Ruang-ruang kekhawatiran dalam kondisi kekosongan kekuasaan Indonesia pasca sebulan Soekarno membacakan Proklamasi pada 75 tahun silam, menjadi awal mula perlawanan rakyat Bandung, yang tersulut melihat kedatangan pasukan Inggris yang membonceng Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Skeptis terhadap sekutu membuat para pemuda di Bandung kompak membentuk gerakan perjuangan secara spontan. Usai kedatangan sekutu, ragam konflik dan pertempuran terjadi di berbagai pelosok. Propaganda dan keinginan Belanda untuk kembali memiliki Indonesia dibalas geram perlawanan rakyat yang tak rela kemerdekaan Indonesia menjadi semu.
Gejolak itu mulai melahirkan ragam gerakan dan laskar perjuangan di Bandung, salah satunya Laswi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pegiat Komunitas Aleut Ariyono Wahyu Widjajadi alias Alex menyebutkan, saat itu kelompok perjuangan spontan datang dari berbagai lini, baik dari latar belakang militer hingga rakyat sipil.
Seperti Hizbullah, Barisan Merah Putih (BMP), Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), serta tak terkecuali Laswi.
Literasi bacaan Alex dari buku 'Semerbak Bunga di Bandung Raya' yang ditulis Haryoto Kunto si 'Kuncen' Bandung menyebutkan, bahwa Laswi menjadi salah satu gerakan perjuangan perang era 1945-1946, yang andil dalam puncak pertempuran Bandung Lautan Api, pada 24 Maret 1946 silam.
Dalam bukunya itu, disebutkan Kuncen Haryoto juga mengutip ragam informasi dari buku 'Siliwangi dari Masa ke Masa'.
"Laswi terbentuk tanggal 12 oktober 1945 didirikan di Societeit (gedung pertemuan) Mardi Harjo yang saat ini ada di Jalan Otto Iskandardinata. Pencetusnya adalah nyonya atau istri dari Arudji Kartawinata, Sumarsih Subiyati alias Yati Arudji," jelas Alex saat dihubungi CNNIndonesia.com, Sabtu (15/8).
Arudji, Suami Yati, waktu itu menjabat sebagai TKR (Tentara Keamanan Rakyat) divisi III Jawa Barat, yang menjadi cikal bakal divisi Siliwangi.
Laswi menghadirkan pekik perempuan yang rela berjuang dalam melawan penjajah. Tanpa berafiliasi dengan partai politik, mereka memilih bergerak sebagai rakyat sipil dengan membawa nurani dan semangat cinta tanah air.
Dalam pergerakannya, Laswi memiliki andil yang cukup besar dalam jalannya pergolakan yang terjadi pada zamannya. Tak hanya terjun dalam medan perang, mereka juga aktif sebagai pasukan lini belakang yang peduli mempersiapkan logistik para pejuang yang turun di lapangan.
"Dalam buku 'Saya Pilih Mengungsi', diceritakan Laswi ditugaskan mengurus berbagai keperluan di garis belakang seperti dapur umum, waktu pejuang mengungsi di Bandung Selatan," ujar Alex.
Pun dalam peran perjuangannya, Laswi telah melalui diskusi Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3), yang saat itu beranggotakan banyak gerakan perjuangan rakyat Bandung.
Alex juga menambahkan, saat itu era perempuan yang mulai aktif memimpin dan berdiplomasi mulai bermunculan. Stigma perempuan yang kolot pada zaman dahulu pelan-pelan telah diberangus dengan hadirnya pendidikan yang turut mengemansipasi.
"Lambat laun pemikiran rakyat sudah modern, apalagi peran Dewi Sartika yang menggagas sekolah untuk perempuan agar perempuan mandiri. Jadi memang sudah ada usaha-usaha seperti itu untuk menghapus stigma," jelasnya.
Lebih lanjut, keberanian para perempuan pada zaman itu menurut Alex sempat dikisahkan melalui buku yang ditulis Jenderal A.H Nasution dengan tajuk 'Memenuhi Panggilan Tugas' pada jilid pertama.
Saat itu Nasution, yang bertugas sebagai Panglima Divisi Siliwangi menggantikan Arudji Kartawinata, didatangi sosok pejuang perempuan di kantornya.
Perempuan itu turun dari kuda dan menenteng kepala yang ia penggal dari tubuh perwira Gurkha atau tentara sekutu dari Nepal yang dibawa Belanda untuk membantu mereka menaklukan Bandung.
Lalu, sang perempuan meletakkan kepala yang masih lengkap dengan pita perwira itu di meja Nasution. Perempuan itu bernama Susilowati, yang sukarela menjadi pengawal Nasution dalam beberapa kesempatan.
![]() |
Dihubungi terpisah, pegiat sejarah asal Bandung, Ryzki Wiryawan, pun menjabarkan hal senada soal Laswi; keberanian.
