Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Selama Paris Fashion Week (PFW), saya menghadiri sebuah peragaan busana bertajuk Paris Fashion Show. Meski namanya mirip,
fashion show ini ternyata bukanlah bagian dari kalender resmi PFW.
Diusung oleh Fashion Division yang dikepalai oleh Wulan S.Haryono dan Khaled Khoualfi, yang menurut situs resminya merupakan "Sentra karier fesyen dan program pengayaan pertama di Indonesia untuk mahasiswa dan penggemar fesyen untuk membangun pengetahuan dan kesadaran yang kuat tentang industri mode."
Fashion Division mengundang desainer-desainer Indonesia yang baru muncul untuk menggelar pertunjukan bersama. Pesertanya, enam label asal Indonesia: Dakada, Danielle, Grasheli Andhini, EDR by Edrick Young, Trudy, dan Tities Sapoetra.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak bisa dimungkiri memang, menjadi bagian dari PFW, baik dalam kalender resmi--yang dipilih secara ketat oleh sebuah badan di bawah Kementerian Perindustrian Prancis--maupun di luar itu, merupakan
prestise bagi desainer.
Meski begitu,
prestise ini juga mengandung tanggung jawab, sekaligus sebuah kesempatan yang bisa menjadi pisau bermata dua.
Dari Jakarta ke Paris, tentu lain lubuk lain ikannya.
Di Paris, apalagi selama pagelaran Paris Fashion Week, hadir para kritikus profesional dan pemerhati fesyen terbaik dari seluruh dunia, yang bisa memahami sepotong pakaian, meskipun hanya melihat dalam sekelebat saja.
Mereka biasa memberi kritik dan masukan, agar para desainer selalu memberikan yang terbaik. Selain itu ada pula para
buyer dari
online dan
department store yang biasanya tidak akan melihat lagi label baru yang mereka nilai tidak punya masa depan menjanjikan.
Karena itulah, ambisi untuk mengadakan pagelaran fesyen selama PFW hendaknya diikuti dengan usaha yang tinggi untuk menciptakan koleksi yang dibuat dengan baik, tidak asal-asalan seperti layaknya percobaan di sekolah mode.
Para desainer juga harus bermental baja, karena kerap kali karier mereka melesat justru setelah menerima kritikan pedas. Misalnya saja gelombang desainer asal Jepang seperti Yohji Yamamoto dan Rei Kawakubo atau visioner Helmut Lang, atau pun desainer muda J.W Anderson, Simon Porte Jacquemus, dan Demna Gvasalia.
Sementara di lain pihak, para desainer Indonesia terbiasa menerima karangan bunga--atau yang lebih horor lagi, balon--dari para penggemar atau tamu undangan, baik itu 'diatur' sendiri oleh sang desainer atau tidak. Mereka sudah terbiasa dengan 'pujian' yang dipersiapkan terlebih dahulu bahkan sebelum model pertama melenggok di atas
runway.
Belum lagi para undangan yang kebanyakan adalah para fans, yang mengenakan baju dari koleksi
runway bahkan sebelum koleksi teranyar itu ditampilkan, yang tentu saja sulit untuk menawarkan opini objektif.
Absennya kritik dalam gelaran 'biasa' mereka menjadi salah satu penghalang untuk berkembang. Padahal, kritik sangat berarti untuk mereka yang bergelut dalam seni murni atau terapan seperti musik, film, juga fesyen.
 Model Paula Verhoeven di atas runway Tities Sapoetra. (CNN Indonesia/Fandi Stuerz) |
Kembali ke Paris, ketidakseriusan
fashion show estafet para desainer Indonesia terlihat dari awal, seperti kosongnya beberapa kursi di kursi depan (
front row).
Front row wajib diisi, meski tamu undangan yang bersangkutan tidak hadir, karena banyak foto
runway yang akan menyorot barisan terdepan itu.
Ada lagi kesalahan sepele seperti lupa melepas label kertas yang menggantung di bagian belakang celana dan sol sepatu (label harga, label material, atau apa pun itu), hingga kesalahan teknik seperti jahitan yang tidak rapi,
lining atau
furing yang tidak rata sehingga terlihat menyembul, kesalahan
fitting sehingga pakaian terlihat kendor, atau baju-baju dengan siluet biasa dan hanya dibubuhi hiasan mutiara di seluruh bagian supaya terlihat
couture yang justru menunjukkan kedangkalan ide.
Ini ditambah lagi dengan kesalahan tata bahasa Inggris di pamflet atau
show notes yang diberikan kepada para undangan, menunjukkan tidak siapnya studio serta tim humas desainer tersebut.
Salah satu desainer bahkan mengaku mengangkat konsep dekonstruksi. Padahal, ada perbedaan besar antara dekonstruksi dan ketidaklihaian menjahit. Apakah ia menggunakannya untuk menutupi ketidakmampuannya dalam
draping? Atau kah konsep dekonstruksi--yang sangat sulit untuk dieksekusi--dipakai karena kurangnya kreativitas?
