Jakarta, CNN Indonesia -- "
Ora mulih, pokoke iki ora enek sing bali." (Enggak pulang, pokoknya ini enggak ada yang pulang)
Sukino (88) pasrah tahun ini tidak bisa merayakan
Idul Fitri bersama anak dan cucu-cucunya. Biasanya tiap tahun, kediamannya di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah ini selalu riuh dengan celoteh anak dan cucu-cucunya yang menggemaskan.
Barangkali ini jadi Lebaran paling sepi yang pernah dilalui. Apalagi sejak berpulangnya sang istri empat tahun lalu. Hari-hari memang penuh dengan kesendirian. Dia harus menghapus lekat-lekat bayangan untuk bisa bertemu anak, mantu, dan cucu di rumahnya di desa itu, setelah satu tahun tak bertatap muka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap tahun, anak-anaknya biasa pulang menjenguknya di kampung sambil menginap beberapa hari. Namun tahun ini dia harus menghadapi kenyataan hanya bisa bersilahturahmi lewat telepon. Tak ada canda tawa, senyum, sungkeman, dan pelukan dari keluarga dekatnya.
"Ini saya jadinya tetap di rumah sendirian," ujarnya disusul tawa, dia masih mencoba untuk riang dan menerima kenyataan.
"
Lha ditutup sama pemerintah, enggak bisa pulang."
Ya, mau bagaimana lagi, pandemi virus corona membuat pemerintah melarang aktivitas mudik. Tradisi tahunan harus urung dilakukan. Dia memang tidak begitu paham seluk beluk corona, baik jenis, metode penyebaran, dan hal-hal sains lainnya. Tapi dia tahu virus ini membawa penyakit sehingga pemerintah menerapkan aturan-aturan tertentu.
"Saya yang penting, saya sehat, yang di sana sehat. Enggak masalah enggak pulang gitu lho." |
Dia bahkan juga tahu kalau virus ini membuat anak cucunya di Jakarta dan Bali tidak bisa bebas beraktivitas bahkan ada yang tidak bekerja dua minggu.
"Mereka di sana jam 9 malam udah ditutup, siang tutup suruh di rumah, udah enggak kerja dua minggu karena corona.
Oalaah,
enek enek wae (ada-ada saja)."
"Entahlah, itu kan siarannya pemerintah, siarannya katanya bisa menular. Penyakit itu yang mengatur Tuhan, kok pemerintah bisa (mengatur)?" ujarnya berkelakar.
Meski demikian, dia tak mengeluh apalagi meminta anak-anaknya untuk melanggar aturan pemerintah untuk menunda mudik.
Sukino sadar betul bahwa Lebaran tanpa kehadiran anak cucu memang yang terbaik untuk saat ini.
"Saya yang penting, saya sehat, yang di sana sehat. Enggak masalah enggak pulang gitu lho," imbuhnya.
 Foto: Elektro-Plan/Pixabay Ilustrasi kakek |
Meski tak bisa bertemu di Lebaran ini, silaturahmi dan komunikasi Sukino dan anak-anaknya tetap terjaga. Ponsel di rumah pun tak pernah absen berdering tiap hari. Meski jauh, anak cucu tetap bisa terhubung. Jika dirinya ingin menelepon sekadar berkabar atau melepas rindu, ia harus meminta tolong keponakan atau tetangga untuk menggunakan ponsel.
"Tapi kalau ada yang mau cerita apa saja, saya bisa menyahut (mengangkat telepon)," ujarnya.
Meski corona membuat dirinya tak bisa bertemu sementara dengan anak dan cucunya tahun ini, namun dia juga menyadari ada perubahan baik yang dipetik dari pandemi ini. Semua orang jadi mencuci tangan. Keempat anaknya pun tak jarang bercerita kondisi di tanah rantau. Tempat cuci tangan, lanjutnya, ada di mana-mana dan semua orang diminta mencuci tangan tiap keluar masuk gedung, kantor bahkan rumah.
"Orang maunya disuruh cuci tangan biar jadi suci semua, jadi hidup bersih,
yo aku cocok kui (ya saya cocoklah)," ucapnya.
Meski harus sendirian tanpa anak dan cucu, Sukino masih bisa Lebaran di Wonogiri sambil menikmati hidangan yang disediakan adik iparnya. Sang adik ipar rutin membawakan sayur dan lauk-pauk termasuk saat puasa kemarin.
Sukino tak patah semangat. Dia tetap menjalani harinya dengan gembira. Hari-harinya diramaikan dengan suara embikan empat kambing dan dua ekor ayam miliknya. Memang, penglihatannya memang sudah tidak begitu tajam, tubuh pun agak bungkuk dan tidak sekuat dulu tetapi Sukino masih bersemangat, buatnya yang penting badannya harus tetap bergerak agar sehat meski dalam aktivitas yang terbatas karena virus corona.
(els/chs)
[Gambas:Video CNN]