Percobaan: 30 Hari Menjaring Cinta Online

CNN Indonesia
Senin, 11 Nov 2019 19:47 WIB
Katanya cinta tak boleh terlalu memilih. Tapi ketika ada banyak pilihan di aplikasi kencan oline, bagaimana rasanya?
Ilustrasi kencan online (Istockphoto/Ravi_Goel)
Hari 22:
Saya sempat deg-degan ketika dia memberikan akun media sosialnya. Saya takut kalau ternyata ekspektasi saya salah. Takut kalau ternyata pria yang membuat saya lemah dan mungkin menyukainya ini berbeda dari foto-foto di akun kencan online. Saya takut kalau.. kalau… ah entahlah, yang pasti saya sudah punya gambaran tersendiri soal dia di kepala saya, yang mungkin saja bisa hancur berantakan saat melihat akun sosial medianya.

Tapi nyatanya, foto-foto di media sosialnya masih menyerupai gambaran ideal saya. Ya memang tak semuanya, tapi cukup mendekati dan saya masih bisa menerimanya. Saya mulai ‘wave’ dia di akun tersebut dan mengajaknya berbicang di akun tersebut walau dia bilang dia sangat jarang update akun dan online di sana. Ah tapi tak masalah, saya pun makin mengembangkan imajinasi dan bahkan berpikir untuk pergi ke tempatnya suatu saat nanti.

Hari 23-25:
Tiba-tiba dia menghilang tanpa kabar, tanpa pamit. Saya kelimpungan, panik. Ah ke mana dia? Saya bingung. Ah atau mungkin dia lagi sibuk. Tunggu saja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sehari-dua hari dia menghilang tanpa kabar. Sialnya saya sudah terlanjur kepincut. Memang sih tak ada komitmen di antara kami, tapi ya gimana, udah terlanjur suka, jadi begitu hilang bingung. Selain itu bingungnya juga karena hanya kenal online, saya cuma bisa melacak lewat akun sosial medianya. Saya tak tahu alamat rumahnya, tak tahu nomor ponselnya, jadi tak ada yang bisa saya lakukan. Tak mungkin langsung pergi ke sana. Tiket mahal.

Teman-teman saya yang awalnya mendoakan supaya S memang cocok dengan saya pun mulai bosan dengan cerita saya yang terus mellow karena dia hilang.

“Lagian kok bisa suka sama orang yang belum pernah ketemu, belum pernah telpon. Dia aneh juga masa enggak punya hp,” kata teman saya disambut teman saya yang lain.

Mereka mungkin benar, walau omongan mereka ada benarnya (dan pertemanan kami memang bukan tipe yang mengelu-elukan dan bicara di belakang, tapi lebih ke bicara sarkas dan apa adanya walaupun itu kasar). Tapi saat itu, hati saya yang luka seolah disiram cuka dan ditabur garam sekaligus. Saya sedang tak biasa dan tak bisa menerima ucapan mereka. Saya ngambek dan memilih untuk tak mau bicara soal S di depan mereka.

S masih hilang. Saya masih terus mengiriminya pesan, pesan yang saya tahu mungkin tak dibaca dan tak terbalas. Monolog, saya bilang. Saya makin sedih. Saya kena ghosting oleh S. Tapi saya enggan mengakuinya. Aplikasi kencan pun beberapa saya uninstall dan malas membukanya lagi. Tak ada harapan. Hari-hari saya suram. Lebay? mungkin, tapi itulah kenyataannya.

Saya berada di situasi di mana saya tak bisa bercerita pada siapa pun karena ogah dihakimi, selain itu juga karena saya berusaha memungkiri diri sendiri ‘kok bisa suka sama orang yang belum pernah ketemu? apalagi di pengalaman pertama install aplikasi.”


Sudahlah, telan saja sendiri walau overthinking. Sembari itu, cari lagi yang lainnya. Swipe lagi.

Hari 26-27:
Masih tak ada kabar tapi saya masih ‘ngarep.’ Beberapa pria sempat ajak chat, namun tak ada yang sememikat ’S’. Si korban ghosting ini pun makin mellow, tak semangat kerja, dan kerap melamun.

Tiba-tiba seseorang dari luar yang saya anggap mungkin bisa mengobati patah hati saya mengajak chat. Kami sempat chat beberapa waktu, namun mulai agak ‘malesin’ ketika obrolannya mulai menjurus ke arah selangkangan.

Saya pun dengan halus mengatakan tak tertarik dengan pembicaraan macam itu. Tapi kenyataannya dia memahami itu dan tak memaksa untuk bicara seperti itu. Kami berbincang banyak hal. Sebagai teman dia cukup menyenangkan. Saya menganggapnya sebagai teman saja, tak lebih. Panggil saja dia C. Namun pada akhirnya dia mengungkapkan kalau dia adalah pria sudah menikah, namun kehidupan pernikahannya tak berjalan baik. Mereka berpisah tapi tak bercerai secara hukum. Alasannya tak bisa saya ceritakan di sini. Saya juga cerita padanya tentang S. Ya kami berteman, bahkan sampai saat ini.

Di hari itu saya punya janji dengan kopi darat aplikasi kencan lokal. Tapi pada kenyataannya, saya diharuskan membayar sejumlah uang untuk bisa bertemu dengan calon pasangan yang mereka pilihkan untuk saya. Katanya sih uang itu untuk membiayai pertemuan kami. Tapi saya pikir, sayang uang deh. Kisah aplikasi kencan online pun berakhir.

Hari 28-30:
Dari S saya belajar kalau saya tak bisa terlalu serius di aplikasi ini. Saya tahu sebenarnya sejak awal, tapi pada kenyataannya saya sempat terlena. Wanita mana yang tak terlena dengan mulut manis? Mungkin ada tapi saya bukan salah satunya.

S masih hilang, dan saya masih chat dengan C. Tapi saya masih swipe lagi, lagi, dan lagi. Tapi kali ini dengan pandangan, visi, dan misi yang berbeda dan ekspektasi yang rendah.

Percobaan: 30 Hari Menjaring Cinta OnlineFoto: Freestocks

Akhirnya saya bertemu dengan seseorang yang disebut J. Singkat cerita, hubungan saya dan J mengalir. J sejak awal ‘memenuhi’ ekspektasi saya yang enggan bicara seksual. Meski dia berusia lebih muda dari saya, tapi dia punya perhatian tinggi dan mungkin posesif.

J, mungkin orang yang cocok buat memperhatikan saya saat ini, meski saya belum bisa move on dari S. Tapi J tahu hal itu dan dia paham. Tapi dia tetap keukeuh mau jadi pasangan saya.

Tapi di saat itu, ada lagi pria yang mengaku serius mau menjalin hubungan dengan saya, sebut dia H. Setiap hari kata-kata cinta yang ditulisnya dalam pesan singkat. Setiap hari. Tapi saya masih berhati-hati dan ‘menikmati’ dengan ringan. Toh kalau jodoh tak akan kemana. Kita lihat saja nanti.


Tulisan ini merupakan bagian dari fokus 'Jodoh Tinggal Swipe'.
(chs)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER