Menakar Kreativitas Anak di Media Sosial

CNN Indonesia
Jumat, 26 Jul 2019 10:27 WIB
Menjadi influencer cilik tak selalu bisa membantu mengasah kreativitas anak.
Ilustrasi. Menjadi influencer cilik di media sosial tak selalu ampuh membantu mengasah kreativitas anak. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Abad digital diam-diam menuntun anak muncul di layar gawai. Lahir saat teknologi sudah berkembang, anak-anak zaman kiwari sulit lepas dari media sosial.

Laku anak yang menggemaskan menarik perhatian netizen. Tak sedikit anak yang kemudian mendadak menjadi 'influencer cilik'.

Psikolog anak dan keluarga, Ratih Zulhaqi tak memungkiri bahwa abad digital menggiring anak untuk aktif di media sosial. "Kita juga enggak bisa nyalahin," kata dia saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (22/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagian orang berpendapat bahwa menjadi influencer cilik secara tidak langsung membantu mengasah kreativitas anak. Nyatanya, bisa iya, bisa tidak.

Ratih membedakan eksistensi anak di media sosial menjadi dua kategori. Pertama, anak-anak yang hanya sekadar posting, tampil, dan eksis. Kedua, anak-anak yang benar-benar membuat konten yang dapat mengembangkan kreativitas.

Seorang anak, kata Ratih, dikatakan kreatif jika mereka menciptakan konten-konten bermanfaat untuk banyak orang.

"Membuat konten betulan itu enggak gampang dan perlu pemikiran kreatif," kata Ratih. Betapa tidak, untuk membuat konten yang baik diperlukan kerja sama antara fungsi kognitif, daya analisa, dan proses berpikir.

Tapi, jika si anak hanya sekadar getol mengunggah foto dan video demi eksistensi, maka itu tak bisa mengasah otak kiri anak.

"Kalau posting aja hanya untuk ingin mendapatkan like, komentar, atensi itu enggak bisa dibilang membantu meningkatkan kreativitas anak," jelas Ratih.

Kebiasaan anak yang grasak-grusuk asal mengunggah foto demi eksistensi, diduga Ratih, muncul akibat adanya unsur kompetisi di media sosial. Mereka berlomba-lomba tampil catchy. Padahal, kebiasaan itu bisa berdampak pada berbagai kegiatan sehari-hari.

"Misalnya, kaya kalau dulu liburan, ya, memang untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Tapi, sekarang liburan udah jadi kayak keharusan yang nantinya akan dijadikan konten di media sosial," kata Ratih.

Tak hanya itu, sekadar aktif di media sosial untuk mencari atensi juga diam-diam berpengaruh pada psikologis anak. Hal itu, kata Ratih, membuat anak tak mencintai dirinya sendiri.

"Media sosial bukan penunjang utama. Mereka [anak] tetap butuh tempat yang nyata untuk mengekspresikan diri," pungkas Ratih.

[Gambas:Video CNN] (nad/asr)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER