Denpasar, CNN Indonesia -- Sebuah rumah sederhana berhalaman cukup lapang yang terletak agak tersembunyi dari tepi jalan Gunung Karang, Kota Denpasar, Bali, menjadi tempat berteduh belasan ibu bersama anak mereka.
Di dalamnya, ibu-ibu berkumpul di teras belakang beratap asbes yang melindungi mereka dari teriknya sinar matahari Bali di musim pancaroba. Mereka mengelilingi meja kecil, lesehan, dan berusaha mempelajari hal baru.
Ada yang mengecat kain. Sedangkan di sisi lain teras, di sebuah ruangan hanya berukuran 2x3 meter, beberapa ibu belajar untuk menjahit. Suhu panas yang menembus asbes tak menghentikan mereka untuk tetap fokus pada pekerjaannya sembari sesekali mengobrol atau menjawab rengekan anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka adalah ibu-ibu tunakarya yang tergerak atas ajakan lembaga nirlaba Bali Life Foundation untuk mulai memberdayakan diri di rumah bernama Street Kids Centre and Woman Workshop yang dibangun sejak 2015 itu.
Mereka semula bekerja serabutan. Bahkan, tak sedikit yang mengemis di jalanan Bali, mengharap dolar dan rupiah dari para turis.
Sedangkan anak-anak yang berlarian dan tertawa girang di sisi lain rumah itu adalah buah hati mereka. Warna kulit anak-anak itu menandakan intensitas kegiatan mereka menemani sang ibu mencari nafkah di jalanan. Mereka telah bekerja sejak dini, bahkan sedari gendongan, demi sesuap nasi.
Para anak dan ibu ini adalah tulang punggung keluarga mereka.
Banyak anak yang meninggalkan bangku sekolah untuk mengemis, menjual sesuatu, atau bekerja sebagai pegawai spa atau buruh bangunan demi membantu ibu mengumpulkan uang. Uang hasil jerih payah itu lalu diberikan ke ayah atau suami mereka di kampung.
 Rumah lokakarya para ibu tunakarya terletak di Kota Denpasar, Bali. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Di kampung, para suami juga tak memiliki pekerjaan menentu. Bahkan ada pula yang memilih menyabung ayam alih-alih bekerja memberi nafkah untuk keluarga.
Wayan tahu betul kisah itu. Wanita asli Karangasem, Bali, ini masih mencari nafkah untuk anak-anaknya di usia dia yang sudah paruh baya. Bila tak bekerja, ia tak tahu anak-anaknya akan makan apa.
Wayan bergabung dengan rumah tersebut sejak 2015. Ia tergerak untuk ikut bergabung setelah berjuang sendirian bekerja serabutan di jalanan Denpasar. Bekerja di kota ia pilih untuk mendapatkan rezeki lebih dari sekadar di kampung.
"Saya pisah sama suami saya. Saya berjuang untuk anak-anak saya," kata Wayan yang sungkan menyebutkan alasan detail keputusannya berpisah dari sang suami yang hanya memilih beternak babi sebanyak dua ekor.
"Apa saja saya kerjakan. Cuma saat ini saya jualan tisu, sama anak-anak. Lumayan, dapat Rp100 ribu dalam sehari," kata Wayan.
Wayan menyebutkan, setiap kali dirinya berhasil mengumpulkan uang, pendapatan itu akan ia simpan untuk kebutuhan sehari-hari, anak-anak, dan juga dibawa ke kampung untuk menyuplai finansial suami juga kebutuhan upacara adat hingga berjuta-juta setiap bulannya.
 Sejumlah ibu mengisi kegiatan mereka dengan menjahit bersama ibu tunakarya lainnya. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Membantu menyuplai finansial keluarga juga dilakukan oleh Sugiyanti. Wanita asal Jawa ini pindah ke Bali mengikuti suaminya yang bekerja sebagai buruh di toko kaca dengan pendapatan Rp100 ribu per harinya.
Semula, Sugiyanti hanya mengisi kegiatan sebagai ibu rumah tangga. Namun kebutuhan keluarga dengan dua anak menuntut dirinya mencari pekerjaan lain.
"Anak yang besar usianya 14 tahun, yang kecil 12 tahun," kata Sugiyanti. "Anak saya [yang tertua] sekolah SMP umum [non-negeri], bayar SPP-nya Rp250 ribu per bulan. Yang bungsu di SD, masih gratis, tapi kelas 6 dan sebentar lagi SMP,"
Bawa Dolar Hasil MengemisBukan perkara mudah bagi Netty Sitanggang, koordinator Women Workshop Pusat Pemberdayaan Wanita Bali Life Foundation untuk mengajak para ibu tunakarya sekaligus mengelola rumah ini, dengan segala keterbatasannya.
 Netty Sitanggang, koordinator Women Workshop Pusat Pemberdayaan Wanita Bali Life Foundation. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Apalagi, bagi yang menargetkan ibu dan anak jalanan seperti Wayan, mengemis sudah jadi tradisi di pulau tujuan wisata dunia itu. "Untuk menjangkau anak jalanan ini cukup susah karena sudah turun-temurun di jalanan," kata Netty.
"Jadi fokus kami bagaimana menghentikan mereka turun kembali ke jalan. Biar mereka tidak lagi mengemis dan punya pendidikan. Ibu-ibunya kami bawa ke sini, karena mereka tidak mau datang kalau ibunya tidak ke sini," lanjutnya.
