Jakarta, CNN Indonesia -- Sejak kawasan Ciletuh-
Palabuhanratu masuk dalam jaringan UNESCO Global Geopark, daerah pantai Palangpang yang merupakan bagian dari kawasan Teluk
Ciletuh seketika ramai dan bergeliat.
Ratusan hingga ribuan wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara, yang merasa penasaran dengan istilah Geopark atau Taman Bumi datang silih berganti setiap akhir pekan untuk sekadar bersantai melepas penat sembari menikmati sajian panorama alam.
Padahal sebelumnya kawasan yang masuk dalam Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat ini hanya dikenal oleh sebagian orang saja, khususnya nelayan, geolog, dan penambang emas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kawasan Geopark Palabuhanratu memiliki luas sekitar 128 ribu hektare yang tersebar di delapan kecamatan. Sementara itu, Kecamatan Ciemas memiliki wilayah yang paling luas di Kabupaten Sukabumi yakni 304,57 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk tahun 2017 sebanyak 49.709 jiwa.
Teluk Ciletuh, atau yang pada masa Hindia Belanda disebut
Zand-baai (teluk pasir), adalah sebuah teluk di Kabupaten Sukabumi yang terletak di sebelah selatan Teluk Palabuhanratu.
Dalam sebuah jurnal berjudul "Pembentukan Prisma Akresi di Teluk Ciletuh, Kaitannya dengan Sesar Cimandiri" yang disusun oleh Lili Sarmili dan Deny Setiady dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Ciletuh memang sudah lama mendapat tempat di hati para geolog.
"Daerah Ciletuh Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, dalam dunia ilmu geologi di Indonesia dikenal sebagai salah satu tempat dari tiga tempat di Pulau Jawa yang menyingkapkan kelompok batuan berumur paling tua di Pulau Jawa," tulis Lili dan Deny.
Mengonfirmasi hal tersebut, Ketua Pusat Penelitian Geopark dan Kebencanaan Geologi Universitas Padjajaran, Prof. Mega Fatimah Rosana, menuturkan sudah banyak orang dari badan geologi yang datang ke Ciletuh sebelum kawasan ini dijadikan Geopark.
"Lebih ke (tujuan) ilmiah aja, tidak untuk wisata. Karena kan dulu aksesnya juga jelek, bukan untuk jalan (darat). Dulu kalau ke sana harus pakai perahu dari Palabuhanratu, orang menganggapnya susah makanya Ciletuh tidak populer," ujar Mega kepada
CNNIndonesia.com, seraya mengenang perjalanan pertamanya ke Ciletuh 13 tahun silam.
Terkait bebatuan yang ada di Ciletuh, Mega menambahkan, untuk kawasan Jawa Barat formasi bebatuan di Ciletuh dianggap batuan yang paling tua dan seusia dengan dua tempat lain di Jawa Tengah.
"(Formasi bebatuan Ciletuh) itu jadi kita anggap tanah pertama di Jawa Barat, kurang lebih gitu bahasa populernya. Supaya orang awam lebih mudah paham, daratan pertama di jabar," katanya.
"Karena skala geologinya itu kelas dunia, makanya Geopark Ciletuh-Palabuhanratu langsung diakui dan diloloskan oleh UNESCO ketika pertama kali mendaftarkan diri."
Sedangkan terkait kondisi teluk Ciletuh, kedalaman air di teluk Ciletuh pada umumnya agak landai ke arah barat dan mencapai kedalaman maksimal sekitar 200 meter, dan membentuk lembah yang dalam ke arah barat.
Garis pantai bagian utara Teluk Ciletuh dibatasi oleh tebing pantai yang curam, sedangkan bagian selatan teluk Ciletuh morfologinya agak landai dan di beberapa tempat terdapat pendangkalan hingga terbentuk pulau-pulau yang muncul menjadi daratan.
Menurut Kasubdit Pulau-pulau kecil dan Terluar Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ahmad Aris, ada empat pulau kecil di kawasan Teluk Ciletuh.
"Ada pulau Mandra, pulau Kunti, pulau Manuk (Mariuk), dan pulau Gotor. (Pulau) mandra itu masuk dalam kategori Areal Penggunaan Lainnya atau APL, artinya boleh dimanfaatkan oleh siapa aja, tapi tetap tergantung dari daya dukung pulaunya," ujar Ahmad kepada
CNNIndonesia.com.
"Namun yang bisa dimanfaatkan hanya sekitar 51 persen, sisanya untuk fasilitas umum. Kami belum cek kepemilikan lahannya, karena kami belum punya data terkait itu. Sementara pulau Kunti dan Gotor masuk kawasan suaka alam, itu kewenangannya di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan."
Menurutnya keempat pulau yang ada di Teluk Ciletuh, masuk dalam kategori
tiny island atau pulau sangat kecil yang luasnya di bawah 10 ribu hektare.
Sehingga, ia melanjutkan, kalau ada investor swasta yang mau masuk harus punya rekomendasi dari KKP.
