaan sepi pengunjung di Jalan Jaksa. 

Saya terakhir kali kongko di Memories Cafe bersama teman-teman sekitar sepuluh tahun yang lalu. Harga bir yang kami sebut dengan bercanda kelewat murah--sekitar Rp28 ribu per botol, membuat kami sepakat memilih kawasan itu sebagai tempat pelepas lelah sepulang kerja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di tahun-tahun itu, saya masih merasakan susahnya mencari parkir motor yang kosong. Jika pengunjung membeludak, tukang parkir liar bahkan tak segan memberi tarif Rp5.000 per motor untuk parkir semalaman.

Namun malam itu saat mengunjungi Jalan Jaksa lagi, motor saya hanya ditemani tiga motor lainnya di parkiran sebuah minimarket yang berada tepat di seberang Memories Cafe.

Saya sengaja mengunjungi Memories Cafe untuk mengklarifikasi spanduk di depan pintu masuknya yang bertuliskan 'Dijual Rumah dan Tanah Ini'. Bagi penikmat wisata malam di Jalan Jaksa, Memories cafe adalah tempat sarat kenangan. Suasana penuh tawa sampai perkelahian pasti pernah disaksikan di sana. 

Memories Cafe terletak sekitar 200 meter dari gerbang masuk dengan plang 'Kawasan Wisata Malam Jalan Jaksa'. Ada tiga batang pohon yang dibalut dengan kain poleng--kain bermotif kotak-kotak berwana hitam putih khas Bali, sebagai penanda tempat ini.

Melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangannya membuat memori kongko bersama sahabat terulang di benak saya. Hal itu dikarenakan dekorasinya tidak berubah sedikit pun sejak pertama kali beroperasi pada tahun 1980-an; redup dan usang. Tapi nuansa suram tersebut hampir tak dipedulikan tamu yang datang demi bir murah.

Foto mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan mantan Presiden Indonesia Soeharto masih terpajang di dindingnya, seakan waktu di tempat ini berhenti di masa pemerintahan mereka. Jalan Jaksa sebagai kawasan wisata malam memang berada di puncak kepopulerannya pada tahun 1990-an.

Lagu 'Red Red Wine' milik UB40 berkumandang saat saya duduk di salah satu meja untuk berbincang dengan Helmi, sang pemilik Memories Cafe.

Helmi atau yang akrab disapa Pak Haji oleh warga sekitar, dengan panjang lebar menceritakan sejarah Jalan Jaksa hingga hari ini, khusunya Memories Cafe. Bernada sedih ia mengatakan saat ini Jalan Jaksa sudah memasuki masa kiamat.

"Apanya kawasan wisata malam? Sekarang jam 10 malam saja sudah kaya kuburan, kalau dulu jam 3 pagi masih ramai. Copot aja itu plang 'Kawasan Wisata Malam Jalan Jaksa' di depan, malu-maluin," ujar Helmi.

Pria berusia 62 tahun itu lanjut mengatakan kalau banyak faktor Jalan Jaksa menjadi sepi, salah satunya ialah penertiban pedagang kaki lima (PKL) saat masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang dirasa mengurangi serunya berwisata di Jalan Jaksa.

"Padahal kemacetan di Jalan Jaksa bukan karena PKL, namun karena persimpangan lima di Jalan Wahid Hasyim. Setelah PKL ditertibkan, Jalan Jaksa langsung sepi. Berimbas tutupnya banyak kafe dan hotel," kata Helmi.

Dalam perbincangan santai kami, Helmi sempat mengenang kalau dulu operasional Memories Cafe ditopang oleh 34 pegawai. Helmi sampai "menculik" juru masak dari Hotel Borobudur untuk menyajikan ratusan menu makanan dan minuman yang memuaskan tamu.

Saat ditanya spanduk penjualan lahan, Helmi membenarkan kalau dirinya berniat untuk menjual tanah Memories Cafe yang merupakan warisan dari orangtuanya sebelum disulap menjadi bar dan restoran sejak 3 Maret 1982. 

"Sudah tidak logis lagi jika saya meneruskan Memories Cafe. Sejak beberapa tahun terakhir pengunjung yang datang ke sini berkurang drastis. Dulu sebelum kerusuhan tahun 1998 saya bisa menjual minimal 20 krat botol bir ukuran besar. Sekarang maksimal hanya tiga sampai lima krat," kata Helmi.

"Minimal sebulan saya nombok Rp4 juta. Udah gak logis itu kalau buat usaha. Tapi karena saya senang keramaian aja makanya saya pertahankan," lanjutnya.

Ia mengatakan banyak tamunya yang merupakan turis mancanegara merasa sedih ketika mengetahui kalau Memories Cafe akan ditutup. Tapi Helmi memberi penjelasan kepada para pelanggan setianya kalau Memories Cafe akan pindah ke kawasan Jalan Prawirotaman, kawasan backpacker mirip Jalan Jaksa di Yogyakarta. 

Helmi mengaku sudah membeli lahan di sana yang luasnya dua kali dari tempat yang sekarang.

Jika Memories Cafe Jalan Jaksa berdiri di atas lahan seluas lebih dari 400 meter persegi dan memiliki sembilan kamar, maka di Memories Cafe Prawirotaman berada di atas lahan mencapai 800 meter persegi dengan rencana pembangunan 25 kamar.

"Bedanya cuma kalau di sini saya cuma nyewain kamar untuk bule, tapi nanti di Yogya tamunya bebas," kata Helmi.

Bagi Helmi pindah ke Yogyakarta adalah alasan yang logis untuk melanjutkan bisnisnya. Karena menurutnya kota Yogyakarta memang destinasi wisata yang eksotis dan menarik, khusunya bagi turis mancanegara.

"Pemerintah daerahnya juga gak munafik," pungkas Helmi.

(ard)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER