Buriram, CNN Indonesia -- Masa peliputan
MotoGP 2019 di Sirkuit Internasional Buriram, Thailand, usai sudah. Namun bagi saya yang dikirim ke sana untuk melaporkan berita, lelah dan gairahnya masih terasa.
MotoGP Buriram tahun ini meninggalkan banyak kenangan bagi saya, karena baru kali pertama saya mendapat tugas meliput ajang balap motor bergengsi itu.
Bagaimana tidak, kesempatan bertemu dengan
Valentino Rossi,
Marc Marquez, dan Andrea Dovizoso, bahkan rookie fenomenal Fabio Quartararo bisa terwujud.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biasanya saya hanya bisa menyaksikan aksi dan tampang mereka di layar kaca. Sekarang, saya bahkan bisa
selfie dengan mereka. Maaf pamer sedikit! Hehehe...
Namun, liputan MotoGP 2019 kali ini melalui perjalanan yang cukup menyita waktu dan membuat raga ini lelah.
Bukan hanya karena harus setiap hari bolak balik di kompleks Sirkuit Internasional Buriram yang amat luas. Perjalanan awal untuk sampai di Buriram pun amat menyita waktu.
Totalnya saya menjalani perjalanan udara dan darat kurang lebih 15 jam dari Jakarta hingga sampai di bekas wilayah Kekaisaran Khmer Kamboja tersebut.
Waktu tersebut sudah termasuk mendarat dan transit lebih dulu dari Bangkok, lalu melanjutkan perjalanan dengan bus antar kota antar provinsi sekitar enam jam ke Buriram.
Dari Jakarta pesawat saya dijadwalkan terbang pada Rabu (2/10) pagi pukul 07.10 WIB. Namun, sedikit tertunda menjadi pukul 07.30 WIB dan tiba di Bandara Don Mueang, Bangkok Utara, sekitar pukul 11.15 waktu Bangkok (tak ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Bangkok).
Naik bus dari "Terminal Kali Deres" Terminal Mochit Bangkok. (CNN Indonesia/ Ahmad Bachrain) |
Ke luar dari bandara sekitar 11.45, saya langsung bergegas ke stasiun kereta yang berada tepat di depan bandara melalui jembatan penyeberangan untuk menjangkau terminal bus.
Sebenarnya rute pesawat dari Don Mueang ke Bandara Buriram tersedia. Jadwalnya tiga kali sehari. Tapi jadwal pesawat ke Buriram berselisih dengan jadwal pesawat saya tiba di Bangkok hari itu.
Ada juga kereta yang melayani perjalanan dari Bangkok ke Buriram. Namun kereta baru berangkat pukul 18.30. Pilihan itu tetap tidak ideal bagi saya yang ingin mengejar sampai Buriram sebelum tengah malam, sehingga masih bisa menumpang taksi atau kendaraan online menuju hotel.
Alhasil, saya memilih moda transportasi bus dari Terminal Mochit. Petugas yang saya tanyai di bandara mengatakan biasanya jadwal bus ke Buriram masih tersedia pada sore hari sebelum jam 17.00.
Turun dari kereta, saya sampai di Mochit sekitar pukul 13.30 dan langsung menuju loket penjualan tiket bus.
Cukup sulit juga menemukan jadwal bus yang berangkat siang ke Buriram, paling awal rupanya pukul 16.15. Tak banyak pikir, saya langsung membelinya.
Lumayan lama menunggu di Terminal Mochit, yang suasananya mirip Terminal Kali Deres, ruwet dan berisik.
Karena bosan, saya menyempatkan diri keliling terminal sembari foto-foto. Tapi rupanya gerak-gerik saya dipantau oleh preman terminal.
Ia lalu mendatangi dan memarahi saya karena terus mengarahkan kamera. Permintaan maaf saya tak mereka hiraukan karena sepertinya terjadi kendala bahasa antara Inggris dan Thailand.
Nyaris terjadi baku hantam, tapi kawannya memisahkan, mungkin karena akhirnya paham saya hanya turis. Atau mungkin dia mengira saya mirip keluarganya yang tinggal Laos. Entahlah tapi saya lega bisa keluar dari situasi menyeramkan itu.
Pengalaman meliput MotoGP di Buriram masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Fase hidup KukangBus yang saya tumpangi akhirnya berangkat pukul 16.30, molor 15 menit. Melihat ke kanan kiri, rasanya hanya saya yang menumpang sebagai turis mancanegara di sini, karena selebihnya wajah-wajah lokal. Mungkin mereka mau pulang kampung.
Meski memakan waktu enam jam, perjalanan bus ke Buriram cukup menyenangkan. Apalagi interior bus tersebut terbilang cukup mewah hanya dengan tiket harga 299 Baht (sekitar Rp138 ribu).
Busnya terdiri dari dua dek, saya duduk di tingkat dua. Jarak antara kursi satu dengan lainnya cukup jauh sehingga masih bisa meregangkan kaki. Kursi bus yang empuk juga bisa direbahkan sehingga tidur bisa lebih nyenyak. Pendingin udaranya juga terasa sejuk dan setiap penumpang diberikan selimut.
