Tantangan Membangun Pulau JoyoAntony Marden, pemilik resor di Pulau Pangkil dan di Pulau Joyo, Kepulauan Riau, menemukan pulau-pulau itu lebih dari dua dekade lalu.
"Saya selalu menjadi pelaut dan saya selalu mencintai laut," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam salah satu perjalanan berlayar saya di Asia Tenggara, saya menemukan pulau-pulau kecil yang cantik itu. Saya perhatikan mereka, mereka sangat indah."
Mantan pemilik Fenwick Shipping Services, sebuah perusahaan manajemen kapal besar yang berbasis di Hong Kong, itu segera kembali dengan seorang teman untuk menjelajah.
"Pada masa itu, [kami] biasa menyewa perahu nelayan dan pergi ke pulau-pulau dan kemah. Kami membuat api unggun, membangun tenda, dan minum rum."
Saat itu, katanya, pengembang membeli tanah di pulau-pulau besar, seperti Bintan, dan orang-orang khawatir akan adanya ledakan properti.
"Kami takut pembangunan juga melanda pulau ini. Tetapi kami tidak terburu-buru. Kami masih satu-satunya orang yang berkunjung ke sana."
Marden membeli sembilan pulau dan "pantai besar yang hebat" tetapi ia hanya mengembangkan dua pulau.
[Gambas:Instagram]Dia mulai dengan Pulau Pangkil. Dirancang sebagai destinasi liburan keluarga dari Singapura, lokasi pernikahan, dan tempat wisata perusahaan, pulau pribadi ini dibuka lebih dari 15 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2003.
Pengunjung dapat menyewakan seluruh pulau, yang meliputi lima pantai, restoran, bar, kolam renang, dan banyak peralatan olahraga air.
"Saya selalu ingin membangun istana kayu apung dan, pada tahap itu, ada sejumlah besar kayu apung tergeletak di sekitar. Jadi kami mulai mengumpulkan kayu apung dari kayu jati besar dan mengangkutnya dari karang," kenang Marden.
"Kami meminta bantuan selusin orang untuk mengangkutnya ke daratan. Mereka merancang kayu menjadi rakit, menunggu air pasang, lalu menariknya ke daratan."
Sekitar satu dekade kemudian, Marden memutuskan untuk mengembangkan Pulau Joyo.
Satu dekade kemudian, Marden mengembangkan Pulau Joyo. Lebih mewah dari dua pulau yang sebelumnya dikembangkan, Joyo dilengkapi dengan vila-vila bergaya tradisional, restoran, spa, kolam renang, area kegiatan alam, dan pantai berpasir kuning emas.
"Sangat tergoda untuk memiliki pulau sendiri," kata Marden sambil tertawa.
"Tapi benar-benar sulit untuk mencoba menjalankannya secara komersial, harus ada air, diesel, listrik, Anda harus memesan bahan makanan dari luar. Cukup rumit. Hanya orang gila yang mengoperasikan resor di pulau kecil!"
Marden tidak memasarkan kepulauannya sebagai 100 persen destinasi wisata alam, tetapi ia mengambil beberapa langkah untuk melindungi alam sekitar pulau.
Misalnya, ia melarang perambahan hutan dan penggunaan pukat dalam upaya melindungi tanah dan terumbu karang.
"Kami mengizinkan memancing dengan tali. Tapi tidak untuk memancing dengan jaring besar," katanya.
Meskipun dua pulaunya telah berhasil dikembangkan, Marden mengatakan tak lagi memiliki rencana mengembangkan pulau baru.
"Saya tidak tertarik mengembangkan pulau saya yang lain," tambahnya.
"Sebenarnya, saya membelinya hanya untuk melindungi mereka dari pengembangan masif."
Pengembangan Butuh PengawalanSementara pulau-pulau kecil telah dikembangkan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip berkelanjutan, beberapa ahli prihatin dengan laju pertumbuhan pariwisata secara keseluruhan di Indonesia.
Negara ini telah mengalami lonjakan kedatangan wisatawan mancanegara selama beberapa tahun terakhir, meningkat dari 9 juta pada 2014 menjadi 14 juta pada 2017.
Para pelancong ramai mendatangi tempat populer seperti Bali dan Taman Nasional Komodo.
![Mengenal Hartawan Pemilik Pulau Mewah di Indonesia [EBG]](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2018/08/03/6d8c8eea-b430-4f63-82c1-4c32a11cc2f4_169.jpeg?w=620) Gili Lawa di Taman Nasional Komodo. (Istockphoto/joakimbkk) |
Di Taman Nasional Komodo, pariwisata telah meroket dari 15 ribu pengunjung pada tahun 2004 menjadi 187 ribu pada tahun 2018.
Pada tahun 2019, Komodo mengharapkan untuk menerima 500 ribu kunjungan.
Elis Nurhayati, direktur komunikasi WWF-Indonesia, mengatakan kepada CNN Travel bahwa pariwisata dapat menjadi pedang bermata dua.
Volume tinggi para pelancong biasanya menyediakan lebih banyak pekerjaan dan meningkatkan ekonomi lokal, tetapi juga memiliki dampak negatif pada ekosistem.
"Turis asing dan domestik yang berduyun-duyun ke daerah itu mengarah pada lebih banyak pembangunan infrastruktur dan fasilitas hotel, [yang meningkatkan] pendapatan negara dari pariwisata."
"Namun, jejak ekologis yang menyertai pariwisata massal menjadi perhatian serius. Rata-rata pelancong saat ini menghasilkan enam kilogram sampah setiap hari."
Dalam persiapan untuk pembangunan yang berkelanjutan, taman nasional telah menyusun rencana induk pengembangan ekowisata dengan WWF-Indonesia.
Di tempat lain di Indonesia, Bali terus menyambut bagian terbesar dari wisatawan.
"Terlepas dari semua bencana alam dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia dan khususnya Bali melaporkan rekor kedatangan tahun demi tahun, dan Kementerian Pariwisata memiliki rencana ambisius untuk meningkatkan jumlah pariwisata selama dekade berikutnya," kata Oschetti.
(ard)