Satu lagi keberanian tokoh dalam Laswi diceritakan melalui Willy, anggota Laswi yang tersisa dan kerap dijadikan sumber sejarah.
Mirip aksi yang dilakukan Susilowati, Willy, yang mendapat sebutan 'Maung Bikang', diceritakan menggunakan samurai untuk memenggal kepala tentara Gurkha.
"Willy atau nama aslinya Ibu Dewi Rohimah salah satu anggota Laswi. Kalau baca bukunya Bandung Heritage, beliau salah satu anggota yang masih hidup hingga tahun 2000-an," ujar Ryzki saat dihubungi CNNIndonesia,com, Minggu (16/8).
Ryzki mengakui semangat perjuangan Laswi sangat heroik dalam perjalanan perjuangan Bandung.
Selain itu, menurutnya sejarah telah mencatat setidaknya 300 perempuan andil berjuang di dalamnya. Mereka datang dari beragam latar belakang, yang kebanyakan berasal dari pemudi berusia 18 tahun keatas yang sempat mengenyam pendidikan formal.
"Di Laswi sendiri ada tiga bagian; pasukan tempur, palang merah, dan bagian penyelidikan dan perbekalan," tutur dosen Masoem University ini.
Dalam rentang waktu 1945-1946, Laswi telah hadir dalam membantu logistik, kesehatan dan berperan sebagai palang merah saat itu. Laswi hadir sebagai pihak penyokong kebutuhan pangan para pejuang yang mengungsi akibat serangan tentara sekutu di berbagai titik kota.
Seperti pengungsian pada saat banjir Cikapundung 25 November 1945 yang menelan banyak korban dari masyarakat sipil. Kemudian Laswi juga hadir dalam aksi pengeboman Cicadas 14 Desember 1945, pengeboman ini meninggalkan lubang cukup besar di daerah Cicadas.
"Padahal saat itu Belanda tak boleh menyerang dapur umum aturannya, akibatnya empat atau lebih anggota Laswi meninggal," kata Ryzki.
Ryzki juga mengatakan, kontribusi terbesar Laswi yang telah diberikan juga wajib diperhitungkan. Posisi dapur umum dalam perjuangan menjadi instalasi strategis.
Sebab, kekuatan tentara sekutu yang terus mendesak rakyat Bandung menjadikan kegiatan ini tak mudah dilakukan. Buktinya, tentara sekutu pun mengincar markas logistik perjuangan rakyat Bandung pada saat itu.
"Saya rasa perjuangan ini yang kerap dilupakan. Padahal selain fisik, logistik yang dilakukan Laswi ini juga memiliki peranan besar," ungkapnya.
Lihat juga:Gedung Sate dan Teka-teki Sate di Atapnya |
Orang Bandung bakal tak asing dengan 'Laswi', sebuah jalan yang melintang mulai dari perempatan Jalan Jenderal Gatot Soebroto hingga perempatan jalan Jenderal Ahmad Yani dan Jalan Martadinata.
Selain di Kota Bandung, ada juga Jalan Laswi di Ciparay, Majalaya, yang terkait peristiwa Bandung Lautan Api.
Jalan Laswi biasanya berada di jalan protokol, sekaligus berdekatan dengan nama jalan lain yang diilhami dari nama pejuang di Indonesia.
Sayangnya hanya segelintir orang yang memahami sejarah penamaan jalan tersebut. Bahkan, jejak-jejak peninggalan gerakan srikandi ini jarang dijumpai di penjuru Kota Kembang.
Ryzki ikur mengakui sulit sekali mencari peninggalan atau napak tilas dari Laswi di Bandung. Belum lagi kisah heroik Laswi yang jarang tertulis dan diceritakan secara umum. Ia tak yakin, warga asli Bandung pun banyak yang mengetahui peristiwa yang dialami Laswi pada zamannya.
"Kalau kita baca sejarah Bandung Lautan Api, pasti sekilas mendengar Laswi," kata Ryzki.
Menurut Alex, semakin bertambah waktu, kisah Laswi semakin jarang diceritakan baik di buku atau secara oral.
"Paling orang kenal sebagai penggalan nama jalan, nanti kalau ditanya Laswi itu apa, mungkin sedikit yang bisa cerita," ujarnya.
Meski susah untuk napak tilas, kompak mereka menyatakan, 'sosok' Laswi dapat ditemukan dalam sebuah patung representasi perempuan membawa serdadu, yang terletak di kawasan jembatan rel kereta api Jalan Kebon Jukut, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Suniaraja, dan Jalan Stasiun Timur.
Dalam kawasan itu diapit dua patung, satu patung sosok anggota Laswi, sementara satu lainnya yakni patung tentara pelajar.
Kedua patung itu dibuat oleh Sunaryo, yang merupakan alumni Seni Rupa ITB.