Dari enam label tersebut, tampak hanya Tities Sapoetra yang paling siap, dengan koleksi yang berkutat pada permainan
print dan siluet
oversized yang lebih aman. Memang perjalanan pembuktian Tities sebagai desainer kelas dunia masih panjang, ia harus berhati-hati dalam eksekusi teknik dan menjaga kualitas.
 Peggy Hartanto diapit dua model yang mengenakan karya terbarunya. (CNN Indonesia/Fandi Stuerz) |
Lebih matangDi sisi lain, para desainer Indonesia yang sudah bertahun-tahun membuka
showroom di Paris, seperti Peggy Hartanto, Sean & Sheila, serta Toton--yang memenangkan International Woolmark Prize untuk region Asia di tahun 2017--malah 'belum berani' mengadakan
fashion show.
Padahal
showroom merupakan sebuah ujian semester bagi mereka, karena para pengunjung bisa melihat inti dari sebuah koleksi: kreativitas dan teknik. Pengunjung bisa pula melihat bagaimana baiknya kualitas jahitan mereka, namun bisa juga dengan mudah menilik cela jika ada.
Peggy Hartanto, yang konsisten menciptakan koleksi yang sangat perempuan, dengan
line dan siluet feminin yang halus dan terlihat simpel, sebenarnya punya tantangan tinggi, karena kesalahan jahitan satu sentimeter saja bisa memunculkan kerutan dan merusak siluet.
Namun Peggy telah menaklukkan tantangan itu, dan ia kini kembali dengan koleksi yang menjadi kekuatannya: koleksi dengan estetika feminin yang
sleek dan
sophisticated.
 Sebuah jaket kimono dengan sulaman karya Sean & Sheila. (CNN Indonesia/Fandi Stuerz) |
Sean Loh dan Sheila Agatha pun kembali dengan sebuah cerita. Kepedulian sosial mereka dengan merekrut, melatih, dan memperkerjakan penyandang disabilitas untuk membuat pakaian dengan sulaman-sulaman cantik dan rumit, menjadikan Sean & Sheila salah satu yang paling menjanjikan. Karena, dengan desain-desain kontemporer--yang kadang-kadang sangat konseptual seperti jaket berbahan lakban, mereka diharuskan untuk memiliki kontrol kualitas yang lebih tinggi, serta investasi waktu yang lebih panjang, dan akhirnya menghasilkan koleksi yang lebih matang.
Lalu ada Toton. Sebagai salah satu desainer muda yang memiliki kemampuan riset yang baik, ia pandai memakai unsur-unsur Indonesia tanpa harus terlihat sangat Indonesia.
Salah satu
'curse in a blessing' menjadi desainer asal Indonesia adalah, sebagai desainer, mereka seakan-akan diharuskan mengangkat tema Indonesia yang kaya akan unsur-unsur budaya, keindahan alam, keragaman flora-fauna, dan tingginya rasa hormat pada tradisi dan budaya turun-temurun.
Berkahnya? Banyak sumber inspirasi. Kutukannya? Unsur- unsur tersebut bila dipakai secara salah atau bahkan berlebihan akan terlihat dangkal, terlalu etnik, dan sulit untuk menjadi koleksi komersial secara internasional.
Toton berhasil membuat koleksinya seolah terlihat berasal dari Timur Tengah, Afrika, bahkan Amerika Latin.
Ide Toton mengeksplorasi cerita rakyat dan cerita hantu serta kearifan lokal dan budaya patriarki di Indonesia menghasilkan koleksi kontemporer yang modern tanpa harus mengangkat tema atau motif familier seperti batik.
Selain itu, kemampuannya menciptakan pakaian dengan proses daur ulang yang dimulai oleh legenda fesyen Martin Margiela di tahun akhir 80an dan awal 90an, menjadikan Toton salah satu desainer Indonesia dengan talenta terbaik.
 Toton diapit oleh dua model yang mengenakan karya terbarunya. (CNN Indonesia/Fandi Stuerz) |
Dan itulah mengapa koleksi-koleksi mereka lebih siap dan sebenarnya lebih patut untuk ditampilkan dalam sebuah
show selama PFW.
Kini, para desainer Indonesia yang ingin menampilkan koleksinya di Paris atau lebih jauh, menjadi anggota resmi Federation de la Haute Couture et de la Mode dan masuk di kalender resmi PFW, hendaknya menanggalkan ego dan melakukan
self-assesment lebih teliti dan tidak hanya mengejar predikat "pernah mengadakan
show di Paris."
Apa yang menjadi nilai lebih? Apa yang berbeda? Dan apa yang bisa ditawarkan kepada dunia?
Sejauh ini baru ada dua desainer Indonesia pernah masuk ke kalender resmi PFW, yakni Harry Halim dan Tex Saverio.
Kerja keras, ketelitian, kreativitas, kegilaan ide, keberanian untuk berbeda, dan talenta serta diimbangi dengan teknik yang mumpuni menjadi kuncinya.
Apakah diperlukan dana yang besar untuk bisa tampil di Paris? Bisa saja, namun itu bukanlah garansi mendatangkan pembeli ataupun menarik perhatian publik.
Seperti kata pepatah, akal tak sekali tiba. Diperlukan konsistensi dan usaha yang panjang tak kenal lelah untuk menjadi apa pun berkelas dunia.
(stu)