Banyuwangi, CNN Indonesia -- Banyuwangi memang tak sepopuler Yogyakarta atau Malang. Namun, daerah paling timur di Pulau Jawa ini selalu ramai didatangi oleh turis mancanegara khususnya yang gemar wisata alam, salah satunya karena ada fenomena Api Biru atau Blue Fire.
Uniknya, fenomena Blue Fire hanya terjadi di dua tempat di dunia, Islandia dan Banyuwangi.
Kawah Ijen menjadi lokasi si Api Biru. Terletak di ketinggian 2.443 meter di atas permukaan laut, mengunjungi Kawah Ijen mungkin bakal menjadi tantangan tersendiri bagi orang yang belum pernah mendaki gunung seperti saya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya berangkat dari Jakarta menggunakan penerbangan Pukul 05.55 WIB. Sayangnya saya kehabisan tiket untuk penerbangan langsung Jakarta-Banyuwangi, mungkin karena saya berangkat menjelang akhir pekan. Alhasil saya harus transit lebih dulu di Surabaya selama tiga jam.
Saya tiba di Bandara Blimbingsari, Banyuwangi sekitar pukul 11.30 WIB. Sebelumnya, saya sudah lebih dulu memesan mobil plus supir dan pemandu wisata. Jadi tiba di Banyuwangi saya langsung dijemput.
Penerbangan pagi membuat saya masih mengantuk. Demi menyimpan tenaga untuk memulai pendakian di Kawah Ijen pada dini hari nanti, saya memutuskan untuk beristirahat di hotel.
Memulai pendakianAda banyak cara untuk mendaki Kawah Ijen. Bisa ikut open trip atau beli paket wisata online. Selain ke Kawah Ijen mereka biasanya menawarkan objek wisata lain di sekitar Banyuwangi, seperti Taman Nasional Baluran.
Apapun paket yang dipilih, pastikan diri untuk disiplin dengan waktu karena wisata berkelompok membutuhkan orang-orang yang tidak ngaret.
Tapi kalau tak ingin terburu-buru bisa menyewa tur privat seperti saya dengan fasilitas mobil, sopir, dan pemandu wisata.
Sekitar pukul 23.00 WIB saya dijemput oleh sopir bersama dengan pemandu wisata. Sebelum dijemput saya sudah menyiapkan segala keperluan untuk memulai pendakian pertama kalinya dalam hidup saya.
Sejujurnya tak banyak yang saya persiapkan, karena saya tidak mengira kalau pendakian dini hari nantinya bakal sedingin 10 derajat Celcius.
Saya hanya membawa jaket ala kadarnya yang sekiranya mampu membantu melawan hawa dingin. Bahkan sarung tangan hingga kupluk luput saya bawa.
Pun tak ada sepatu khusus untuk mendaki yang saya bawa. Tak hanya itu, saya nyatanya hanya membawa satu celana jeans. Belakangan saya mengetahui kalau bahan jeans sangat mudah menyerap hawa dingin.
Keluar kamar saya hanya membawa satu ransel yang ukurannya tak besar. Di dalamnya saya isi dengan dua botol air mineral, satu botol ukuran 1,5 liter dan satu botol ukuran 600 ml. Tak lupa, satu bungkus roti untuk mengganjal perut jika nanti mulai keroncongan.
Dengan persiapan ala kadarnya, saya berangkat dari hotel ke Kawah Ijen. Perjalanan saat itu dari hotel memakan waktu sekitar satu jam.
Saya tiba di Paltuding sekitar pukul 00.00 WIB. Paltuding menjadi gerbang utama sebelum memulai pendakian ke Kawah Ijen. Di lokasi ini pula, pengunjung mesti membeli tiket masuk di loket.
 Dini hari di Paltuding. (CNN Indonesia/ Bisma Septalisma) |
Harga tiketnya terbilang murah. Untuk wisatawan domestik hanya perlu merogoh kocek sebesar Rp5.000 saja. Sementara untuk wisatawan mancanegara cukup membayar sebesar Rp7.500.
Di kawasan Paltuding terdapat beberapa warung makan yang bisa menjadi tempat persinggahan sebelum memulai pendakian. Lumayan jika ingin meminum teh hangat menghangatkan badan. Pasalnya dari Paltuding saja hawa dingin mulai terasa.
