Jakarta, CNN Indonesia -- Perjuangan untuk bisa masuk ke dalam slot pertunjukan
pekan mode bukan hal yang mudah. Berikut perjuangan
desainer untuk menembus masuk pekan mode dalam dan luar negeri.
Pekan mode tak akan jadi tontonan yang indah dan mengundang decak kagum jika tak ada kiprah desainer kreatif. Salah satu label desainer muda kreatif dan namanya sedang meroket adalah Sean and Sheila.
Label fesyen ini sebenarnya sudah cukup lama melakukan debutnya. Namun, sebagai merek Indonesia, label besutan duo Sheila Agatha Wijaya dan Sean Loh ini justru memulai debut perdana mereka di panggung fesyen luar negeri, yaitu di Sydney, Australia, bukan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ironisnya walau
brand lokal,
brand dari indonesia, kami dapat pengakuan dan dukungan itu dari Malaysia dan Singapura," kata Sheila saat ditemui
CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
"
Show kami di Sydney dan JFW 2019 jadi momen debut pertama di Indonesia," timpal Sean.
Dia mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang membuat mereka kala itu tak bisa masuk pekan mode Indonesia.
Menurutnya, Indonesia kala itu lebih '
hype' dengan busana serba gaun yang cantik dan berkilau.
Senada dengan Sean, Sheila berkata tampilan feminin sangat dominan sehingga gaya busana yang mereka usung kurang begitu diminati. Sean and Sheila sendiri memang mengusung konsep busana yang berbeda,
street style urban, dengan
cutting edgy, eksperimental, dan terinspirasi dari busana pria.
Selain itu, Sheila juga mengungkapkan bahwa saat itu, kemampuan dan punya brand saja belum cukup untuk bisa tampil di pekan mode Indonesia.
"Saat itu dengar Indonesia masih punya stigma, bisa masuk (pekan mode) kalau bisa bayar. Dan saat itu kami enggak bisa bayar, ya mau gimana lagi?" kata Sheila.
"Ini berbeda dengan di luar negeri. Ketika ada talenta, mereka akan bantu. Kami belajar semuanya dari awal, dari pekan mode di Sydney itu."
'Pengikut tren' luar negeri juga dirasakan Sean and Sheila ketika mencoba masuk pasar fesyen Indonesia lewat pekan mode beberapa tahun lalu. Mereka mengatakan bahwa kebiasaan tren Indonesia yang masih mengikuti tren fesyen luar negeri juga sedikit jadi hambatan.
"Indonesia itu masih kebiasaan
following tren, bukan menciptakan tren. Kurang eksperimental dalam berbusana, masih lebih suka main aman, jadi selama Indonesia masih punya gaya seperti itu,
brand kami saat itu masih sulit diterima," ucap Sean.
Bergabung dalam pekan mode bergengsi memang jadi impian banyak desainer. Label ini termasuk beruntung sebab kehadiran mereka di pekan mode tidak mengharuskan mereka mengeluarkan dana untuk mendapatkan slot. Beragam kompetisi dan penghargaan membuat mereka eksis di luar negeri. Penghargaan ini seperti New Emerging Brand of The Year, Elle Award (2016), Martel Rise Above Award, Craftmanship (2016) dan Winner of Asia New Generation Award (2014) adalah 'kunci' buat mereka melenggang mulus di pekan mode Indonesia.
"Sebenarnya untuk masuk pekan mode itu bisa lewat undangan dan mendaftar. Tapi setelah kami menang berbagai penghargaan dan mulai dikenal, kami selalu diundang untuk ikut pekan mode," ucap Sheila.
"Kami diundang karena menang kompetisi, sehingga saya pikir orang kalau mau (masuk dunia mode) bisa mulai bikin label kamu mulai mengikuti kompetisi, (pakai) koneksi, atau uang," ujar Sean sambil tertawa.
"Tapi masih banyak cara untuk bisa mengenalkan brand, tak cuma lewat pekan mode. Misalnya lewat internet seperti yang dilakukan brand besar luar negeri."
Pekan mode LondonKondisi berbeda dialami oleh desainer Rob Jones. Ia, yang juga salah satu pemilik label Teatum Jones, mengaku ada tahapan yang harus dilalui sebuah label demi tampil dalam jadwal resmi pekan mode bersama sederet desainer ternama dunia.
Di London Fashion Week (LFW), semua label akan melalui tahap pertunjukan '
off schedule' terlebih dahulu. Artinya, mereka tampil di luar jadwal resmi gelaran.
"Ya kamu harus punya label dan kamu harus melakukan presentasi sebelumnya itulah yang disebut pertunjukan
off schedule.
Nah, kemudian kamu akan punya pembeli, lalu kamu bisa melamar untuk
on schedule," jelas Jones saat ditemui di sela
talkshow untuk JFW 2019 beberapa waktu lalu.
"Kita nggak pernah tau berapa lama akan ada di
off schedule, jadi sebelum masuk
on schedule, ya, harus benar-benar mencari
buyer dan lainnya."
Tak terhitung pertunjukan
off schedule yang telah dilakoni label miliknya. Baru sekitar lima tahun terakhir Teatum Jones masuk jadwal resmi LFW.
