Jakarta, CNN Indonesia -- Dari sekian banyak jurusan yang ada di berbagai universitas di Indonesia dan juga di seluruh dunia, apa yang menjadi pilihan Anda? Pasti ada banyak pertimbangan untuk menentukan pilihan masa depan Anda.
Namun setiap tahunnya ada beberapa jurusan kuliah yang jadi favorit dibanding lainnya. Manajemen, ekonomi, IT, hukum, dan beberapa lainnya. Namun perlu disadari ada banyak jurusan kuliah lainnya yang bisa dilirik.
Meski tak terlalu populer namun ada banyak hal yang perlu diketahui sol jurusan lain yang mungkin dianggap aneh, lucu, dan 'ajaib,' namun pada kenyataannya ada peminat jurusan tersebut. Mungkin saja Anda berpikir,'ada ya jurusan ini?' tapi begitulah adanya, dan ternyata seru ketika dijalani.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelakon jurusan tersebut nyatanya tak menyesal memilih jurusan yang tak populer bagi banyak orang ini.
1. Jurusan Hama Penyakit Tanaman (Proteksi Tanaman) Anak Jakarta belajar pertanian, mau jadi apa? Emang mau jadi petani?
Itu pikiran saya waktu pertama kali diterima jadi mahasiswa baru di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Apalagi di bidang pertanian dan jurusan Hama Penyakit Tanaman.
Jujur awalnya hanya pilih itu karena
passing grade-nya terjangkau jadi kesempatan lulus PTN lebih tinggi. Dibilang
passion juga tidak karena tak punya bayangan sejak awal. Namun apa boleh buat, jalani saja dulu.
Saya pernah meminta kepada ayah saya, bahwa saya akan ikut ujian lagi setahun kemudian, karena saya tak tahu mata kuliahnya. Tapi akhirnya keinginan itu sirna, saya tidak lagi mendaftar ujian masuk dan tetap berada di jurusan hama penyakit tanaman.
Apa yang dipelajari di sana? Sebagai mahasiswa fakultas pertanian tentu saja akan belajar segala sesuatu soal cara bercocok tanam. Tapi di bagian HPT yang sekarang disebut sebagai proteksi tanaman, akan lebih spesifik belajar soal hewan pengganggu dan penyakit yang menyebabkan tanaman itu mati atau rusak.
Pelajaran pertama yang saya dapat dan saya ingat sampai sekarang dari kakak kelas saya adalah, apa bedanya tanaman dan tumbuhan? Pernah memikirkan bedanya? Dulu tidak tapi sekarang saya tahu kalau tanaman itu dibudidayakan atau sengaja ditanam dan dirawat, sedangkan tumbuhan adalah semua yang tumbuh baik ditanam atau liar.
Lebih ke pelajaran seperti biologi, bagaimana cara virus, bakteri, jamur menyebabkan tanaman mati, dan bagaimana caranya agar tanaman tetap sehat. Hiperparasitisme, agensia hayati atau melawan hama dengan musuh alami, dan menghindari penggunaan pestisida kimia agar tak ada efek samping untuk manusia.
Perlu disadari bahwa pertanian adalah dasar dari kehidupan. Ada tanaman ada petani ada makanan sehat di meja untuk bertahan hidup. Pada akhirnya belajar di jurusan ini membuat saya berpikir tentang bagaimana kelangsungan ekosistem pertanian, memikirkan kesehatan dengan konsumsi makanan sehat, mengendalikan kutu beras, hama wereng, penyakit tanaman, atau setidaknya saya tahu nama penyakit 'serabut' abu-abu seperti kapas yang ada di stroberi, ya kapang kelabu.
Di jurusan ini saya juga belajar soal bertanam (agronomi), soal tanah di ilmu tanah, sampai penanganan pascapanen. Oh ya banyak bermain di sawah, tidak cuma duduk bosan di ruang kuliah atau di lab. Ke pasar mencari
Plutella xylostella atau ulat kubis. Belajar nama latin hama dan penyakit itu sudah pasti, toh nama mereka keren-keren.
Selain itu bikin pestisida sendiri dari tumbuhan di sekitar yang tak terduga, misalnya babandotan. Waktu kecil saya tak tahu kalau daun yang aromanya seperti kambing ini ternyata punya manfaat lain untuk pertanian.
 Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Siswowidodo) |
Menyesal? Tidak sama sekali, sebaliknya seperti dosen saya pernah bilang, "menjadi dokter tanaman itu lebih sulit, karena tanaman tidak bisa ngomong kalau sakit atau kena hama. Kita yang harus pandai analisis dan teliti, rajin membaca dan tak tekun."
Soal pekerjaan? Saat ini saya memang tidak bekerja sesuai jurusan kuliah saya. Tapi siapa bilang itu tidak terpakai? Contoh paling mudah, di saat pandemi ini semua orang justru tengah hobi berkebun, baik hidroponik atau lainnya. Saya sudah mulai sejak lama. Bahkan seperti diketahui semakin banyak orang suka berkebun karena bisa menghilangkan stres. Kalau saya? Saya ingin punya usaha sampingan jadi petani jamur atau bunga.
Tapi teman-teman saya lainnya juga banyak yang berkecimpung di dunia pertanian dengan menjadi penyuluh petani untuk mengurangi risiko penggunaan pestisida kimia yang berbahaya.
Ina, Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Unsoed
Jurusan Sejarah “Kalau masuk jurusan sejarah, cuma belajar soal masa lalu dong?”
Banyak orang yang mengatakan seperti itu, namun kenyataannya ada banyak hal yang bisa dipelajari dari sejarah.
Sebenarnya sama saja seperti sejarah di SMP atau SMA, hanya bedanya lebih dalam saja. Karena selama 9 tahun belajar, kita belajar sejarah cuma dikasih pilihan, ABCD, dan ujungnya menghafal.
Kalau di jurusan sejarah, jatuhnya cari korelasi dari peristiwa satu ke peristiwa lain, melihat dasar pemikiran orang dari suatu kejadian, memahami konteks bukan cuman menghafal.
Apa yang dipelajari? Ya, belajarnya sejarah seluruh dunia. Tapi nanti di semester semester 3 atau 4, ada peminatan sesuai keinginan. Biasanya dibagi jadi Asia Tenggara, Amerika, Australia, sama Eropa. Nanti dari sana baru fokus sama bidang masing-masing. Soalnya ilmu sejarah luas, enggak mungkin bisa
nguasain semua bidang, jadi dikerucutkan lagi.
Ya, dari dulu saya memang suka sejarah dibanding mata pelajaran sosial yang lain. Terlebih menghindar dari ekonomi
sih,
haha.
Tapi bagaimanapun juga sejarah itu dasarnya segala ilmu, hampir sama kayak filsafat. Jadi pas belajar sejarah, pasti tetap ketemu sama politik, hukum, ekonomi, sosiologi, bahkan soal pertanian, agraria juga dipelajari.
Di situ bagian menariknya. Kita bisa gali banyak ilmu, yang asalnya dari perspektif sejarah. Bahkan dari ilmu-ilmu itu, biasanya ada benang merah yang ternyata
nyambung sama ilmu lain. Di situ tantangannya anak sejarah buat pintar-pintar analisis, baca pemikiran orang, dan peristiwa.
Enggak
nyesel sama sekali. Sejarah
ngajarin buat jeli, buat skeptis. Jadi semua langsung bisa diserap, dicari dulu, dipelajari dulu, dianalisis dulu. Sejarah juga
ngajarin buat nulis yang pasti.
Kalau soal peluang kerja, enggak bisa mengandalkan dari sejarah
doang. Kalau murni sejarah, bisa jadi dosen atau guru, wartawan, penulis, sejarawan. Itu yang
basic.