Netty menyebut semula yayasan memberikan iming-iming uang Rp50 ribu per hari agar para ibu dan anak tunakarya ini mau tergerak. Namun strategi yang dirasa kurang baik itu telah ditinggalkan dan diganti menjadi pendekatan persuasif.
 Selain mengisi kegiatan, di rumah lokakarya ini para ibu juga menjaga anak-anak mereka. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Netty menyebut tindakan persuasif yang dilakukan dengan keliling kawasan Denpasar dan Kuta itu memang sulit. Apalagi, mengingat dengan mengemis, para ibu dan anak ini bisa mendulang uang dengan mudah.
"Kalau dari cerita mereka di sini, mereka di jalan bisa mendapatkan Rp150 ribu [per hari]. Bayangkan saja kalau anaknya ke jalan semua, satu anak dapat Rp50 ribu. Kalau mereka punya enam anak? Rp300 ribu. Dan anak mereka bukan cuma satu, ada tiga sampai enam," kata Netty.
"Kadang ada anak yang datang ke sini bawa dolar. Apalagi ini di Bali," lanjutnya.
Cerita para ibu tunakarya berjuang menafkahi anak dan keluarga berlanjut ke halaman berikutnya...
Netty juga menyebut kondisi suami yang memilih tak bekerja menjadi pendorong para ibu ini turun ke jalan. Banyak kasus yang Netty temukan lebih prihatin dibanding Wayan atau Sugiyanti.
"Suaminya di kampung. Sabung ayam. Di sini memang begitu, mereka pulang bawa uang untuk suami. Sudah turun temurun," kata Netty yang menyebut dari 10 ibu yang mengemis, sembilan di antaranya untuk diberikan ke suami mereka.
Kondisi miris itulah yang menggerakkan Netty dan teman-temannya mengajarkan berbagai keterampilan mendaur ulang barang bekas menjadi cendera mata untuk para ibu dan mengajarkan pendidikan dasar seperti calistung dan bahasa Inggris kepada anak-anak mereka.
Salah satu yang kini diajarkan dalam rumah tersebut adalah mengolah linen bekas hotel yang diinisiasi oleh jaringan Accor Hotel Bali menggandeng Lembaga Pengajaran Tata Busana milik desainer senior Susan Budihardjo.
 Anak-anak yang semula mengemis dan kerja serabutan diajarkan calistung dan bahasa Inggris oleh para sukarelawan. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Susan dengan tenaga pengajarnya memberikan keterampilan sederhana mengolah linen bekas menjadi produk baru, misalnya apron. Program yang baru dimulai Maret ini rencananya akan berjalan hingga 2020.
"Kami melatih ibu-ibu ini supaya bisa berkembang, bisa mencari nafkah, tidak menganggur, dan barang bekasnya pun tidak sia-sia," kata Susan, ditemui dalam kesempatan terpisah.
"Kami tidak mendidik mereka sebagai anak sekolah mode. Mereka sudah diberi contoh, tinggal mengikuti. Takutnya mereka jenuh kalau diberi yang rumit. Yang penting mereka tertarik membuat sesuatu," lanjutnya.
 Salah satu karya ibu-ibu tunakarya usai diberi pelatihan oleh LPTB Susan Budihardjo, membuat apron dari linen bekas. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Sudah empat tahun bergabung, Wayan tampaknya semakin tak tertarik akan kondisi suaminya di kampung. "Suami di Karangasem sendirian. [Soal] makan dia? Biarin saja," katanya.
"Saya senang di sini. Bisa kerja di sini. Saya memang masih ke jalan juga. Cuma lumayan juga di sini dapat kerjaan," kata Wayan yang mengaku mampu bisa menghasilkan sejumlah gelang yang ia diupahi Rp10-20 ribu per buahnya.
Hal yang sama turut diutarakan Sugiyanti. Ia mengaku, sejak ikut bergabung, dirinya bisa membawa pulang Rp300-600 ribu per pekan dari kegiatannya membuat cendera mata dari barang bekas itu.
"Senang di sini. Anak-anak sekolahnya juga lancar. Uangnya bisa buat tambah-tambah bayar SPP. Yang jelas, ini sangat membantu," kata Sugiyanti.
 Para anak-anak ceria bermain dalam rumah ini sementara ibu mereka berkarya. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Netty mengatakan, bantuan untuk para ibu dan anak tunakarya ini juga datang dari Dinas Sosial setempat berupa uang yang kemudian dialihkan menjadi sembako. Namun menurutnya, kebutuhan untuk menunjang pendidikan anak dan keterampilan para ibu lebih bisa memberdayakan mereka.
"Apalagi anak-anak ini mau sekolah. Jelas barang seperti alat tulis, tas. Kalau untuk ibu-ibunya, pasti pesanan. Ada kerjaan juga pelatihan," kata Netty.
Selayaknya seorang ibu, baik Wayan maupun Sugiyanti agak bisa bernafas lebih lega bisa melancarkan pendidikan bagi anak-anak mereka. Wayan dan Sugiyanti tak berharap banyak, selain anak-anak mereka bisa sekolah dan menjadi lebih baik dari orang tuanya.
"Terserah anak-anak mau jadi apa, saya belum tahu," kata Wayan sembari tertawa ketika berbincang soal cita-cita anak-anaknya. "Saya mengikuti saja, yang penting anak saya sekolah."