Suku Baduy bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Pemukiman mereka berjarak sekitar 40 km dari Rangkasbitung, pusat kota di Lebak, Banten.
Orang Baduy menyebut diri mereka Urang Kanekes atau Orang Kanekes. Kata 'baduy' merupakan sebutan dari peneliti Belanda, mengacu pada kesamaan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang gemar berpindah-pindah.
Mereka berbicara menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Mereka memang punya hubungan dengan orang Sunda, meski berbeda kepercayaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada tiga lapisan di Suku Baduy, yakni Baduy Dangka, Baduy Luar, dan Baduy Dalam.
Warga Baduy Dangka sudah tinggal di luar tanah adat. Mereka tak lagi terikat oleh aturan atau kepercayaan animisme Sunda Wiwitan yang dijunjung Suku Baduy. Mereka juga sudah mengenyam pendidikan dan paham teknologi.
Lalu warga Baduy Luar merupakan yang tinggal di dalam tanah adat. Mereka masih menjunjung kepercayaan Sunda Wiwitan.
Di tengah kehidupan yang masih tradisional, mereka sudah melek pendidikan dan teknologi. Ciri khas mereka terlihat dari pakaian serba hitam dan ikat kepala biru.
Yang terakhir merupakan warga Baduy Dalam atau Baduy Jero. Mereka bermukim di pelosok tanah adat. Pakaian mereka serba putih.
Kepercayaan Sunda Wiwitan masih kental di Baduy Dalam. Warga di sini juga dianggap memiliki kedekatan dengan leluhur.
Mereka tak mengenyam pendidikan, melek teknologi, bahkan tak beralas kaki, karena hidup apa adanya dirasa sebagai cara untuk tetap dekat dengan Yang Maha Esa.
Eksistensi Baduy Dalam dilindungi oleh Baduy Dangka dan Baduy Luar. Kedua lapisan ini bertugas menyaring "hempasan informasi dari dunia luar" sehingga adat istiadat Suku Baduy tetap terjaga.
Jika warga Baduy Dangka banyak yang membuka usaha jasa pemandu wisata, tempat makan, dan penjual oleh-oleh, maka warga Baduy Luar dan Baduy Dalam masih banyak yang berternak dan bertani.
Persawahan di Desa Kanekes masih terjaga keasriannya, meski sudah semakin banyak pabrik yang dibangun di Rangkasbitung.
Hasil pertanian mereka biasanya dijual di Pasar Kroya, Pasar Cibengkung, dan Ciboleger.
Mengutip tulisan di situs resmi Pemprov Banten, Suku Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat.
Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, warga dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat tertinggi, yaitu pu'un.
Jabatan pu'un berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya.
Jangka waktu jabatan pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Sebagai tanda kepatuhan kepada penguasa, Suku Baduy secara rutin melaksanakan tradisi Seba ke Kesultanan Banten.
Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui Bupati Kabupaten Lebak.