Jika ditulis di atas kertas secara rinci, perjalanan hidup saya hingga bisa bermukim di Norwegia rasanya bisa berlembar-lembar.
Singkatnya, saya pertama kali ke luar negeri untuk menempuh pendidikan di Prancis. Selama di sana, saya menjalin hubungan percintaan dengan perempuan asal Norwegia.
Hubungan percintaan yang berjalan mulus membuat saya memutuskan untuk mengikuti program pertukaran pelajar ke Norwegia, sampai akhirnya mengurus surat izin menetap sebagai pelajar di sana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa tahun kemudian saya kembali mengurus surat izin menetap, kali ini sebagai keluarga setelah kami resmi menikah.
Hari-hari saya di Norwegia diisi dengan kesibukan bekerja sebagai web designer dan tentu saja belajar bahasa Norwegia.
Kecuali saat menghadapi empat musim, kehidupan saya di sini rasanya baik-baik saja, bahkan saat pandemi virus Corona melanda. Namun saya rasa banyak industri lain yang merasakan betul dampak buruknya, seperti pariwisata dan hiburan.
Saat awal pandemi, penduduk Norwegia harus berada di rumah selama tiga bulan. Saat ini aktivitas sudah mulai berjalan normal, tentu saja dengan protokol kesehatan yang ketat seperti mengenakan masker dan mendaftar masuk ke tempat umum seperti restoran. Acara besar juga belum boleh digelar.
Jika tidak bertemu dengan istri dan menikahinya, jujur saya tak pernah punya pikiran untuk tinggal di Norwegia. Saat harus pindah, ekspektasi awal saya soal negara itu ialah mengenai cuacanya yang dingin, dan saya tidak salah.
Kawasan tempat saya tinggal, Bergen, bisa dibilang area dengan intensitas hujan yang tinggi di Eropa, sekitar 240 hari per tahun. Sudah pasti suhunya lebih sering dingin dan langitnya lebih sering mendung.
Sebagai orang Indonesia yang terbiasa dari kecil sering diingatkan "jangan main hujan nanti sakit, nanti masuk angin" bisa dibilang proses adaptasi hidup di sini cukup berat.
Istri yang asli Norwegia tentu lebih terbiasa. Ia sering mengajak saya menghirup udara segar dengan jalan-jalan di sekitar rumah saat angin kencang atau rintik hujan. Di Indonesia, suasana tersebut mungkin lebih cocok untuk rebahan atau makan mi instan.
Awalnya saya sempat menolak diajak keluar rumah saat cuaca seperti itu dengan alasan "malas, cuacanya sedang tidak bagus". Tapi istrinya saya menjawab "det finnes ikke dårlig vær, bare dårlige klær!" yang artinya kurang lebih "tidak ada cuaca buruk, yang ada hanya pakaian yang tidak sesuai".
Logika tersebut bisa saya terima, karena nyatanya saya bisa pakai pakaian hangat atau yang antiair sehingga bisa tetap hangat selama berada di luar rumah.
Tinggal di kawasan yang lebih sering mendung membuat saya mengapresiasi hari-hari cerah. Selagi matahari tinggi, saya berusaha untuk lebih sering di luar rumah untuk berolahraga atau berinteraksi dengan alam, misalnya hiking.
Norwegia sedang ramai diberitakan memiliki desain paspor baru. Banyak netizen yang memuji negara ini karena amat mengapresiasi seni. Itu ada benarnya, karena pemerintah di sini memang punya alokasi dana untuk beragam kegiatan seni dan budaya.
Penduduk bisa mengajukan pendanaan untuk proyek seni atau budaya. Apabila pembaca CNNIndonesia.com merupakan pecinta seni, maka tinggal di Norwegia bisa jadi pilihannya.
Jangan lupa untuk belajar bahasa Norwegia sebelum memutuskan pindah ke sini demi kelancaran komunikasi dengan penduduknya.
Jika gerbang pariwisata sudah dibuka kembali, Norwegia juga menarik untuk dijadikan destinasi wisata. Wisata alam sudah pasti wajib dilakukan di sini, seperti berpesiar di sungai atau danau, mendaki gunung, sampai berburu pemandangan Cahaya Utara.
Bergen, Lofoten, Trolltunga, atau Geirangerfjord merupakan destinasi-destinasi wisata alam favorit di Norwegia.
---
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi [email protected]
(ard)