Jakarta, CNN Indonesia -- Abad digital diam-diam menuntun anak muncul di layar
gawai. Lahir saat teknologi sudah berkembang,
anak-anak zaman kiwari sulit lepas dari
media sosial. Laku anak yang menggemaskan menarik perhatian netizen. Tak sedikit anak yang kemudian mendadak menjadi '
influencer cilik'.
Psikolog anak dan keluarga, Ratih Zulhaqi tak memungkiri bahwa abad digital menggiring anak untuk aktif di media sosial. "Kita juga enggak bisa
nyalahin," kata dia saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Senin (22/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian orang berpendapat bahwa menjadi
influencer cilik secara tidak langsung membantu mengasah kreativitas anak. Nyatanya, bisa iya, bisa tidak.
Ratih membedakan eksistensi anak di media sosial menjadi dua kategori. Pertama, anak-anak yang hanya sekadar
posting, tampil, dan eksis. Kedua, anak-anak yang benar-benar membuat konten yang dapat mengembangkan kreativitas.
Seorang anak, kata Ratih, dikatakan kreatif jika mereka menciptakan konten-konten bermanfaat untuk banyak orang.
"Membuat konten
betulan itu enggak gampang dan perlu pemikiran kreatif," kata Ratih. Betapa tidak, untuk membuat konten yang baik diperlukan kerja sama antara fungsi kognitif, daya analisa, dan proses berpikir.
Tapi, jika si anak hanya sekadar getol mengunggah foto dan video demi eksistensi, maka itu tak bisa mengasah otak kiri anak.
"Kalau
posting aja hanya untuk ingin mendapatkan
like, komentar, atensi itu enggak bisa dibilang membantu meningkatkan kreativitas anak," jelas Ratih.
Kebiasaan anak yang
grasak-grusuk asal mengunggah foto demi eksistensi, diduga Ratih, muncul akibat adanya unsur kompetisi di media sosial. Mereka berlomba-lomba tampil
catchy. Padahal, kebiasaan itu bisa berdampak pada berbagai kegiatan sehari-hari.
"Misalnya, kaya kalau dulu liburan, ya, memang untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Tapi, sekarang liburan udah jadi kayak keharusan yang nantinya akan dijadikan konten di media sosial," kata Ratih.
Tak hanya itu, sekadar aktif di media sosial untuk mencari atensi juga diam-diam berpengaruh pada psikologis anak. Hal itu, kata Ratih, membuat anak tak mencintai dirinya sendiri.
"Media sosial bukan penunjang utama. Mereka [anak] tetap butuh tempat yang nyata untuk mengekspresikan diri," pungkas Ratih.
[Gambas:Video CNN] (nad/asr)