Jakarta, CNN Indonesia -- Kata orang, cari pacar itu gampang asal enggak terlalu pemilih.
Hmm...dulu saya berpikir kalau yang namanya terlalu pemilih itu berarti ada banyak pilihan di depan saya dengan segala kapabilitasnya tapi saya enggak mau pilih karena tak sesuai bayangan ideal saya. Tapi ketika saya enggak punya pilihan di hadapan, gimana mau disebut terlalu pemilih?
Tapi kenyataannya enggak selalu begitu, pemilih. Kalau masih ada 'tapi' ya susah. Masalahnya masih susah banget untuk menghilangkan sosok idealnya, harusnya gini, harusnya gitu. Padahal enggak ada manusia yang sempurna, termasuk kita sendiri kan.
Daripada pusing soal enggak ada pilihan di depan mata (dan ketemu orang-orang yang 'dia lagi, dia lagi' tiap hari), aplikasi online dating seringkali jadi pilihan. Ada banyak pilihan lawan jenis yang 'tersaji' di dalamnya, tinggal pilih, swipe left atau swipe right.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hari pertama:Saya mulai menginstal beberapa aplikasi kencan online sekaligus, dari yang lokal, asia, sampai internasional, dan berbasis agama. Mulai mengisi biodata lengkap termasuk preferensi jenis kelamin calon pasangan, sampai memasukkan beberapa foto untuk profil diri.
Beberapa aplikasi kencan online mengizinkan saya untuk memilih sendiri lokasi saya berada. Beberapa aplikasi hanya bisa mengandalkan jarak sesuai lokasi saya berada dan yang lainnya akan merekomendasikan pasangan yang cocok untuk saya berdasarkan algoritma mereka.
Hari kedua:Mulai 'nge-swipe' di aplikasi-aplikasi tersebut dan menunggu chat. Beberapa match beberapa tidak.
Hari 3-7:Apa yang saya lihat dari profil lawan jenis yang tiba-tiba muncul ketika saya buka apps? Awalnya hanya lihat dari foto yang mereka pajang. Namun seorang teman yang sudah lebih dulu coba-coba kencan online ini mengingatkan juga untuk membaca profilnya. "Agar tak terjebak kucing dalam karung," katanya.
Tak dimungkiri, swipe kiri dan kanan memang 'menyenangkan.' Banyangan soal sosok pria ideal kembali tergambar. Ganteng, mapan, fotogenik, family oriented. Kurang apalagi?
Swipe, swipe, swipe..
Hari 8:Semakin lama berada di aplikasi-aplikasi ini cukup mengagetkan. Di satu aplikasi, begitu mulai online, muncul notifikasi ada berapa banyak orang yang menyukai Anda.
Saat itu ada sekitar puluhan orang yang katanya suka dengan profil saya. Tapi saya sedikit insecure. Karena ternyata angka likes yang semakin banyak tak membuat ada banyak pria yang mau memulai untuk chat.
Tapi jangan dulu salah paham dan bilang sebagai perempuan saya tak mau mulai menegur mereka duluan. Beberapa kali saya chat pria-pria 'idaman' saya terlebih dulu.
Hari 9-10:'Hi,' Pagi itu saya dikejutkan dengan adanya satu pria yang menyapa.
Kami pun sempat beberapa hari bertukar kabar dan mencoba saling mengenal satu sama lain. Beberapa aplikasi lainnya masih 'menunggu' untuk bisa bertukar pesan. Sembari itu, masih ada kesempatan untuk swipe lagi tentunya.
 Foto: Istockphoto/Weedezign |
Hari 11-15:Selama beberapa hari, saya dan beberapa pria sempat chat. Ada beberapa yang sudah kandas di awal karena mereka tak sesuai kriteria saya ataupun karena saya ataupun mereka ternyata sudah tak nyaman di chat.
Kebanyakan pria yang ngobrol dengan saya dari berbagai aplikasi ini rata-rata bule. Bukan karena tak mau dengan orang Indonesia, tapi ada banyak alasan (setidaknya karena kebanyakan dari mereka pasif dan tak nyambung saat diajak ngobrol serta cenderung punya topik pembicaraan yang kurang menarik).
Demikian juga dengan para bule, ada beberapa yang memang membosankan, pasif, dan istilahnya 'sok iye.'
Beberapa orang sudah tereliminasi atau mengeliminasi saya. Apalagi beberapa di antaranya (terutama bule) lebih berorientasi kepada seksual. Sementara saya sendiri termasuk orang yang ogah ngobrol soal seks, apalagi kepada orang yang tak dikenal dan belum pernah ditemui sama sekali.
Hari 16-20:Suatu hari saya tiba-tiba saya mendapat telepon. Ternyata salah satu aplikasi kencan lokal menghubungi saya untuk menawarkan berbagai layanan kopi darat. Ya sudah, coba saja, apa salahnya. Saya pun bikin janji dengan mereka dalam seminggu ke depan.
