Netty juga menyebut kondisi suami yang memilih tak bekerja menjadi pendorong para ibu ini turun ke jalan. Banyak kasus yang Netty temukan lebih prihatin dibanding Wayan atau Sugiyanti.
"Suaminya di kampung. Sabung ayam. Di sini memang begitu, mereka pulang bawa uang untuk suami. Sudah turun temurun," kata Netty yang menyebut dari 10 ibu yang mengemis, sembilan di antaranya untuk diberikan ke suami mereka.
Kondisi miris itulah yang menggerakkan Netty dan teman-temannya mengajarkan berbagai keterampilan mendaur ulang barang bekas menjadi cendera mata untuk para ibu dan mengajarkan pendidikan dasar seperti calistung dan bahasa Inggris kepada anak-anak mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu yang kini diajarkan dalam rumah tersebut adalah mengolah linen bekas hotel yang diinisiasi oleh jaringan Accor Hotel Bali menggandeng Lembaga Pengajaran Tata Busana milik desainer senior Susan Budihardjo.
 Anak-anak yang semula mengemis dan kerja serabutan diajarkan calistung dan bahasa Inggris oleh para sukarelawan. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Susan dengan tenaga pengajarnya memberikan keterampilan sederhana mengolah linen bekas menjadi produk baru, misalnya apron. Program yang baru dimulai Maret ini rencananya akan berjalan hingga 2020.
"Kami melatih ibu-ibu ini supaya bisa berkembang, bisa mencari nafkah, tidak menganggur, dan barang bekasnya pun tidak sia-sia," kata Susan, ditemui dalam kesempatan terpisah.
"Kami tidak mendidik mereka sebagai anak sekolah mode. Mereka sudah diberi contoh, tinggal mengikuti. Takutnya mereka jenuh kalau diberi yang rumit. Yang penting mereka tertarik membuat sesuatu," lanjutnya.
 Salah satu karya ibu-ibu tunakarya usai diberi pelatihan oleh LPTB Susan Budihardjo, membuat apron dari linen bekas. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Sudah empat tahun bergabung, Wayan tampaknya semakin tak tertarik akan kondisi suaminya di kampung. "Suami di Karangasem sendirian. [Soal] makan dia? Biarin saja," katanya.
"Saya senang di sini. Bisa kerja di sini. Saya memang masih ke jalan juga. Cuma lumayan juga di sini dapat kerjaan," kata Wayan yang mengaku mampu bisa menghasilkan sejumlah gelang yang ia diupahi Rp10-20 ribu per buahnya.
Hal yang sama turut diutarakan Sugiyanti. Ia mengaku, sejak ikut bergabung, dirinya bisa membawa pulang Rp300-600 ribu per pekan dari kegiatannya membuat cendera mata dari barang bekas itu.
"Senang di sini. Anak-anak sekolahnya juga lancar. Uangnya bisa buat tambah-tambah bayar SPP. Yang jelas, ini sangat membantu," kata Sugiyanti.
 Para anak-anak ceria bermain dalam rumah ini sementara ibu mereka berkarya. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Netty mengatakan, bantuan untuk para ibu dan anak tunakarya ini juga datang dari Dinas Sosial setempat berupa uang yang kemudian dialihkan menjadi sembako. Namun menurutnya, kebutuhan untuk menunjang pendidikan anak dan keterampilan para ibu lebih bisa memberdayakan mereka.
"Apalagi anak-anak ini mau sekolah. Jelas barang seperti alat tulis, tas. Kalau untuk ibu-ibunya, pasti pesanan. Ada kerjaan juga pelatihan," kata Netty.
Selayaknya seorang ibu, baik Wayan maupun Sugiyanti agak bisa bernafas lebih lega bisa melancarkan pendidikan bagi anak-anak mereka. Wayan dan Sugiyanti tak berharap banyak, selain anak-anak mereka bisa sekolah dan menjadi lebih baik dari orang tuanya.
"Terserah anak-anak mau jadi apa, saya belum tahu," kata Wayan sembari tertawa ketika berbincang soal cita-cita anak-anaknya. "Saya mengikuti saja, yang penting anak saya sekolah."
(end)