Bahkan sebelum pandemi, "arena video game kecil dan independen di Jepang sudah banyak yang tutup", Morihiro Shigihara, seorang jurnalis dan penulis yang pernah mengelola sebuah arena, mengatakan kepada AFP.
Jumlah arena video game di Jepang telah turun dari 22 ribu pada tahun 1989 - sekitar satu dekade setelah rilisnya video game 'Space Invaders' - menjadi hanya 4.000 pada tahun 2019, menurut polisi, yang mengeluarkan izin operasional arena.
Dan sejak akhir tahun lalu, sejumlah arena video game terkenal di Tokyo telah tutup untuk selamanya, termasuk di distrik hiburan Akihabara dan Shinjuku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Fakta bahwa arena besar pun akan gulung tikar satu demi satu menunjukkan parahnya situasi," kata Shigihara.
Raksasa video game Sega pada November menjual 85 persen bisnis arenanya, meski logonya masih menghiasi pusat game nasional yang kini dijalankan oleh perusahaan lain.
Dengan konsumen yang cenderung memiliki konsol pribadi, sekaligus menghadapi persaingan dari game telepon genggam, pemilik arena video game harus beradaptasi untuk bertahan hidup.
Lebih dari setengah keuntungan arena video game biasanya berasal dari mesin capit (claw-crane) yang menguntungkan, menurut Asosiasi Industri Hiburan Jepang.
Video game hanya menyumbang 13 persen dari keuntungan arena pada 2017, turun dari sepertiga pada 1993, katanya.
Meskipun telah menjadi barang langka di banyak negara lain, arena video game jadul di perkotaan Jepang seakan menjadi ruang keluarga kecil bagi komunitas.
"Salah satu kesenangan datang ke sebuah arena video game adalah bisa memulai percakapan, untuk mengetahui bagaimana pemikiran orang lain," kata pemain reguler Mikado Atsushi Nakanishi (43) kepada AFP.
Hiroshi Suzuki (28) mengatakan bahwa sejak arena yang sering ia datangi tutup, ia kehilangan kontak dengan orang-orang di sana.
"Menyedihkan. Tempat yang bersahabat dan untuk bersosialisasi menghilang," kata Suzuki.
Manajer Mikado Fukumachi mengatakan ahwa arenanya akan bertahan.
Dia merencanakan kampanye donasi untuk tetap bertahan, setelah mengumpulkan sekitar US$350 ribu pada tahun lalu.
"Pemerintah tidak melakukan apa pun untuk membantu kami keluar dari situasi tanpa harapan ini," kata Fukamachi.
Penutupan hanya akan mengkhianati pelanggan setia yang menunjukkan "cinta" mereka untuk arena dengan donasi, tambahnya.
Fukamachi juga memikirkan strategi bertahan hidup pasca pandemi, karena dia yakin tren kerja jarak jauh dan tinggal di rumah akan terus berlangsung.
Setiap malam, Mikado menyiarkan pertandingan video game secara langsung ke 80 ribu pengikut YouTube, untuk menjangkau gamer yang terjebak di rumah dan mendapatkan uang dari iklan.
Arena lainnya, "yang menjalankan bisnis konvensional, akan menderita," dia memperingatkan.
(afp/ard)