Di hari berikutnya saya sempat match dengan pria Indonesia yang ternyata kantornya tak terlalu jauh dari kantor saya berada. Namun ternyata faktor agama dan juga tingkat ketidaknyambungan kami berdua akhirnya lama-lama membuat kami tak lagi chat.
Beberapa hari kemudian, saat saya sedang bad mood, tiba-tiba di aplikasi muncul sapaan hangat dari seorang pria bule tampan dari Eropa. Saya sempat enggan menanggapinya, namun pada akhirnya saya tanggapi juga. Lumayan, pikir saya.
Obrolan kami mengalir dan menyenangkan, satu jam, dua jam, sampai akhirnya obrolan kami terhenti sejenak karena saya harus bekerja. Kami pun berjanji untuk chat lagi satu jam kemudian. Janji itu ditepati, kami bahkan chat sampai subuh waktu Indonesia.
 Foto: Condesign/Pixabay |
Oya, pria yang sebut saja 'S' ini juga berbagi hobi dan pandangan hidup yang sama dengan saya. Di awal-awal saya juga tidak berani langsung minta no ponselnya untuk chat di luar aplikasi.
Sehari-dua hari kami masih ngobrol dan bahkan sempat berjanji untuk pergi traveling bareng. Ah harapan saya membumbung tinggi saat itu. Pagi hari tak lengkap tanpa sapaan selamat pagi darinya, meski saat itu dia sempat minta maaf juga karena membuat saya terjaga sampai subuh atau bangun lebih awal. Ah tapi saya tak masalah. Mungkin sudah ada rasa suka padanya. Aneh? memang. Tapi itu kenyataannya. Saya (mungkin secara online).
menaruh hati padanya.
Mungkin juga saya lemah dengan berbagai perhatian yang dia berikan buat saya. Kisah-kisah hidupnya yang menarik, sampai ekspektasi saya soal dia yang terbentuk selama kami chat.
Hari 21:Hari-hari saya menyenangkan, menunggu waktu saat S mulai menyapa saya dan bicara soal kehidupannya di sana. Akhirnya saya memberanikan diri untuk minta no ponselnya. Namun dia bilang kalau dia tak punya ponsel karena membuat dia stres. Aneh, pikir saya. Hari gini mana ada orang yang tak punya smartphone kan. Tapi dia terus menyakinkan saya dengan bicara banyak soal 'jahatnya' ponsel, 5G dan lainnya.
Saya 'terhasut,' dan akhirnya percaya mungkin saja orang tak mau punya ponsel. Bahkan saya juga bilang pada teman-teman yang tahu soal S terkait ucapannya itu. Kami hanya bertukar akun media sosial dan mulai chat di sana.
Tulisan ini merupakan bagian dari fokus 'Jodoh Tinggal Swipe'.
Hari 22:Saya sempat deg-degan ketika dia memberikan akun media sosialnya. Saya takut kalau ternyata ekspektasi saya salah. Takut kalau ternyata pria yang membuat saya lemah dan mungkin menyukainya ini berbeda dari foto-foto di akun kencan online. Saya takut kalau.. kalau… ah entahlah, yang pasti saya sudah punya gambaran tersendiri soal dia di kepala saya, yang mungkin saja bisa hancur berantakan saat melihat akun sosial medianya.
Tapi nyatanya, foto-foto di media sosialnya masih menyerupai gambaran ideal saya. Ya memang tak semuanya, tapi cukup mendekati dan saya masih bisa menerimanya. Saya mulai ‘wave’ dia di akun tersebut dan mengajaknya berbicang di akun tersebut walau dia bilang dia sangat jarang update akun dan online di sana. Ah tapi tak masalah, saya pun makin mengembangkan imajinasi dan bahkan berpikir untuk pergi ke tempatnya suatu saat nanti.
Hari 23-25:Tiba-tiba dia menghilang tanpa kabar, tanpa pamit. Saya kelimpungan, panik. Ah ke mana dia? Saya bingung. Ah atau mungkin dia lagi sibuk. Tunggu saja.
Sehari-dua hari dia menghilang tanpa kabar. Sialnya saya sudah terlanjur kepincut. Memang sih tak ada komitmen di antara kami, tapi ya gimana, udah terlanjur suka, jadi begitu hilang bingung. Selain itu bingungnya juga karena hanya kenal online, saya cuma bisa melacak lewat akun sosial medianya. Saya tak tahu alamat rumahnya, tak tahu nomor ponselnya, jadi tak ada yang bisa saya lakukan. Tak mungkin langsung pergi ke sana. Tiket mahal.
Teman-teman saya yang awalnya mendoakan supaya S memang cocok dengan saya pun mulai bosan dengan cerita saya yang terus mellow karena dia hilang.
