Studi para ahli neurologi menemukan dampak virus corona pada otak terbagi menjadi tiga tahapan. Makalah penelitian ini mengulas efek Covid-19 pada sistem saraf dan berbagai tingkat kerusakan otak.
Salah satu penulis merupakan ahli saraf yang diakui sekaligus Direktur Medis di NeuroGrow Brain Fitness Center di Virginia dan staf afiliasi di Johns Hopkins Medicine, Majid Fotuhi.
"Poin utama yang dapat kami bawa adalah bahwa pasien dengan gejala Covid-19, seperti sesak napas, sakit kepala, atau pusing, mungkin memiliki gejala neurologis yang pada saat rawat inap, mungkin tidak diperhatikan atau diprioritaskan atau yang memiliki gejala neurologis dapat menjadi jelas hanya setelah mereka meninggalkan rumah sakit," ungkap Majid Fotuhi seperti dikutip dari Medscape.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam tinjauan ilmiah yang diterbitkan di Journal of Alzheimer's Disease, peneliti menulis Covid-19 memberikan dampak pada saraf seperti anosmia (kehilangan kemampuan penciuman), kejang, stroke, kebingungan, ensefalopati (kelainan struktur atau fungsi otak), dan kelumpuhan total.
Virus corona menggunakan reseptor Angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) sebagai jalan masuk ke berbagai sel di tubuh.
Mengutip laman Farmasi UGM, ACE2 adalah enzim yang menempel pada permukaan luar (membran) sel-sel di beberapa organ, seperti paru-paru, arteri, jantung, ginjal, dan usus. Reseptor ACE2 merupakan protein spesifik yang memungkinkan virus corona menginfeksi dan menghancurkan sel-sel manusia sehingga menyebabkan berbagai kerusakan organ.
Dalam jurnal yang ditulis para ahli neurologi dijelaskan, ACE2 pada sel-sel pernapasan dan sel-sel epitel pembuluh darah kemudian memicu pembentukan 'cytokine storm' (badai sitokin). Efeknya, permeabilitas atau kemampuan zat/membran meloloskan partikel pembuluh darah meningkat, timbul edema dan peradangan luas, yang lantas memicu 'kaskade hiperkoagulasi'.
Hiperkoagulasi mengakibatkan pembentukan gumpalan darah kecil dan besar yang mempengaruhi banyak organ.
Jika virus masuk langsung ke otak, hal tersebut bisa menimbulkan demielinasi (demyelination) yakni kerusakan atau robek pada selubung mielin pada neuron. Demielinasi mengakibatkan gangguan aliran sinyal saraf individu sehingga timbul gangguan perasaan, gerakan, kesadaran atau fungsi lain yang bergantung pada sistem saraf.
Fotuhi dan peneliti lain dalam makalah memperingatkan potensi masalah neurologis pada pasien Covid-19. Sebab faktanya, sebuah penelitian di Wuhan, China menunjukkan 45 persen pasien Covid-19 parah ditandai dengan defisit neurologis.
Studi lain dari Prancis menunjukkan, 84 persen dari pasien Covid-19 di ICU memiliki kelainan positif pada pemeriksaan neurologis, sementara 15 persen pasien yang meninggalkan ICU disebut memiliki residu berupa dysexecutive function--kondisi yang membuat seseorang sulit mengambil keputusan dan mengendalikan perilaku.
Peneliti pun memberikan catatan terkait tiga tahap dampak corona pada otak--penulis studi menyebut NeuroCovid. Hasil studi ini dapat digunakan membangun hipotesis dan penyelidikan lebih lanjut mengenai dampak virus corona jenis baru pada sistem saraf.
Pada tahap ini, kerusakan akibat virus corona terbatas pada sel-sel epitel hidung dan mulut. Gejala utamanya berupa hilangnya indera pembau dan perasa untuk sementara.
Ikatan virus corona pada reseptor ACE2 terbatas pada sel epitel nasal dan gustatory. Sehingga selama tahap ini, pasien mengalami gangguan bau atau rasa. Namun kondisi ini bisa pulih dengan sendirinya tanpa intervensi apapun.
Infeksi virus mengaktifkan respons kekebalan yang kuat. Ini mengakibatkan peradangan pada pembuluh darah, peningkatan faktor hiperkoagulabilitas (kondisi darah mudah menggumpal/membeku), dan pembentukan gumpalan darah di arteri dan vena otak.
Pada tahap ini virus memicu badai sitokin atau banjir peradangan, yang dimulai pada paru-paru lantas ke pembuluh darah seluruh organ tubuh. Badai sitokin ini mengarah pada penggumpalan darah yang mengakibatkan stroke. Dalam kondisi ini pasien bisa mengalami stroke besar atau kecil.
Gejala tambahan pada tahap 2 termasuk kelelahan, hemiplegia (kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh), kehilangan sensorik, penglihatan ganda, tetraplegia (kelumpuhan pada empat tungkai dan badan), afasia (gangguan fungsi bicara), atau ataksia (gangguan gerakan tubuh).
![]() INFOGRAFIS AGAR TAK TERTULAR VIRUS CORONA |
Tingkat ledakan badai sitokin merusak penghalang darah otak yang merupakan lapisan pelindung. Akibatnya sitokin, komponen darah dan partikel virus masuk ke parenkim otak dan mengakibatkan kematian sel neuron dan radang otak.
Tahap ini ditandai dengan kejang, kebingungan, delirium (gangguan mental serius), koma, kehilangan kesadaran atau kematian.
Fotuhi mengungkapkan berdasarkan laporan dalam beberapa bulan terakhir, 36-55 persen pasien Covid-19 yang dirawat menunjukkan gejala neurologis. Tapi dalam beberapa kasus, pasien bisa jadi mengalami gejala neurologis bahkan sebelum demam, batuk atau sesak napas.
Karena itu ia menyarankan sebaiknya pasien tetap dimonitor setelah keluar dari rumah sakit karena ada kekhawatiran timbul gangguan kognitif.
"Pasien yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19 harus memiliki evaluasi neurologis dan idealnya dilakukan MRI otak sebelum meninggalkan rumah sakit, dan jika ada kelainan, mereka harus menindaklanjuti dengan ahli saraf dalam 3-4 bulan," imbuh dia lagi.
(els/nma)