Di awal perjalanan, kenek bus membagikan camilan berupa roti dan minuman ringan. Masuk pukul 19.00, bus membawa penumpang ke sebuah rest area yang terdiri dari restoran-restoran dan sejumlah toko.
Saya sempat merogoh Baht dari kantong untuk membayar makan malam tersebut. Namun salah satu penumpang mencegah saya dengan bahasa isyarat karena dirinya mungkin tak bisa berbahasa Inggris.
"
Free, free, free, no money," katanya.
Dia kemudian meminta tiket saya dan menyobek bagian pinggirnya. Bagian yang disobek itu rupanya kupon untuk makan. Maklum saya tidak paham betul, karena tiket bertuliskan huruf Thailand.
Usai berhenti makan dan kembali ke dalam bus, saya melalui fase hidup Kukang; tidur, terbangun, tidur, bangun lagi, sampai akhirnya tiba di terminal bus Buriram tepat pukul 22.30.
Sesampainya di Terminal Buriram, saya sempat merasa was-was mencari taksi di kota kecil mirip Cibinong ini.
Pikiran saya mulai tenang setelah melihat sejumlah orang berlari mengejar bus rombongan kami. Persis di Indonesia, mereka ternyata menawarkan tumpangan berupa ojek atau taksi.
Saya memilih tumpangan taksi. Rupanya jarak dari terminal ke hotel saya tidak jauh dengan menggunakan taksi, hanya sekitar 10-15 menit.
Wisata ala roda dua Candi Buriram dekat Chang Arena. (CNN Indonesia/ Ahmad Bachrain) |
Di Buriram saya menginap di dua tempat: Hotel Fortune dua malam dan sisanya di Hostel The Moon Boxes hingga Senin (7/10) malam.
Sempat berpikir naik taksi atau ojek online untuk transportasi harian di sini. Tapi rupanya cukup mahal juga. Dalam jarak sekira hampir 20 menit saja harus bayar setara Rp50 ribu. Rupanya harga transportasi di sana ikut naik karena gelaran MotoGP.
Setelah saya pikir-pikir, lebih baik sewa sepeda motor sehari Rp400 ribu. Jadilah saya sewa kendaraan roda dua yang disediakan hostel tempat saya menginap. Hitungan bisa lebih murah karena saya akan lebih banyak mobilitas ke sejumlah tempat, bukan hanya ke Sirkuit Internasional Buriram tempat saya meliput.
Saya sempat bertanya kepada pemilik hostel apakah perlu SIM Internasional untuk naik motor di sini. Ia menjawab tidak perlu, karena motornya pun tidak memiliki plat, sama seperti banyak motor sewa yang ada di Buriram.
Polisi di sini juga disebutnya jarang menindak pengendara kendaraan bermotor yang tak memiliki kelengkapan, kecuali jika terjadi kecelakaan atau kemacetan parah
Sejak saat itu si motor matic merah-putih setia mengantar saya ke penjuru Buriram. Mulai dari pergi ke sirkuit, mencari makan, sampai menyenangkan diri untuk wisata di tengah waktu senggang bekerja.
Untuk urusan wisata, saya baru sempat melakoninya pada Senin (7/10), seusai menuntaskan berita kemenangan Marc Marquez di MotoGP Buriram.
Hari itu saya berkesempatan menyambangi Thunder Castle, markas salah satu klub sepak bola raksasa Thailand, Buriram United. Jaraknya tak jauh dari Chang Arena, tempat MotoGP berlangsung.
Saya juga menyempatkan melancong ke taman hutan Khao Kradong, yang dalam bahasa Khmer yang berarti bukit kura-kura, karena mirip seperti hewan tersebut. Jalannya menanjak dan memutar, namun bisa dilalui kendaraan roda dua bahkan bus.
Di kaki bukit ada ceruk besar yang merupakan bekas kawah yang sudah tak aktif berusia 900 ribu tahun bernama Pak Plong.
Pak Plong, bekas kawah berusia 900 ribu tahun di kaki bukit Khao Kradong. (CNN Indonesia/ Ahmad Bachrain) |
Di bagian puncak bukit itu ada patung Suphatthara Bophit Buddha raksasa yang menjadi pusat sembahyang umat Budha di Buriram. Patung itu juga menjadi ikon kota Buriram.
Patung raksasa Suphatthara Bophit Buddha di Khao Kradong. (CNN Indonesia/ Ahmad Bachrain) |
Sebenarnya ada satu tempat lagi simbol kebanggaan orang Buriram, yakni candi Hindu peninggalan Kekaisaran Khmer, Phanom Rung, di Distrik Isan, Provinsi Buriram Selatan. Posisinya dekat dengan perbatasan Kamboja.
Namun jarak dari Buriram ke sana mencapai 73 kilometer atau satu jam lebih. Itu pun jika menggunakan kendaraan roda empat.
Saya urungkan niat ke sana karena waktu terbatas dan harus menyimpan tenaga untuk kembali ke Jakarta pada esok hari.
Lagi-lagi bakal menjalani fase hidup seperti Kukang di dalam bus yang melaju selama enam jam ke depan.
Buriram, semoga kita bisa berjumpa lagi!