Jakarta, CNN Indonesia --
Komodo merupakan hewan purba yang masih ada hingga saat ini. Jejaknya hanya bisa ditemukan di Indonesia, tepatnya di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur.
Taman Nasional Komodo menjadi destinasi wisata favorit di Indonesia. Tidak hanya menjadi primadona di dalam negeri, taman nasional yang sudah berdiri sejak 1980 itu juga menjadi destinasi wisata impian para turis mancanegara.
Tidak mengherankan bahwa sepanjang 2018 Taman Nasional Komodo bisa meraup untung hingga Rp33,16 miliar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2019, Taman Nasional Komodo sempat menyedot perhatian publik, karena akan ditutup untuk revitalisasi.
Berlanjut ke 2020, Taman Nasional Komodo kembali menyita perhatian publik. Kali soal membership yang berharga jutaan hingga proyek pengembangannya yang dianggap mengganggu keberlangsungan hidup kawanan komodo.
Perlu Membership untuk Masuk TN Komodo
Ada dua pulau di destinasi pariwisata Taman Nasional Komodo yang ditetapkan sebagai lokasi wisata eksklusif, di antaranya adalah Pulau Komodo dan Pulau Padar.
Pengunjung dua pulau ini dibatasi hanya untuk yang telah memiliki tanda keanggotaan atau membership.
Belum diketahui pasti berapa harga membership untuk bisa berkunjung ke Pulau Padar dan Pulau Komodo di TN Komodo.
Namun pada 2019, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta pengelola menyiapkan tiket seharga US$1.000 atau sekitar Rp14 juta per orang.
Ke depannya, pengaturan kunjungan ke TN Komodo juga akan dibatasi, sehingga tidak semua lokasi bisa dikunjungi secara massal.
"Untuk kunjungan massal bisa di Pulau Rinca, sementara Pulau Padar dan Pulau Komodo sifatnya eksklusif," kata Kepala Disparekraf Provinsi Nusa Tenggara Timur, Wayan Darmawa pada Juni lalu.
Balai Taman Nasional Komodo juga akan fokus pada fungsi konservasi dan pengawasan. Pemerintah Provinsi NTT, melalui PT Flobamor, mengelola dari sisi bisnis.
Untuk pengelolaan dari sisi bisnis, pemerintah provinsi akan menggandeng perusahaan dari Singapura yang bergerak di bidang informasi teknologi yang bekerjasama dengan perusahaan nasional.
Pendaftaran online untuk masuk Taman Nasional Komodo juga mulai berlaku mulai 6 Juli 2020, bersamaan dengan uji coba di beberapa destinasi wisata Labuan Bajo.
Wisatawan yang akan berkunjung ke Labuan Bajo bisa mengakses ke situs pendaftaran https://booking.labuanbajoflores.id dan mengisi formulir yang tersedia.
Calon wisatawan juga harus menyiapkan dokumen berupa surat keterangan dari e-HAC, bukti asuransi, dan identitas calon wisatawan seperti NIK atau paspor.
Setelah itu, calon wisatawan diminta untuk mengisi data kunjungan selama di Labuan Bajo, mulai data kunjungan ke Kawasan TN Komodo, Wisata darat (non-TN Komodo), Wisata Laut (non-TN Komodo).
Untuk calon wisatawan yang akan berkunjung melihat habitat satwa purba Komodo di Kawasan TN Komodo diminta memilih lokasi dan mengisi jam kunjungan khususnya untuk di lokasi Loh Liang, Loh Buaya, dan Pulau Padar.
Hal yang sama juga diberlakukan untuk Wisata darat (non-TN Komodo), Wisata Laut (non-TN Komodo).
Kritik Proyek 'Jurassic Park'
Kawasan Nusa Tenggara Timur akan dijadikan sebagai destinasi wisata kelas premium. Demi menunjang sarana dan prasarana kelas premium tersebut, kawasan habitat komodo akan mengalami beberapa perubahan.
Proyek yang disebut Jurassic Park diklaim pemerintah menjadi salah satu penunjang wisata kelas premium itu. Pembangunan proyek tersebut rencananya akan dilakukan di Pulau Rinca dan Pulau Padar.
Sepanjang perjalanannya, proyek Jurassic Park banyak dikecam oleh berbagai kalangan karena khawatir akan merusak ekosistem. Apalagi ketika foto viral sebuah truk versus komodo ramai tambah membuat geger warganet.
Banyak pihak khawatir akan pembangunan proyek ini yang berpotensi merusak lingkungan dan habitat asli komodo. Belum lagi, ada keterlibatan investasi asing di dalam proyek dengan dana sebesar Rp69 miliar tersebut.
Di samping itu, pemerintah juga disebut-sebut belum memenuhi permintaan warga soal kesepakatan tertulis sebelum pengerjaan proyek pembangunan 'Jurassic Park' di Pulau Rinca.
Salah satu warga Desa Pasir Panjang Pulau Rinca, Sumardin (32) mengatakan hingga kini belum ada kesepakatan hitam di atas putih yang diinginkan warga sebagai syarat pemugaran di Resort Loh Buaya.
Padahal, kata Sumardin, pembicaraan mengenai itu telah dilakukan kedua pihak sebelum proyek dimulai.
"Masyarakat menginginkan ada kesepakatan tertulis, terutama dalam pembangunan itu. Pertama, kalau sekilas saya dapatkan bahwa pembangunan itu disetujui dengan syarat-syarat yang diajukan oleh pihak masyarakat," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, belum lama ini.
Syarat yang diajukan warga pada pemerintah adalah untuk melindungi ekosistem dan kehidupan komodo, kemudian pemerintah juga diminta agar mempekerjakan masyarakat setempat dalam mengelola kawasan wisata.
"Cuma, di sana masyarakat juga meminta ada sumbangsih untuk masyarakat di sini, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, dari hal-hal semua itu, kemarin itu butuhnya secara tertulis. Maksudnya ada pengakuan, dari pemerintah dengan masyarakat Pasir Panjang. Cuma yang kita tunggu sampai sekarang belum ada secara tertulisnya," kata dia.
Penolakan proyek ini juga dilontarkan oleh Ketua Adat Desa Komodo, Pulau Padar, Habsi bin Muhammad Ali.
Ia menyebut, sebagian masyarakat di Desa Komodo menolak proyek pembangunan tersebut karena mempertanyakan status kawasan taman nasional yang mestinya bebas dari proyek pembangunan.
Habsi sendiri mengaku saat ini belum memutuskan apakah menerima atau menolak rencana proyek pemugaran di kawasan tempat tinggalnya.
"Kalau dari saya, akan pertanyakan kembali dari taman nasional, kenapa kali ini bisa ada pembangunan di dalam Taman Nasional," tuturnya.
Problematika Sampah
Selain 'Jurassic Park', Taman Nasional Komodo juga harus menghadapi masalah pelik mengenai tumpukan sampah.
Badan Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Manggarai Barat menyebut, selama 2019 jumlah sampah plastik di Perairan Labuan Bajo hingga kawasan Taman Nasional Komodo bisa mencapai 10 ton dalam sehari.
Sampah di kawasan Taman Nasional Komodo ini bukan hanya berupa sampah di daratan, namun juga sampah yang dibuang di tengah laut dan terbawa arus hingga pesisir pantai.
Masalah sampah di habitat Komodo ini juga sudah mendapat sorotan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sejak 2018 lalu.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Nusa Tenggara Timur, Abed Frans.
Menurut Abed wisatawan mancanegara kerap mengeluh soal sampah di Taman Nasional Komodo yang hingga saat ini belum teratasi, hal inilah yang membuat UNESCO menyoroti masalah ini.
"Kasihan wisatawan yang spesialis menyelam dan berselancar, bukannya pemandangan bawah laut indah yang mereka dapati tapi malah sampah dan dampak kerusakan ekosistem yang dijumpai," kata Abed.
Sementara itu, Kepala Balai Taman Nasional Komodo Lukita Awang mengatakan, masalah sampah ini merupakan masalah bersama.
Ia juga meminta seluruh pihak memberikan edukasi masalah sampah di Taman Nasional Komodo.
"Kita bersyukur karena semakin banyak yang peduli dengan masalah sampah di Labuan Bajo, khususnya di Taman Nasional Komodo," katanya, dikutip ANTARA.