Di Paltuding juga ada beberapa warga sekitar yang menjual sejumlah perlengkapan untuk pendakian. Mulai dari sarung tangan, kaos kaki, kupluk, senter dan lainnya.
Saat itu saya masih merasa badan saya bakal kuat menahan hawa dingin di Kawah Ijen. Walhasil tak ada perlengkapan tambahan yang saya beli.
Tepat pukul 01.00 WIB, saya memulai pendakian ke Kawah Ijen dari Paltuding. Saat itu hari Sabtu terlihat banyak wisatawan domestik dan mancanegara. Pemandu saya mengatakan Kawah Ijen lebih ramai pengunjung di hari Jumat sampai Minggu.
Saat melangkah ke gerbang masuk, ada petugas yang meminta para wisatawan menunjukkan tiket masuk yang telah dibeli sebelumnya.
Di sekitarnya terlihat puluhan orang menawarkan jasa ojek troli dengan gerobaknya. Jasa ini untuk membantu para wisatawan yang ingin naik ke Kawah Ijen namun tak kuat untuk mendaki.
Tarif ojek troli menurut saya terbilang mahal. Kisarannya mulai dari Rp900 ribu untuk naik. Tapi harga itu juga tergantung dari mana wisatawan menumpangnya. Jika baru menumpang di tengah pendakian, maka harganya bisa lebih murah.
Sedangkan untuk tarif turun agak lebih murah meski tetap mahal, yakni sekitar Rp600 ribu. Harga itu juga tergantung dari mana wisatawan menumpangnya.
Namun tarif ojek troli akan semakin murah jika mulai beranjak siang.
 Ojek troli yang siap mengantar pendaki. (CNN Indonesia/ Bisma Septalisma) |
Terengah-engah menuju KawahPerjalanan saya resmi dimulai setelah beberapa langkah melewati gerbang masuk. Trek di awal menurut saya masih terbilang mudah, belum ada tanjakan berarti yang mesti dilalui.
Sempat terbersit di benak saya ternyata mendaki ke Kawah Ijen tak sulit.
Namun pikiran itu langsung saya buang jauh-jauh setelah melihat tanjakan di depan mata. Padahal saat itu belum sampai satu kilometer saya berjalan.
Pemandu wisata saya, Nanang, mengatakan bahwa tanjakan itu menjadi awal mula dari tanjakan-tanjakan curam yang mesti dilalui sebelum tiba di Pos Bunder.
Sontak nyali saya langsung menciut. Apalagi ini merupakan pendakian pertama saya. Tapi, saya berusaha meyakinkan diri untuk bisa melalui tanjakan tersebut.
Saya mulai berjalan perlahan dibantu dengan penerangan lampu senter seadanya hasil meminjam dari sopir saya.
Wisatawan yang sebelumnya ada di belakang saya, satu per satu mulai mendahului saya. Untung Nanang setia menemani saya.
Perlahan-lahan mendaki, jantung saya mulai berdegup kencang tak karuan.
Pengalaman pendakian ke Kawah Ijen masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Saya akhirnya membuat trik dengan berhenti sejenak setiap berhasil menempuh jarak 100 meter. Di samping kiri jalur pendakian, ada sebuah pipa sebagai penanda jarak yang sudah ditempuh. Pipa itu menjadi penanda bagi saya untuk mengambil istirahat sejenak.
Nanang juga terus menyemangati saya dengan kata-kata "Kalau udah sampai Pos Bunder, treknya sudah enak, tinggal jalan datar saja". Kata-kata itu terus saya pegang sebagai salah satu motivasi.
Tapi motivasi terbesar saya adalah bisa mencapai puncak dan melihat secara langsung fenomena Blue Fire yang terkenal itu.
 Medan pendakian. (CNN Indonesia/ Bisma Septalisma) |
Setelah 45 menit pendakian, saya akhirnya sampai di Pos Bunder. Di lokasi ini ada sebuah warung yang menyajikan berbagai minuman. Banyak wisatawan yang memilih untuk beristirahat sejenak sambil menyesap hangat teh atau kopi dan camilan lainnya.
Warung ini dulunya tempat penimbangan belerang dari para penambang di Kawah Ijen. Namun karena makin sedikitnya jumlah penambang, tempat ini akhirnya dialihfungsikan menjadi warung.
Saya memilih beristirahat sekitar 5 menit saja di Pos Bunder. Alasannya takut adrenaline saya justru turun jika terlalu lama beristirahat.
