Jakarta, CNN Indonesia --
Di masa pandemi virus Corona, di mana pembatasan perjalanan menyulitkan perjalanan wisata ke luar negeri, nampaknya penduduk China bisa dibilang beruntung, karena dari negaranya mereka sudah bisa menikmati pemandangan Menara Eiffel sampai Patung Sphinx.
Hingga saat ini tercatat ada ratusan monumen dan bangunan replika ikon dunia yang berdiri di China. Tren ini disebut duplicature atau duplicate architecture [arsitektur duplikat dalam bahasa Indonesia].
Ada banyak tulisan mengenai duplicature yang dilakukan China, salah satunya yang bisa dikutip ialah dari Culture Trip, yang mencatat bahwa duplicature menjadi "tren" di China sejak awal 2000-an.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang ditiru kebanyakan monumen atau bangunan dari benua Eropa dan Amerika. Tapi ada pula ikon China yang juga diduplikasi yakni Tembok Besar China dan Lapangan Tianmen.
Sejauh ini, perkembangan kota bergaya Barat terbesar di China adalah "One City, Nine Towns [Satu Kawasan, Sembilan Kota]" yang berlokasi di Shanghai dan dibuka pada 2001.
Di sini pengunjung akan menemukan beberapa kota, masing-masing dibangun dengan gaya arsitektur dari negara Barat.
Di antaranya ialah Thames Town - kota bergaya London tempo dulu lengkap dengan rumah-rumah bergaya Edwardian, gereja bergaya Gotik, jalan raya yang dinamai Oxford Street lengkap dengan pub bergaya Tudor, toko fish and chips, hingga kotak telepon merah ikon Inggris.
Sekitar US$330 juta dihabiskan selama tiga tahun untuk pembangunan Kota Thames saja. Bahkan tiang lampunya diimpor langsung dari Inggris.
Selain Inggris, di kawasan itu juga dibangun kota yang meniru desain dan arsitektur tempat-tempat di Italia, Spanyol, Kanada, Jerman, Belanda, dan Skandinavia.
[Gambas:Instagram]
Mantan walikota Shanghai, Chen Liangyu, mencetuskan ide untuk membangun proyek tersebut sebagai tanggapan atas kekhawatiran akan lonjakan penduduk.
Solusinya adalah mengubah daerah pinggiran kota menjadi kota satelit, menciptakan ruang hunian yang sangat dibutuhkan sambil memungkinkan arsitek lokal dan asing bereksperimen dengan inisiatif desain baru.
Alih-alih terinspirasi gaya arsitektur, sejak saat itu trennya justru menduplikasi bangunan yang sudah ikonis. Tak tanggung-tanggung, pemandangan satu kota juga ikut disalin.
Tianducheng di Hangzhou yang merupakan Paris versi China merupakan salah satu contohnya.
Dibangun pada 2007, kawasan ini adalah pengembangan real estat mewah dengan replika Menara Eiffel, alun-alun Champs Elysées, hingga bangunan-bangunan besar ala Eropa dan jalan setapak yang lebar.
Turis mancanegara menyebutnya norak, namun penduduk China banyak yang merasa bangga dengan hadirnya monumen dan bangunan tiruan tersebut.
Lahir dan besar dari negara komunis, duplitecture justru dilihat sebagai simbol dari kekuatan baru yang sekarang sedang digenggam China.
Banyak pula "crazy rich" yang bermunculan, dan mereka seakan bisa membeli segalanya dari negaranya.
[Gambas:Instagram]
Bagi para "crazy rich" yang membeli properti duplikat itu, punya properti dekat monumen dan bangunan ikonis sama halnya dengan merek fesyen seperti Gucci atau LV; simbol pencapaian.
Dan bagi para pengembang, membangun kota-kota bertema Barat dan pembangunan perumahan bukan merupakan penghargaan bagi Barat, tetapi hanya karena proprerti itu nyatanya laku dijual.
"Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa itu norak, tapi pada saat yang sama itu dianggap keren bagi penduduk di negara di mana dulu ada kekurangan pilihan, bahwa orang sekarang dapat memilih dan berlibur, bahkan di pulau yang sama, di Venesia atau Paris dan mereka tidak pernah harus meninggalkan China," kata Bianca Bosker, penulis buku 'Architectural Mimicry in Contemporary China', dalam sebuah wawancara yang dikutip dari South China Morning Post.
Meskipun telah banyak terjual, seringkali dengan harga jutaan dolar, saat ini tak sedikit kota duplikat yang dijuluki "kota hantu" karena sepi penghuni.
Cibiran mengenai kreatifitas mungkin tak berlaku pada duplicature, karena nyatanya turis lokal masih banyak yang berkunjung ke sana.
Jika Anda seorang penduduk China setiap hari tinggal di tengah keruwetan kota, bisa jalan-jalan di kota senyaman Paris atau London yang bisa ditempuh dengan mobil atau kereta tentu saja menyenangkan bukan?