Bakmi Amoy terbilang lebih beruntung dibandingkan Bakmi Sasak yang sebelumnya saya temui di Petak Sembilan.
Saat saya memasuki tempat makan itu, tak ada satu pun orang yang makan di sana. Hanya ada satu orang yang sedang memasak, satu orang pekerja hilir mudik, dan pemilik Bakmi Sasak yaitu Hartono Tjandra.
Bakmi Sasak sudah ada sejak 1972. Hartono adalah generasi ketiga yang memegang usaha ini. Hartono mengaku sudah 15 tahun meneruskan usaha keluarganya ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama pandemi tempat makannya selalu sepi pembeli. Padahal biasanya dua minggu menjelang Imlek, bakminya tak pernah sepi. Saking ramainya ia berani menaikan harga lebih tinggi dari biasanya, dari Rp25 ribu menjadi Rp28 ribu, dan tetap laku.
Kini ia tak berani menaikan harga lantaran sepi pembeli. Ia takut jika harganya dinaikan ia tak akan mendapatkan pembeli sama sekali.
"Kalau menjelang Imlek biasanya lebih rame. Kalau tahun kemaren menjelang Imlek itu biasanya dinaikin. Kalau sekarang ga berani naikin. Takut turun lah orang pasti gamau. Kita ga berani," katanya lesu.
![]() |
Sambil duduk ia bercerita selama pandemi tempat makannya ini terpaksa harus tutup. Saat awal diberlakukan PSBB, Ia mengingat, ada dua atau tiga hari dalam seminggu tak berjualan karena saking sepinya.
Kini, setelah peraturan itu melonggar, ia bisa berjualan seperti biasa. Ia masih bisa mengantongi uang walau tak seperti dulu.
"Dulu bisa Rp2 juta sehari. Kalau sekarang jauh banget. Paling Rp700 ribuan," ucap Hartono.
Setelah masuk ke Toko Sukaria, mencoba Bakmi Amoy dan Sasak, saya masuk ke kedai kopi legendaris yaitu Kopi Es Tak Kie.
Secara historis, Kopi Es Tak Tie sudah ada sejak 1927. Artinya, Kopi Es Tak Kie ada sebelum Indonesia merdeka.
Saat saya masuk, ada lebih dari tujuh meja yang tersedia di sana. Satu meja terdisi dari empat kursi. Tapi, tak semua kursi bisa diduduki. Sejak diberlakukannya PSBB ada delapan kursi yang tepaksa diangkat ke meja.
"Bangku kan tadinya saya buka semua tapi setelah PSBB saya angkatin delapan bangku," ucap pemilik Kopi Tak Kie, Latief Yulus.
Akibatnya, pendapatan dia berkurang hampir setengahnya. Sebelum pandemi, kata Latief, pendapatan per hari bisa di atas Rp1 juta. Kini ia hanya mendapat Rp400 ribu sampai Rp600 ribu.
Ia bercerita ke pada saya mengenai keprihatinan menghadapi pandemi. Katanya, ada banyak orang terdampak. Ia berharap pandemi cepat berlalu agar semua tak lagi kesusahan.
Lihat juga:FOTO: Geliat Pecinan di Kepala Naga |