Saat ditanya soal ancaman yang menghantui pulau-pulau kecil di Indonesia, Ahmad menjawab ada banyak faktor seperti abrasi dan pemanasan global.
"Pemanasan global pasti ada dampaknya terhadap pulau-pulau kecil. Itu sebabnya aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan adalah pertimbangan utama," katanya.
Dalam kawasan Teluk Ciletuh, salah satu pulau terdekat yang bisa dijangkau dari Pantai Palangang adalah Pulau Mandra. Untuk menuju pulau seluas 1 x 0,5 kilometer persegi ini harus dilakukan perjalanan lewat laut, jarak tempuh hanya sekitar tiga menit dengan berperahu motor jika .
Jika menuju ke pulau ini saat akhir pekan, jangan heran jika melihat banyak pemancing yang berdiri berdampingan. Meskipun airnya terbilang keruh, namun ikan bukan benda yang langka di tempat ini.
Sementara itu, sedikit bergeser ke arah barat atau lima menit dari Pulau Mandra terdapat Pulau Kunti. Kualitas air di Pulau Kunti jauh lebih baik ketimbang di Pulau Mandra, bahkan di dekat Pulau Kunti ada spot favorit baru untuk wisatawan yaitu snorkeling dan penanaman terumbu karang.
Untuk menuju tempat ini, wisatawan bisa menyewa perahu dari Pantai Palangpang atau Muara Sungai Ciletuh. Tarif yang ditawarkan pun beragam tergantung kemampuan negosiasi.
Namun jika mengambil paket wisata lengkap ke pulau-pulau, termasuk snorkeling, wisatawan perlu merogoh kocek sebesar Rp750 ribu untuk 10-15 orang.
Kedua pulau yang kini mejadi salah satu destinasi favorit wisatan ini, rupanya menjadi saksi bisu kisah kelam peradaban manusia di kawasan Ciletuh.
Salah seorang warga Desa Mandrajaya, Taufik, menuturkan saat masih berprofesi sebagai nelayan dirinya sempat 'berkontribusi' dalam upaya pengerusakan alam.
"Dulu saya sempat mencoba jadi penambang emas di Ciemas, dan pencari ikan hias di dekat Pulau Kunti. Merkuri itu adalah hal biasa yang dipakai buat nyari emas, sementara kalau nyari ikan hias pakai potasium," ujar pria yang saat ini fokus di kelompok masyarakat peduli konservasi kepada CNNIndonesia.com.
Taufik, yang saat ini fokus membudidayakan sidat, mengaku bahwa apa yang dilakukannya dulu karena tidak memiliki pengetahuan tentang pentingnya menjaga alam demi keberlangsungan hidup banyak pihak.
Sebagai 'penebusan dosanya', ia memutuskan pensiun dari kegiatan pengambilan ikan hias yang tidak ramah lingkungan kemudian beralih untuk menanam mangrove dan terumbu karang sebagai upaya pertama untuk penyelamatan alam daerahnya.
Pada awalnya Taufik dipandang sebelah mata oleh warga setempat, yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan, saat melakukan upaya konservasi.
"Contohnya pas saya nanam mangrove ada aja halangannya, misalnya yang mencibir bahkan membabat. Itu karena merea gak ngerti, makanya saya gak apa-apalah. Tapi kalau mereka ngerti, sebenarnya (penanaman mangrove) itu untuk bersama. Untuk ekosistem," ujar Taufik.
"Jadi saya tetap melakukan penanaman sambil menjelaskannya pelan-pelan, akhirnya selama lima tahun ini alhamdulillah sudah mulai pada mengerti."
Dari hasil kerja kerasnya ini, Taufik menuturkan akan ada pembangunan kawasan ekowisata mangrove di Desa Mandrajaya yang diinisiasi oleh KKP. Rencananya pembangunan akan dimulai pada tahun 2019 dan diharapkan bisa diresmikan secepatnya.
Berawal dari menanam dan merawat mangrove hingga terumbu karang, akhirnya pada tahun 2014 Taufik dipasrahkan mengelola lahan seluas kurang lebih satu hektare untuk budidaya sidat oleh sang pemilik lahan.
Selama membudidayakan sidat, ia mengaku tidak ada kendala yang sangat besar. Karena menurutnya sidat hampir sama seperti lele, tahan terhadap penyakit dan perawatannya cukup mudah.
"Menurut saya yang mengancam sidat itu pencemaran, misalnya limbah atau yang dibuang ke sungai dan mengalir ke laut. Sampai sekarang masalah yang saya hadapi ya soal sampah di pesisir. Di sungai Ciletuh itu ada bibit sidat ada, sementara di Cimarinjung dan di aliran hutan mangrove tidak ada. Itu karena di hutan mangrove ada limbah tambak udang, sedangkan di sungai Cimarinjung yang bagian hulu ada tambang emas," ujarnya.
"Dulu saya menanam mangrove di Cimarinjung 4.000 pohon tahun 2013, mati semua krn kan ada kandungan merkuri, cn, potasium. Tapi alhamdulillah sekarang udah mulai hidup, mungkin karena limbah emasnya sudah berkurang. Kemarin saya baru nanam 7.000 pohon alhamdulillah tidak ada yang mati."