“Lagian kok bisa suka sama orang yang belum pernah ketemu, belum pernah telpon. Dia aneh juga masa enggak punya hp,” kata teman saya disambut teman saya yang lain.
Mereka mungkin benar, walau omongan mereka ada benarnya (dan pertemanan kami memang bukan tipe yang mengelu-elukan dan bicara di belakang, tapi lebih ke bicara sarkas dan apa adanya walaupun itu kasar). Tapi saat itu, hati saya yang luka seolah disiram cuka dan ditabur garam sekaligus. Saya sedang tak biasa dan tak bisa menerima ucapan mereka. Saya ngambek dan memilih untuk tak mau bicara soal S di depan mereka.
S masih hilang. Saya masih terus mengiriminya pesan, pesan yang saya tahu mungkin tak dibaca dan tak terbalas. Monolog, saya bilang. Saya makin sedih. Saya kena ghosting oleh S. Tapi saya enggan mengakuinya. Aplikasi kencan pun beberapa saya uninstall dan malas membukanya lagi. Tak ada harapan. Hari-hari saya suram. Lebay? mungkin, tapi itulah kenyataannya.
Saya berada di situasi di mana saya tak bisa bercerita pada siapa pun karena ogah dihakimi, selain itu juga karena saya berusaha memungkiri diri sendiri ‘kok bisa suka sama orang yang belum pernah ketemu? apalagi di pengalaman pertama install aplikasi.”
Sudahlah, telan saja sendiri walau overthinking. Sembari itu, cari lagi yang lainnya. Swipe lagi.
Hari 26-27:Masih tak ada kabar tapi saya masih ‘ngarep.’ Beberapa pria sempat ajak chat, namun tak ada yang sememikat ’S’. Si korban ghosting ini pun makin mellow, tak semangat kerja, dan kerap melamun.
Tiba-tiba seseorang dari luar yang saya anggap mungkin bisa mengobati patah hati saya mengajak chat. Kami sempat chat beberapa waktu, namun mulai agak ‘malesin’ ketika obrolannya mulai menjurus ke arah selangkangan.
Saya pun dengan halus mengatakan tak tertarik dengan pembicaraan macam itu. Tapi kenyataannya dia memahami itu dan tak memaksa untuk bicara seperti itu. Kami berbincang banyak hal. Sebagai teman dia cukup menyenangkan. Saya menganggapnya sebagai teman saja, tak lebih. Panggil saja dia C. Namun pada akhirnya dia mengungkapkan kalau dia adalah pria sudah menikah, namun kehidupan pernikahannya tak berjalan baik. Mereka berpisah tapi tak bercerai secara hukum. Alasannya tak bisa saya ceritakan di sini. Saya juga cerita padanya tentang S. Ya kami berteman, bahkan sampai saat ini.
Di hari itu saya punya janji dengan kopi darat aplikasi kencan lokal. Tapi pada kenyataannya, saya diharuskan membayar sejumlah uang untuk bisa bertemu dengan calon pasangan yang mereka pilihkan untuk saya. Katanya sih uang itu untuk membiayai pertemuan kami. Tapi saya pikir, sayang uang deh. Kisah aplikasi kencan online pun berakhir.
Hari 28-30:Dari S saya belajar kalau saya tak bisa terlalu serius di aplikasi ini. Saya tahu sebenarnya sejak awal, tapi pada kenyataannya saya sempat terlena. Wanita mana yang tak terlena dengan mulut manis? Mungkin ada tapi saya bukan salah satunya.
S masih hilang, dan saya masih chat dengan C. Tapi saya masih swipe lagi, lagi, dan lagi. Tapi kali ini dengan pandangan, visi, dan misi yang berbeda dan ekspektasi yang rendah.
 Foto: Freestocks |
Akhirnya saya bertemu dengan seseorang yang disebut J. Singkat cerita, hubungan saya dan J mengalir. J sejak awal ‘memenuhi’ ekspektasi saya yang enggan bicara seksual. Meski dia berusia lebih muda dari saya, tapi dia punya perhatian tinggi dan mungkin posesif.
J, mungkin orang yang cocok buat memperhatikan saya saat ini, meski saya belum bisa move on dari S. Tapi J tahu hal itu dan dia paham. Tapi dia tetap keukeuh mau jadi pasangan saya.
Tapi di saat itu, ada lagi pria yang mengaku serius mau menjalin hubungan dengan saya, sebut dia H. Setiap hari kata-kata cinta yang ditulisnya dalam pesan singkat. Setiap hari. Tapi saya masih berhati-hati dan ‘menikmati’ dengan ringan. Toh kalau jodoh tak akan kemana. Kita lihat saja nanti.
Tulisan ini merupakan bagian dari fokus 'Jodoh Tinggal Swipe'.