Jakarta, CNN Indonesia -- Baru-baru ini selebritas
Lucinta Luna terjerat kasus penyalahgunaan
narkoba. Alih-alih membahas proses hukum perkara, informasi bergeser ke soal identitas
gender Lucinta hingga gender dysphoria yang disebut-sebut oleh sang mantan kuasa hukum.
Apa sebenarnya gender dysphoria itu?
Gender dysphoria adalah kondisi pertentangan dalam diri seseorang lantaran perbedaan antara jenis kelamin dengan identitas gender yang dihayati. Sehingga menimbulkan konflik batin atau ketidaknyamanan dalam diri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa di RS Awal Bros Bekasi Barat, Ervina, seseorang dengan gender dysphoria merasa ingin menyelami identitas gender yang berkebalikan dengan jenis kelamin yang secara biologis melekat sejak lahir. Tapi di sisi lain, lingkungan sekitarnya tak mendukung.
Sehingga tak memungkinkan orang tersebut untuk terbuka dan mengekspresikan identitas gender yang diinginkan.
"Dia bisa mengalami stres dan kalau sudah dibilang gangguan berarti sampai disabilitas misalnya ada gangguan fungsi interpersonal, bersosialisasi, pekerjaan maupun sekolah terganggu," jelas Elvina pada
CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Jumat (14/2).
Elvina pun menegaskan, gender dysphoria berbeda dengan transgender. Tapi beberapa transgender rentan mengalami kondisi ini, meski tidak berarti semua transgender mengalami gender dysphoria.
Dia berkata,transgender yang cakap mengelola tekanan akan terhindar dari stress. Begitu pun dengan mereka yang berada di lingkungan suportif.
Tapi kondisi bakal berbeda ketika seseorang berada di lingkungan atau keluarga yang keliru merespons keadaan. Elvina mencontohkan, ada keluarga atau lingkungan yang justru menyikapi dengan tawaran terapi atau pengobatan.
Padahal gender dysphoria sama sekali bukan penyakit.
"Ini asal muasalnya gender dysphoria. Kok orang lain enggak bisa terima ya? Kemudian ngomong sama orang tua, orang tua tidak terima dan merasa perlu diobati. Nah masih mending bahasanya diobati, kadang pakainya ruqyah, pengusiran setan," ujar dia.
Efek dari gender dysphoria ini bisa beragam. Jika ada gangguan depresi berat, putus asa, muncul ide untuk bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Elvina pun menekankan mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental layak untuk mendapatkan layanan kesehatan yang optimal terlepas dari latar belakangnya.
Sementara itu, mereka yang mengalami gender dysphoria perlu mendapat penanganan dari tenaga profesional. Dia menjelaskan modalitas terapi psikiater ada tiga yakni psikoterapi, psikoedukasi dan psikofarmaka.
Perlu ada evaluasi terlebih dahulu seberapa jauh dampak dari gangguan mental yang dialami pasien. Saat psikoterapi, pasien akan diajak bicara dan diberi terapi sesuai kondisi.
Kedua, psikoedukasi. Psikiater akan memeriksa sejauh mana pasien dan keluarga tahu akan kondisi pasien, baru kemudian dilakukan edukasi. Terakhir, psikofarmaka atau pemberian obat-obatan.
Dari seluruh rangkaian terapi, pasien sangat memerlukan dukungan keluarga dan lingkungan. Dukungan inilah yang bakal jadi penggerak untuk kesembuhan pasien.
"Pada dasarnya kan manusia makhluk sosial, perlu dukungan. Saat kurang atau lebih kita dikritik, itu boleh, dikasih saran, tapi jangan dihakimi," imbuh Elvina.
[Gambas:Video CNN] (els/nma)