Jakarta, CNN Indonesia -- Frieda Sari masih ingat betul masa
remajanya. Masa
pubertas tak membuatnya berani bertanya ihwal
seksualitas pada sang
orang tua, terlebih sang ibu.
Rasa takut membuatnya enggan bertanya, apalagi memulai obrolan. Kalaupun sang ibu memulai obrolan, Frieda menghindar.
"Ibu
tuh tanya 'Sekarang lagi deket sama siapa?, Siapa pacarnya?', [saya jawab] ih ibu, ih..," cerita Frieda pada
CNNIndonesia.com saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (18/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski tak pernah bertanya, sang ibu kerap menyelipkan nasihat-nasihat standar. Tak boleh berduaan bersama pacar di tempat sepi, kata sang ibu yang diingat Frieda.
Gambaran masa remaja Frieda tampaknya dialami pula oleh mereka yang saat ini memasuki masa pubertasnya. Sebuah survei yang dilakukan Reckitt Beckinser melalui Durex menemukan bahwa semakin anak bertambah usia, orang tua tak lagi dijadikan sumber informasi ihwal edukasi seks dan kesehatan reproduksi.
Survei dilakukan di lima kota besar Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Yogyakarta. Survei dilakukan secara daring dengan 500 anak muda sebagai responden. Sebanyak 24 persen responden berusia 16-19 tahun, sementara sisanya berusia 20-25 tahun dan belum menikah.
Direktur CST Reckitt Beckinser Indonesia, Helena Rahayu Wonoadi memaparkan, kelompok remaja memasuki masa pubertas pada usia 12-17 tahun. Namun, edukasi seks belum dimulai pada kelompok usia tersebut. Hasil survei justru menyatakan, edukasi seks baru didapatkan pada usia 14-18 tahun.
Sebanyak 61 persen anak merasa takut membicarakan ihwal seksualitas pada orang tua. "Takut dihakimi orang tua kalau mereka tanya tentang pendidikan seks," kata Helena saat peluncuran hasil survei. Sedangkan 57 persen di antaranya merasa lebih terbiasa membicarakannya bersama teman sebaya.
Pada masa pubertas awal, umumnya orang tua masih menjadi sumber utama informasi mengenai seksual. Sebanyak 52 persen anak bertanya pada orang tua ihwal seksualitas. Menyusul teman sebaya (25 persen) dan internet serta media sosial (15 persen).
Namun, pergeseran terjadi saat masa pubertas awal telah terlewati. Mereka umumnya beralih menjadikan teman sebaya (41 persen) sebagai sumber utama informasi seksual, internet dan media sosial (21 persen), serta orang tua (14 persen).
"Anak remaja makin enggak mau ngobrol sama orang tua. [Kami menemukan] ada tiga topik esensial yang penting dan tidak pernah diobrolkan bersama orang tua," kata Helena.
Sebanyak 38 persen responden tidak pernah membicarakan kehamilan dan pernikahan di bawah 20 tahun. Hal ini dianggap rentan terhadap bahaya kesehatan. Sedangkan 29 persen lainnya mengaku tak pernah menyinggung penjelasan detail mengenai anatomi tubuh dan organ reproduksi.
Terakhir, sebanyak 24 persen tak pernah membicarakan topik hubungan seksual yang sehat meliputi alat kontrasepsi yang baik dan benar.
Melihat kenyataan ini, Helena mengimbau orang tua lebih bisa mendorong anak tak enggan membicarakan ihwal informasi seksualitas. Orang tua, kata dia, perlu menemukan cara lain tentang cara komunikasi yang tepat. Orang tua juga diharapkan dapat menjadi teman dan sumber informasi yang bisa diandalkan.
Psikolog klinis Klinik Angsamerah, Inez Kristanti melihat adanya kesalahan pemahaman pada orang tua. Memberikan edukasi seksualitas, kata dia, tak sama dengan mengizinkan anak untuk melakukan hubungan seks bebas.
"Hal ini juga diperparah dengan anggapan bahwa edukasi seksualitas dianggap mendorong anak untuk melakukan hubungan seks," kata Inez dalam kesempatan serupa.
Padahal, edukasi seksualitas bisa diberikan sesuai dengan usia anak. Saat masih kanak-kanak, anak bisa diberikan pemahaman mengenai organ reproduksi. Pemahaman yang diberikan akan terus berkembang seiring bertambahnya usia anak.
[Gambas:Video CNN] (els/asr)