Jakarta, CNN Indonesia -- Selalu ada yang pertama saat bicara yang kedua kemudian yang ketiga. Desainer Yanny Tan untuk pertama kalinya keluar dari 'kepompongnya' setelah 10 tahun berkarya. Tak banyak yang tahu akan desainer berdarah Tionghoa ini. Ia seolah berkarya dalam 'diam'.
Tumbuh dan besar di lingkungan dengan kultur Jawa yang kental membuat Yanny mengenal batik. Kali pertama perkenalannya akan batik justru di museum. Ia kagum sekaligus heran ternyata batik mengandung simbol dan cerita yang dalam. Ia menemukan ada nilai dalam selembar kain batik. Dari sini, mulailah Yanny mengeksplorasi kain batik.
Cerita, kecintaan, dan konsistensinya mengeksplorasi kain pun dibagikan dalam sebuah gelaran bertajuk "Nature's Poetry Couture Collection 2019."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini merupakan rangkaian imaji, ekspresi tentang keindahan alam yang saya tuangkan ke dalam desain batik, warna serta siluet," kata Yanny saat konferensi pers jelang peragaan busananya di Dharmawangsa Hotel, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Rabu (21/11).
Mengacu pada istilah 'couture' yang ia sematkan. Yanny mengolah busananya bukan dari kain yang sudah ada. Ia bercerita bahwa tantangan terbesar dalam mewujudkan koleksi ini terletak pada pembuatan kain.
"Material 90 persen membuat sendiri baik batik juga tenun. Batik saya desain sendiri. (Lama) proses bermacam-macam, ada yang minimal tiga bulan. Kalau sudah jadi kain sebenarnya cepat," tuturnya.
"Saya ingin membuat sesuatu yang enggak hanya kain, tapi lebih dari itu. Ini seni. Tak hanya sekadar fashion tapi
fashion and art performance."
Klasik kontemporer, begitu ia menggambarkan karyanya secara umum. Karya, lanjut dia, mengikuti perkembangan mode yang ada, tetapi tidak meninggalkan 'akarnya'. Yanny pun menuangkan lukisan keindahan alami lewat 47 look cocktail dress dan evening gown serta menyelipkan empat look busana pria.
Alam yang kaya dan penuh kebebasan digambarkan Yanny lewat busana-busana berpotongan loose. Penggunaan teknik batik tulis, batik cap serta tye dye tidak diaplikasikan pada kain katun yang kaku, melainkan pada bahan yang ringan yakni sutera organdi. Sedangkan pada busana pria, ia menyelipkan bahan wol. Kain-kain ini tampak memiliki tekstur gelombang yang alami.
 Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino Koleksi Yanny Tan |
Kesan klasik nyaris tak terasa dalam karya Yanny. Motif batik berupa flora dan fauna tak terkesan 'usang', ditambah penggunaan kain yang ringan. Teknik tye dye ala Yanny cukup berbeda. Tak seperti ekspektasi orang akan bentuk melingkar atau warna pelangi yang mengingatkan publik akan busana khas grup musik Nidji, melainkan bentuk kotak-kotak yang tak terlalu besar. Motif ini cukup jelas terlihat pada kemeja pria.
Kesan modern pun didukung penggunaan siluet-siluet kekinian seperti long dress, bentuk kaftan atau dress dengan bentuk kotak, gaun berpotongan leher rendah sehingga torso tampak seksi, one-shoulder dress serta tunik. Ada pula beberapa look yang seolah hanya 'permainan' lipatan kain pada leher. Kain dibiarkan menjuntai dan jatuh tepat di lekuk tubuh model.
Pengambilan tema alam juga membawa konsekuensi pada warna. Yanny memilih menggunakan warna alam seperti hijau pupus, cokelat, dan merah marun. Menurutnya warna-warna alam mampu membawa ketenangan bagi siapapun yang mengenakan atau melihatnya.
Meski sudah 'ramai' dengan motif dan tekstur kain, Yanny tak ingin melewatkan detail untuk koleksi busananya. Ia dengan apik menyematkan payet, manik serta hiasan rahut tepat sasaran dan tak berlebihan. Bahkan ia menyematkan detail berupa fringe atau bulu palsu untuk bagian lengan dan bagian ujung gaun.
Secara keseluruhan, rasa yang Yanny tuangkan dalam koleksinya mampu menghapus kesan 'jadul' pada kain batik. Kreasi motif batik, penggunaan kain serta siluet mampu menghadirkan batik menjadi lebih modern. Terlebih eksplorasi 'jeniusnya' untuk teknik tye dye.
Pertunjukan busana bernuansa alam pun dipadu dengan penggunaan musik latar karya Tony Prabowo. Paduan musik instrumental dan vokal mampu membangun suasana pertunjukan. Sayangnya, pencahayaan yang kurang tepat membuat pertunjukan jadi kurang mantap. Padahal ketika cahaya memadai, penikmat fashion akan melihat dengan jelas kreasi motif serta warna yang lebih baik pada busana.
(els/chs)