Setelah merasa cukup beristirahat, saya melanjutkan pendakian saya. Nyatanya masih ada tanjakan setelah Pos Bunder. Tapi tak securam tanjakan sebelumnya.
Setelah mendaki kurang dari dua jam, saya akhirnya tiba di bibir Kawah Ijen. Tiba di atas hari memang masih gelap, tapi tetap saja tak melunturkan pesona Kawah Ijen.
Hawa dingin langsung menusuk badan saya. Kedua tangan langsung saya masukkan ke dalam saku jaket demi mencari kehangatan.
Asap belerang langsung tercium. Untung saya telah menyiapkan masker, meski hanya sekadarnya saja. Bagi wisatawan yang tak membawa masker, banyak yang menawarkan jasa penyewaan masker gas seharga Rp25 ribu di bibir kawah.
Tak hanya asap belerang, kabut pun terbilang cukup pekat pagi itu. Alhasil, Blue Fire tak bisa dinikmati dengan jelas oleh mata telanjang.
 Percikan Blue Fire. (CNN Indonesia/ Bisma Septalisma) |
Perlu perjuangan tambahan jika ingin melihatnya, yakni dengan turun ke bawah kawah. Sebenarnya ada papan larangan ke bawah karena dikhawatirkan terjadinya aktivitas vulkanik mendadak. Nyatanya masih banyak wisatawan yang nekat turun ke bawah, salah satunya saya.
 Turis di bawah kawah. (CNN Indonesia/ Bisma Septalisma( |
 Pemandangan di bawah kawah. (CNN Indonesia/ Bisma Septalisma) |
Perlu hati-hati dan kewaspadaan untuk turun ke bawah kawah lantaran jalurnya yang berupa batuan. Kita juga harus sabar mengantre dengan wisatawan lain. Maklum, jalannya terbilang sempit.
Keberuntungan sepertinya sedang tak berpihak kepada saya. Meski telah turun ke bawah kawah, saya masih tak bisa dengan jelas menikmati fenomena Blue Fire akibat pekatnya asap, dan arah angin yang tak bersahabat.
Saya kemudian memutuskan untuk naik ke atas lagi. Sesampainya di atas, saya berusaha mencari cerukan di sela bebatuan untuk sedikit menghangatkan diri.
Tak lama, saya melihat ada sejumlah api unggun yang menyala. Ternyata, api unggun itu sengaja dibuat oleh para penyedia jasa ojek troli untuk membantu mengusir hawa dingin. Saya pun ikut menghangatkan diri di sana.
SunriseNanang mengatakan biasanya wisatawan masih mendaki sampai ke atas untuk menyaksikan matahari terbit. Tapi saya menolak karena rasanya badan sudah tak bisa lagi diajak lelah.
Bersama wisatawan lain yang juga tak terlalu ambisius mendaki, saya menikmati momen matahari terbit dari bibir Kawah Ijen. Ternyata pemandangannya juga tak kalah indah dari tempat melihat sunrise yang disarankan.
Saat matahari sudah bersinar, Kawah Ijen mulai menunjukkan keindahan pesonanya. Pegunungan, hutan hijau, dan area pemukiman terlihat dari ketinggian. Rasa kecewa tak melihat dengan jelas Blue Fire langsung terobati.
 Pemandangan pagi. (CNN Indonesia/ Bisma Septalisma) |
 Penampakan kawah di pagi hari. (CNN Indonesia/ Bisma Septalisma) |
Setelah puas menikmati keindahan Kawah Ijen dan pemandangan di sekelilingnya, saya memutuskan untuk turun.
Kali ini, saya singgah lebih lama di Pos Bunder untuk menikmati teh manis hangat. Setelah satu jam istirahat, saya memutuskan untuk turun kembali ke Paltuding.
Awalnya saya pikir perjalanan turun akan lebih mudah ketimbang saat mendaki. Namun kenyataannya tak semudah yang dibayangkan.
Pasalnya trek tersebut terdiri dari pasir yang bisa dikatakan sangat licin. Sehingga perlu ekstra hati-hati agar tak terperosok. Sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya saya tiba di Paltuding.
Rasanya puas sekali bisa melakukan perjalanan ini, meski saya harus terengah-engah saat mendaki dan tak melihat dengan jelas fenomena Si Api Biru. Tapi sebagai pendakian gunung perdana, bisa berkenalan dengan medan Kawah Ijen membuat saya sangat bangga.