Saya akhirnya membuat trik dengan berhenti sejenak setiap berhasil menempuh jarak 100 meter. Di samping kiri jalur pendakian, ada sebuah pipa sebagai penanda jarak yang sudah ditempuh. Pipa itu menjadi penanda bagi saya untuk mengambil istirahat sejenak.
Nanang juga terus menyemangati saya dengan kata-kata "Kalau udah sampai Pos Bunder, treknya sudah enak, tinggal jalan datar saja". Kata-kata itu terus saya pegang sebagai salah satu motivasi.
Tapi motivasi terbesar saya adalah bisa mencapai puncak dan melihat secara langsung fenomena Blue Fire yang terkenal itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
 Medan pendakian. (CNN Indonesia/ Bisma Septalisma) |
Setelah 45 menit pendakian, saya akhirnya sampai di Pos Bunder. Di lokasi ini ada sebuah warung yang menyajikan berbagai minuman. Banyak wisatawan yang memilih untuk beristirahat sejenak sambil menyesap hangat teh atau kopi dan camilan lainnya.
Warung ini dulunya tempat penimbangan belerang dari para penambang di Kawah Ijen. Namun karena makin sedikitnya jumlah penambang, tempat ini akhirnya dialihfungsikan menjadi warung.
Saya memilih beristirahat sekitar 5 menit saja di Pos Bunder. Alasannya takut adrenaline saya justru turun jika terlalu lama beristirahat.
Setelah merasa cukup beristirahat, saya melanjutkan pendakian saya. Nyatanya masih ada tanjakan setelah Pos Bunder. Tapi tak securam tanjakan sebelumnya.
Setelah mendaki kurang dari dua jam, saya akhirnya tiba di bibir Kawah Ijen. Tiba di atas hari memang masih gelap, tapi tetap saja tak melunturkan pesona Kawah Ijen.
Hawa dingin langsung menusuk badan saya. Kedua tangan langsung saya masukkan ke dalam saku jaket demi mencari kehangatan.
Asap belerang langsung tercium. Untung saya telah menyiapkan masker, meski hanya sekadarnya saja. Bagi wisatawan yang tak membawa masker, banyak yang menawarkan jasa penyewaan masker gas seharga Rp25 ribu di bibir kawah.
Tak hanya asap belerang, kabut pun terbilang cukup pekat pagi itu. Alhasil, Blue Fire tak bisa dinikmati dengan jelas oleh mata telanjang.
 Percikan Blue Fire. (CNN Indonesia/ Bisma Septalisma) |
Perlu perjuangan tambahan jika ingin melihatnya, yakni dengan turun ke bawah kawah. Sebenarnya ada papan larangan ke bawah karena dikhawatirkan terjadinya aktivitas vulkanik mendadak. Nyatanya masih banyak wisatawan yang nekat turun ke bawah, salah satunya saya.
 Turis di bawah kawah. (CNN Indonesia/ Bisma Septalisma( |
 Pemandangan di bawah kawah. (CNN Indonesia/ Bisma Septalisma) |
Perlu hati-hati dan kewaspadaan untuk turun ke bawah kawah lantaran jalurnya yang berupa batuan. Kita juga harus sabar mengantre dengan wisatawan lain. Maklum, jalannya terbilang sempit.
Keberuntungan sepertinya sedang tak berpihak kepada saya. Meski telah turun ke bawah kawah, saya masih tak bisa dengan jelas menikmati fenomena Blue Fire akibat pekatnya asap, dan arah angin yang tak bersahabat.
Saya kemudian memutuskan untuk naik ke atas lagi. Sesampainya di atas, saya berusaha mencari cerukan di sela bebatuan untuk sedikit menghangatkan diri.
Tak lama, saya melihat ada sejumlah api unggun yang menyala. Ternyata, api unggun itu sengaja dibuat oleh para penyedia jasa ojek troli untuk membantu mengusir hawa dingin. Saya pun ikut menghangatkan diri di sana.
SunriseNanang mengatakan biasanya wisatawan masih mendaki sampai ke atas untuk menyaksikan matahari terbit. Tapi saya menolak karena rasanya badan sudah tak bisa lagi diajak lelah.
Bersama wisatawan lain yang juga tak terlalu ambisius mendaki, saya menikmati momen matahari terbit dari bibir Kawah Ijen. Ternyata pemandangannya juga tak kalah indah dari tempat melihat sunrise yang disarankan.
Saat matahari sudah bersinar, Kawah Ijen mulai menunjukkan keindahan pesonanya. Pegunungan, hutan hijau, dan area pemukiman terlihat dari ketinggian. Rasa kecewa tak melihat dengan jelas Blue Fire langsung terobati.
 Pemandangan pagi. (CNN Indonesia/ Bisma Septalisma) |
 Penampakan kawah di pagi hari. (CNN Indonesia/ Bisma Septalisma) |
Setelah puas menikmati keindahan Kawah Ijen dan pemandangan di sekelilingnya, saya memutuskan untuk turun.
Kali ini, saya singgah lebih lama di Pos Bunder untuk menikmati teh manis hangat. Setelah satu jam istirahat, saya memutuskan untuk turun kembali ke Paltuding.
Awalnya saya pikir perjalanan turun akan lebih mudah ketimbang saat mendaki. Namun kenyataannya tak semudah yang dibayangkan.
Pasalnya trek tersebut terdiri dari pasir yang bisa dikatakan sangat licin. Sehingga perlu ekstra hati-hati agar tak terperosok. Sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya saya tiba di Paltuding.
Rasanya puas sekali bisa melakukan perjalanan ini, meski saya harus terengah-engah saat mendaki dan tak melihat dengan jelas fenomena Si Api Biru. Tapi sebagai pendakian gunung perdana, bisa berkenalan dengan medan Kawah Ijen membuat saya sangat bangga.
(ard)