 Rob Jones. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
Namun bisa masuk ke pekan mode di London yang sudah ditunggu-tunggunya, Rob masih harus memeras keringat dan juga otaknya.
Pasalnya, masuk
on schedule London Fashion Week berarti Anda harus siap mempersiapkan segala sesuatunya sendiri, dari A sampai Z.
"Untuk mempersiapkan
show-nya di pekan mode, saya harus menyiapkan sendiri semuanya, dari menentukan jam,
venue,
casting model, musik, dan belum lagi koleksinya," katanya.
"Ini sangat berbeda dengan Jakarta, karena semuanya sudah ada jadwal pasti. Kamu jam 10.00, kamu jam 11.00, dan lokasi di sini. Di sana kami atur semuanya sendiri."
Tak cuma pusing dengan urusan poduksi koleksi kreatif. Salah satu momen yang cukup berat - namun menyenangkan untuk dilakukan tiap musimnya- adalah mencari musik pengiring pertunjukan. Tujuannya agar satu pertunjukan tak terlupakan dan menonjolkan koleksinya.
"Saya
arrange musik bahkan melakukan wawancara dan riset suara di musik pengiring. Sekitar tiga bulan saya lakukan itu demi mendapat musik yang bisa menceritakan keseluruhan koleksinya. Ini sangat menyenangkan."
"Saya tak pernah merasa bosan, tiap
show selalu ada sesuatu yang berbeda," imbuhnya.
Urusan biaya, hanya label yang sudah masuk LFW saja yang diwajibkan membayar sejumlah dana. Jones enggan menyebut nilainya. Ia hanya mengatakan besarnya dana akan sangat bergantung pada besarnya bisnis yang dijalankan label juga seberapa besar lokasi pertunjukan yang digunakan.
Usai pertunjukkan, 'ketakutan' Jones mungkin belum berakhir. Dia masih harus menghadapi kritik dari berbagai pihak termasuk media. Beberapa kali dia kerap mendapatkan kritik buruk.
"Pernah, tapi ya Anda harus tetap melakukan apa yang Anda lakukan. Enggak perlu mencoba menjadi orang lain, karena orang lain itu sudah ada," ucapnya.
"Apapun yang orang katakan, baik atau buruk, Anda harus tetap melakukannya."
"Coba pikirkan kalau terlalu ikut kata orang, Anda pasti bingung. Satu orang bilang warna yang Anda buat terlalu terang dan enggak cocok. Tapi di sisi lain, orang juga bilang kalau warna terang yang Anda buat membuat mereka makin bersinar dan percaya diri. Jadi mana yang mau diikuti?
Fashion is about pushing boundaries, bukan benar atau salah."
Pekan mode dulu dan kini"Enggak menantang,
boring," kata desainer Oscar Lawalata saat menyoal pekan mode masa kini.
Ditemui di sela pertunjukan busana miliknya di Plaza Mandiri beberapa pekan lalu, Oscar berpendapat pekan mode dulu dan kini terasa berbeda. Dulu, lanjut dia, tak semua desainer bisa unjuk gigi di pekan mode.
 Oscar Lawalata. (Yohannie Linggasari) |
"Bukan seleksi, itu otomatis, seorang desainer itu disebut
establish atau tidak. Enggak soal kasta-kastaan. Jadi yang sudah
establish itu, itu yang layak ditampilkan ke umum," ujarnya.
"Kalau sekarang, siapa yang punya uang bisa ikut tinggal beli slot. Jadi mau karyanya amburadul yang penting saya punya uang saya beli slot atau saya punya sponsor saya bisa
show."
Apalagi dengan kemajuan teknologi masa kini, seakan siapapun bisa menyebut diri seorang desainer. Oscar memberikan contoh orang cukup membuat busana yang 'aneh' atau ajaib', unggah ke media sosial, terkenal dan disebut desainer.
Ia tak ingin menutup mata dengan semua fenomena yang terjadi di industri fesyen, hanya saja ia berharap ada slot berbeda antara mereka yang sudah lama berjuang hingga ke posisinya kini jadi desainer dan mereka yang masih baru.
"Untuk yang baru-baru, bukan berarti tidak bisa
show. Tapi kan harus ada gerbong yang berbeda. Ibaratnya orang baru yang mulai karena uang sama kami yang sudah bertahun-tahun bersusah payah disamakan di dalam satu
stage. Itu tak hanya terjadi di dunia fesyen saja, musik, film sama," kata Oscar.
Pemisahan ini pun demi memberikan edukasi yang benar bagi penikmat fesyen. Menurutnya jangan sampai orang salah terinspirasi ibarat orang menyimak media yang asal menyampaikan berita, tentu informasi yang diperoleh juga asal. "Tapi ya pemain mode sekarang enggak peduli dengan itu, medianya juga campur aduk," imbuhnya.
Pergeseran terjadi di manapun. Paris yang dianggap sebagai kiblat fesyen dunia pun turut mengalami pergeseran. Semua desainer berangkat dari sebuah rumah mode. Desain mereka kemudian dibeli oleh label. Di sini terjadi perputaran uang.
Seiring berjalannya waktu, orientasinya jadi uang. "Kalau dulu dibikin pakai hati. Memang fashion perlu perputaran bisnis. Cuma kalau dijalankan oleh perusahaan orientasinya akan berbeda," ujarnya.
(els/chs)