Taufik memilih fokus mempelajari budidya sidat bukan tanpa alasan, menurutnya membudidayakan sidat mendapat dukungan penuh dari pemerintah.
Ia mencontohkan dirinya belum lama ini mendapat bantuan dari Dinas Kelautan Kabupaten Sukabumi, berupa bangunan semi permanen untuk membesarkan bibit dari ukuran glass eel ke elver dan kemitraan terkait distribusi penjualan.
Bahkan, ia menambahkan, pengambilan benih sidat di Muara Sungai Ciletuh yang sama sekali tidak dilarang, karena tidak merugikan ataupun merusak lingkungan.
"Sidat ini unik. Besar di air tawar, tapi kalau mau beranak pergi ke laut dalam. Nanti setelah anaknya menetas, ibunya balik lagi ke air tawar dan anaknya juga ke air tawar nanti besar di sana. Kebalikannya ikan salmon," katanya.
"Sampai skrg sidat ini masih menggunakan bibit alam, karena belum ada negara manapun yang sukses menernakkan sidat. Karena standarnya cukup tinggi."
Namun di kawasan Teluk Ciletuh, sampai saat ini baru Taufik seorang yang tergerak untuk fokus membudidayakan sidat. Hal ini cukup mengherankan mengingat ada dua perusahaan eksportir sidat kelas dunia di Palabuhanratu.
Terkait hal ini, Taufik memiliki jawaban sendiri. Menurutnya di teluk ciletuh memang bukan basis budidaya, karena mayoritas adalah nelayan.
"Justru saya ini sedang belajar. Tapi kebanyakan mereka (nelayan) maunya cepat, padahal untuk panen sidat perlu waktu sekitar 1-1,5 tahun. Jadi ketika disuguhkan gaya seperti ini mereka tidak melirik, karena alasannya lama," katanya.
"Kalau udah urusan perut ya saya gak bisa memaksa. Akhirnya solusinya kalau emang mau instan, ya saya minta aja mereka ambil bibitnya terus bibitnya saya beli."
Menurutnya nelayan menjual sidat ukuran glass eel seharga Rp1 juta per kilogram, yang isinya bisa mencapai 6.000 ekor.
Setelah mendapatkan glass eel, tugas Taufik adalah membesarkan hingga mencapai ukuran elver (5-10 gram). Sidat ukuran ini dijual seharga Rp400 ribu per kilogramnya.
Untuk satu kilogram glass ell, ia menambahkan, bisa mencapai 20 kilogram ukuran elver setelah dirawat selama tiga bulan.
Sementara untuk kolam-kolam pembesaran yang ia kelola sampai ukuran siap konsumsi, bisa mencapai angka satu ton saat panen. Harga sidat saat ukuran siap konsumsi berkisar antara Rp150-190 ribu per kilogramnya.
"Saya bisa kok hidup dari budidaya sidat. Rata-rata orang itu pola pikirnya lebih baik jadi kuli daripada jadi pengusaha. Kalau kuli kan setiap bulan atau setiap hari gajian, tapi kalau usaha kan ada risiko rugi," ujarnya.
Untuk pemasarannya, Taufik sudah tidak bingung lagi karena sidat adalah komoditas yang paling disukai oleh masyarakat Jepang dan Korea Selatan. Sidat adalah bahan utama untuk unagi.
Sedangkan untuk pangsa pasar di Indonesia, Taufik mengaku sidat masih belum terlalu dilirik. Namun upaya memperkenalkan sidat ke masyarakat Indonesia tetap terus dilakukan, salah satunya adalah lewat medium pariwisata.
Menurut Taufik banyaknya wisatawan yang berkunjung ke kawasan Pantai Palangpang Geopark Ciletuh-Palabuhanratu, adalah peluang bagus untuk memperkenalkan potensi yang dimiliki Teluk Ciletuh.
"Pasti pengunjungkan kan juga butuh makan, nah permintaan ikan juga tinggi harga ikan juga bisa naik. Selain itu juga bisa terjalin hubungan yang baik dengan pihak luar," katanya.
"Kalau untuk sidat, biasanya sih kami pepes jika persediaan sedang ada. Orang yang udah nyobain pepes sidat, pasti nanya lagi ke saya."
Sementara itu Kepala Bidang Perikanan Budidaya, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, Hanura Nursyamsi, berharap suatu saat sidat bisa menjadi ikon Geopark Ciletuh mengingat potensi sidat di tempat ini sangat besar.
"Kami sangat mendukung konsep Geopark, makanya saya pribadi minta ke pak Taufik untuk menata lokasi budidayanya agar bisa menjadi sarana wisata edukasi juga. Kalau itu bisa dikembangkan, saya maunya menjadikan sidat menjadi ikon ciletuh. Karena kami memang punya perencanaan sampai ke sana," kata Hanura kepada CNNIndonesia.com.