Tapi semua balik ke masing-masing, punya
skill apa buat mendukung itu (dunia kerja). Jadi enggak bisa semata-mata pasrah sama jurusan, tapi punya
skill yang diasah juga.
- Katri Adiningtyas, Lulusan Sejarah UI Sastra JawaJawa bukan jurusan populer. Jangankan di UI. Di FIB
aja, sastra Jawa kalah populer sama jurusan sastra dan non sastra lainnya. Saya dulu masuk 2004, itu paling sedikit mabanya (mahasiswa baru) dari jurusan lain di FIB. Tapi tahun-tahun berikutnya
maba sastra Jawa makin banyak.
Stigma kali ya dianggap enggak populer. Dulu saja senior-senior saya cuma 13 sampai 10 orang satu angkatan. Stigmanya dari dulu mau jadi apa kuliah sastra Jawa? jadi dalang? Stigma masyarakat, stigma mahasiswa itu sendiri, sampai stigma dari orang tua.
Banyak
kok teman-teman cabut kuliah belum genap 6 bulan karena orang tuanya tidak setuju atau dianya sendiri tidak berminat karena Jawa cuma cadangan pilihan di SPMB.
Kuliah sastra Jawa sebetulnya sama saja kayak jurusan sastra lain. Kami belajar linguistik, sastra, kebudayaan, aksara Jawa. Mungkin bedanya di Jawa ada pelajaran filologi (belajar bahasa Jawa pada sumber sejarah seperti naskah kuno, lontar dan lainnya). Saya lupa jurusan lain ada mata kuliah filologi juga atau tidak.
Di sastra Jawa juga sama dengan sastra lainnya, ada mata kuliah penguasaan bahasa. Biasanya 6-8 SKS, tergantung jurusannya. Ini yang bagi kebanyakan mahasiswa sulit. Banyak yang tidak lulus mata kuliah penguasaan bahasa.
Menariknya, kalau kuliah S1 sastra jawa, maka S2 nya tidak ada di Indonesia, mesti ke Leiden, Belanda. Di sana pusatnya kajian-kajian sastra Jawa dan sejarah Indonesia, khususnya Jawa.
Tapi sebenarnya, saya masuk Sastra Jawa bukan karena minat, tapi salah jurusan. Tadinya ambil sastra Jepang sama sastra apa
gitu lupa. Tapi kayanya salah nulis kode jurusan saat mau SPMB dulu. Harusnya tulis kode Jepang, jadi kode jawa yg ditulis tanpa sadar.
Tapi pas sudah
kecebur, ya berminat. Karena jadi sedikit banyak paham kebudayaan Jawa sejak zaman kerajaan dulu. Demikian juga dengan kesusastraan Jawa dari zaman kuno.
It’s amazing. Jadi sebetulnya bukan perkara mudah belajar di sastra Jawa. Sumpah, susah banget.
Selain itu kita juga belajar sedikit kesusastraan Sunda, Bali, dan Arab di Sastra Jawa. Ketiganya punya aksara yang terbilang susah untuk dibaca apalagi dimengerti.
Nyesel? Enggak sama sekali.
Ketika masuk Jawa, selepas lulus bisa
nerusin kuliah ke Leiden, atau S2 ganti jurusan. Kalau enggak
terusin, bisa kerja di berbagai bidang kerjaan. Kaya penulis, peneliti, arsip, dosen, guru (ini yang masih terkait sama jurusan). Atau di bidang kerja yang nampung gado-gado kayak perbankan, jurnalistik, marketing, dan lain-lain.
Tapi, semua balik lagi dengan cara kita berimprovisasi dan berkreativitas lalu berkawan selama kuliah.
Dulu saya senang bergaul lintas jurusan. Saya senang ikut komunitas dan organisasi ini itu. Bahkan sama beberapa kawan saya bikin beberapa kegiatan dan organisasi kampus macam Muara Senja (tempat diskusi), Markas Sastra (ajang diskusi)."
Oscar Ferry, Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI