SURAT DARI RANTAU

Merindukan Ojek dan Kumandang Azan di Jerman

Everdin Pudihang | CNN Indonesia
Minggu, 20 Des 2020 17:44 WIB
Ini tahun ke-enam saya tinggal di Berlin. Keberadaan abang ojek sampai kumandang azan jadi beberapa hal yang paling saya rindukan dari Indonesia.
Pemandangan kota Berlin di Jerman. (iStockphoto/bluejayphoto)
Berlin, CNN Indonesia --

Tak terasa tahun ini adalah tahun ke-enam saya tinggal di Berlin, Jerman. Kedatangan saya di Negara Panser untuk menempuh pendidikan di jurusan teknik industri.

Awalnya keinginan kuliah di luar negeri merupakan cita-cita orang tua saya. Setelah berdiskusi, akhirnya saya memutuskan datang ke Jerman dengan biaya sendiri, mengikuti sekolah penyetaraan, baru mendaftar kuliah.

Namun setelah menjalani, saya bersyukur juga telah "dipaksa" meninggalkan zona nyaman untuk kuliah sekaligus belajar soal kehidupan di luar negeri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam benak saya, kuliah di Jerman berarti bisa liburan keliling Eropa dengan lebih mudah dan murah. Kenyataannya, hari libur kuliah lebih banyak saya isi dengan istirahat atau bekerja sampingan. Menjadi turis di negara tetangga juga hanya bisa sesekali, karena sebagai perantau kita harus pintar mengelola keuangan.

Bali dan nasi goreng adalah kesan pertama teman-teman mancanegara saya mengenai Indonesia.

Ada pula yang sempat menganggap Indonesia adalah negara Islam, padahal faktanya negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia. Tapi kalau anggapan mereka soal Indonesia yang identik dengan macet saya lumayan sepakat.

Saat pertama kali datang, saya berusaha keras memahami bahasa dan sikap orang Jerman yang terkenal dingin.

Saya yang terbiasa dikelilingi orang-orang Indonesia dengan kepribadian ramah dan terbuka sempat merasa bingung untuk beradaptasi dengan teman kuliah.

Namun di balik sikap dinginnya, bukan berarti mereka menaruh benci terhadap seseorang. Mereka hanya memiliki kepribadian yang tertutup, apalagi dengan orang yang baru dikenal.

Sebagai perempuan tak berkulit putih dan berhijab yang tinggal di Eropa saya pernah mengalami perlakukan rasisme dan Islamophobia. Salah satunya ketika lamaran saya untuk bekerja di toko roti ditolak karena saya memakai kerudung.

Panggilan usil juga beberapa kali saya dengar. Manusia-manusia berjiwa rasisme dan Islamophobia nyatanya memang masih ada, bahkan di negara semaju Jerman sekalipun.

Saya kerap mengajak diskusi orang-orang yang demikian. Kalau mereka memilih berargumentasi, langsung saya acuhkan. Daripada membuang tenaga yang membuat hati kesal, lebih baik kita mendoakan mereka.

Penulis 'Surat dari Rantau' Everdin Pudihang saat menjadi anggota Paskibraka di Berlin, Jerman, pada 2019.Penulis 'Surat dari Rantau' Everdin Pudihang saat menjadi anggota Paskibraka di Berlin, Jerman, pada 2019. (Arsip Everdin Pudihang)

Natal dan Tahun Baru yang senyap

Menjelang Natal dan Tahun Baru biasanya kemeriahan terasa di penjuru Jerman. Beragam pasar Natal bisa dikunjungi, begitu juga yang ada di Berlin. Namun tahun ini suasana lebih senyap akibat pandemi virus Corona.

Pesta Natal di kantor dengan sesi pembagian hadiah yang selalu ditunggu juga diadakan secara kecil-kecilan.

Selebihnya semua orang menuruti imbauan Kanselir Angela Merkel untuk tetap berada di rumah demi mencegah penyebaran Covid-19. Kalau ingin mudik, penduduk diminta karantina mandiri selama seminggu dan melakukan tes virus Corona sebelum dan setelah perjalanan.

Ajang Diskon Natal dan Tahun Baru sudah pasti ada. Tapi saya orang yang jarang belanja. Kalau ingin belanja baju misalnya, saya lebih suka ke toko barang bekas (thrift shop). Kalau ingin kongko dengan hemat, saya dan teman-teman biasanya mencari diskon di restoran atau kafe.

Kegiatan penulis 'Surat dari Rantau' Everdin Pudihang selama di Berlin, Jerman.Kegiatan penulis 'Surat dari Rantau' Everdin Pudihang selama di Berlin, Jerman. (Arsip Everdin Pudihang)

Rindu Indonesia

Selain masakan, yang saya rindukan dari Indonesia itu adalah beragam fasilitas dan layanan untuk kemudahan hidup, salah satunya aplikasi ojek dan taksi online. Saya yang lebih senang di rumah rasanya malas sekali untuk keluar jika tak ada hal yang mendesak, apalagi kalau musim dingin.

Pertokoan di Jerman juga tutup setiap hari Minggu. Setiap hari pun tak buka sampai malam. Jadi kalau makanan sudah habis di hari Sabtu dan lupa belanja, ya siap-siap saja berjalan lebih jauh untuk mencari supermarket yang masuk buka. Bersyukurlah bagian kalian yang masih bisa memesan makanan sembari rebahan hehe...

Selain itu yang saya rindukan juga suara azan dari masjid atau musala. Di Berlin ada masjid, namun mereka dilarang mengumandangkan azan ke luar area.

Saya dan WNI lainnya biasanya beribadah di Masjid al-Falah Berlin. Saat ini masjid tersebut masih membutuhkan dana pembangunan. Bagi pembaca CNNIndonesia.com yang ingin berdonasi, silakan buka akun Instagram @iwkzalfalah.

Cara terakhir untuk mengatasi homesick selama tinggal di Jerman ialah menelepon keluarga dan teman di Indonesia. Biasanya saya juga meminta resep makanan yang bisa saya masak di sini.

Tapi intinya merantau itu bukan proses yang mudah, pasti ada duka tapi ada juga sukanya. Mempersiapkan diri dengan keahlian dan bahasa menjadi beberapa "senjatanya". Yang paling penting ialah tetap optimis dan bersyukur sehingga kita hari-hari di perantauan jadi lebih menyenangkan.

---

Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi [email protected]

(ard)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER