Jakarta, CNN Indonesia --
Suasana Petak Sembilan di Glodok, Jakarta Barat, menjelang Imlek selalu ramai. Namun kondisi tersebut hanya terjadi sebelum pandemi virus Corona melanda Indonesia dan dunia.
Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan mengunjungi Petak Sembilan, kali ini berniat berbincang dengan para pedagang dan pengunjung yang sedang melakukan persiapan perayaan Tahun Baru China di tengah pandemi.
Pasar yang berada di daerah Pecinan Pancoran Glodok ini tidak besar tapi isinya terbilang lengkap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di pintu masuk pengunjung akan disambut dengan deretan lampion dan pernak-pernik Imlek bernuansa merah. Kalau niatnya ingin wisata kuliner, Petak Sembilan merupakan destinasi yang tepat untuk didatangi.
Begitu masuk ada berbagai lapak dan restoran yang menyediakan beragam menu kuliner khas China, seperti tripang, bakmi, bakso, kue keranjang, dan kue khas Tionghoa yang sudah langka, yaitu mipan.
Bakmi di Petak Sembilan memang terkenal enak. Setidaknya ada dua bakmi yang bisa dicoba yaitu Bakmi Sasak dan Bakmi Bulan. Jika menyeberang ke Gang Gloria, kita akan menemukan bakmi yang tak kalah enak yaitu Bakmi Amoy.
Masih di Gang Gloria, lurus terus dari tempat bakmi Amoy, ada Kopi Es Tak Kie. Bagi pecinta kopi, mungkin sudah tak asing lagi. Ada dua jenis kopi yang paling banyak dibeli, yaitu es kopi hitam dan es kopi susu.
"Kalau Sabtu atau Minggu jangan harap bisa berdiri," kata Andri Kurniawan, pemilik Toko Sukaria di Petak Sembilan yang saya temui. Tapi, itu adalah gambaran Petak Sembilan sebelum pandemi. Kini pecinan terbesar di Indonesia itu terlihat lengang.
Lilin-lilin yang berdiri membisu
Saya masuk ke toko milik Andri yang menjual peralatan ibadah. Tokonya cukup luas, banyak barang-barang bernuansa merah digantung, ada pula yang disusun rapi di rak.
Andri berdiri di depan meja kasir, memerhatikan para pembeli yang hari itu jumlahnya bisa dihitung jari. Padahal perayaan Imlek sudah di depan mata.
Toko Sukaria didirikan oleh ayahnya pada 1946. Kemudian pada 1992 operasional toko tersebut dilanjutkan oleh dirinya sampai sekarang.
Dari sejak berdiri sampai 2018 toko miliknya tak pernah sepi pembeli, apalagi menjelang perayaan Imlek. Cuan yang ia dapat bisa lebih dari Rp100 juta per hari.
Tapi sejak 2019 pendapatannya mulai menurun. Puncaknya pada tahun lalu dan berlanjut pada tahun ini ketika pandemi menghantam.
Andri terpaksa mengelus dada akibat merosotnya omset. Ia sempat menghitung pendapatannya turun 50 sampai 70 persen.
"Ada 70 persen saya rasa. Omset saya separo hilang. Kalau Sabtu dan Minggu itu kan bisa sampe Rp100 jutaan sebelum pandemi. Kalau sekarang hanya Rp40 juta sampai Rp50 juta," keluhnya.
 Suasana lengang di kelenteng yang berada di Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat. (CNNIndonesia/Safir Makki) |
Saat PSBB awal, tokonya hanya diperbolehkan membuka pintu selebar satu meter. Ia hanya bisa duduk di depan menunggu pelanggan. Mendapatkan lima pembeli saja sudah membuatnya bersyukur.
Selama pandemi pengunjung Petak Sembilan sendiri, menurut Andri, cenderung sepi, terutama setelah diberlakukannya Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB). Orang-orang yang datang ke Petak Sembilan untuk wisata sampai ibadah hampir tidak ada.
"Pas PSBB itu udah kaya mau pingsan kita. Cuma boleh buka satu meter pintunya. Barang ga boleh dipajang. Kita duduk di depan ngelayanin. Omset bisa Rp1 jutaan aja saya udah bersyukur," jelas Andri sambil memasang raut wajah sedih.
Kini, kesedihan dia bertambah lantaran perayaan Imlek tak bisa digelar di vihara demi mencegah kerumunan penyebaran virus Corona. Tentu saja tokonya bakalan ikut sepi.
Salah satu barang yang menyumbang pendapatan besar untuknya adalah lilin 1.000 kati. Sebab ketika Imlek, lilin ini wajib disediakan di vihara.
Toko milik Andri menjual beberapa jenis lilin dengan ukuran yang berbeda. Ia menjelaskan ada yang berukuraan 20 kati, 100 kati, 500 kati dan 1.000 kati. Lilin 1.000 kati biasanya dibandrol dengan harga Rp17 juta sampai Rp18 juta per pasang.
Kini lilin-lilin besar itu cuma bisa menjadi saksi bisu betapa toko Andri dan Petak Sembilan terhempas aturan pandemi.
Akibat pandemi, perayaan Imlek dirayakan di rumah masing-masing. Lilin yang paling banyak dibeli pun hanya lilin 20 kati.
"Paling yang kecil-kecil yang 20 kati. Itu untuk rumahan karena vihara udah ga pake. Jadi yang laku lilin kecil aja untuk sembahyang di rumah," jelas Andri.
 Lilin-lilin besar yang digunakan untuk ibadah di kelenteng. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Kerbau Emas yang terancam eliminasi
Dampak pandemi tidak hanya dirasakan oleh Andiri tapi juga oleh Syahroni Rianto, pedagang pernak-pernik Imlek di Petak Sembilan.
Syahroni dan temannya Herman menjual lampion, amplop angpao, tempelan dinding, pernak-pernik shio, dan dekorasi khas Tahun Baru China lainnya.
Tak seperti Andri, mereka merupakan pedagang musiman. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka membuka lapak sejak pertengahan Januari hingga Imlek usai.
Saat ditemui, Syahroni sedang duduk di kursi berwarna hijau menunggu pelanggan. Ia bercerita, hasil dari melapaknya tahun ini turun 80 persen dari tahun sebelumnya.
Sebelum pandemi ia bisa mengantongi Rp5 juta per hari. Kini, pendapatannya paling tinggi hanya Rp3 juta. Itu pun tak sering.
"Kalau sehari-hari itu paling Rp1 juta pendapatan kotor. Paling tinggi kalau langganan datang sekarang Rp3 juta," ucap Syahroni.
Shio tahun ini dilambangkan dengan Kerbau Logam. Pergantian shio sendiri terjadi 12 tahun sekali. Mengingat sepinya pembeli, kecemasan Syahroni semakin besar. Sebab, jika tak habis, ia terpaksa harus membuang pernak-pernik shio yang dijualnya.
"Kalau yang ada gambar shio-nya pasti dibuang kalau sisa. Soalnya tahun depan beda lagi," jelas Syahroni.
 Pedagang pernak-pernik Imlek yang tahun ini semakin sepi pembeli. (CNNIndonesia/Safir Makki) |
Bakmi tanpa penikmat
Bukan cuma toko peralatan sembahyang atau pernak-pernik Imlek yang terkena imbas pandemi. Restoran legendaris di Petak Sembilan, seperti Bakmi Amoy, juga turut nelangsa.
Dari Pasar Petak Sembilan saya menyeberang masuk ke sebuah gang yang terkenal dengan kulinernya, yaitu Gang Gloria. Gang ini dari ujung ke ujung menjual makanan dan minuman.
Tak jauh dari pintu masuk, saya menemukan Bakmi Amoy. Bakmi ini sudah banyak didatangi oleh selebriti sampai influencer.
Bakmi Amoy dikenal karena rasanya yang enak. Rasa kaldunya yang gurih menyerap ke dalam bakminya. Kata Oca, salah satu pelayan bakmi Amoy, rasa gurih dari kaldu itu bukan berasal dari micin melainkan asli dari kaldu jamur.
Dengan rasanya yang enak, Bakmi Amoy ini dijual dengan harga Rp25 ribu per porsi. Selain bakmi, di sini juga dijual bakso goreng yang tak kalah banyak penikmatnya.
Selama satu jam saya di sana, terlihat ada sekitar enam orang yang makan di tempat. Itu belum termasuk yang beli untuk dibungkus.
Oca bercerita, biasanya ada ratusan orang yang membeli Bakmi Amoy setiap harinya. Tapi setelah pandemi, Bakmi Amoy tak seramai biasanya.
"Ada penurunan drastis banget namanya lagi pandemi gini mau ke luar juga mungkin mikir-mikir banget," kata Oca.
 Bakmi Amoy di Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat. (CNNIndonesia/ Safir Makki |
Bakmi Amoy terbilang lebih beruntung dibandingkan Bakmi Sasak yang sebelumnya saya temui di Petak Sembilan.
Saat saya memasuki tempat makan itu, tak ada satu pun orang yang makan di sana. Hanya ada satu orang yang sedang memasak, satu orang pekerja hilir mudik, dan pemilik Bakmi Sasak yaitu Hartono Tjandra.
Bakmi Sasak sudah ada sejak 1972. Hartono adalah generasi ketiga yang memegang usaha ini. Hartono mengaku sudah 15 tahun meneruskan usaha keluarganya ini.
Selama pandemi tempat makannya selalu sepi pembeli. Padahal biasanya dua minggu menjelang Imlek, bakminya tak pernah sepi. Saking ramainya ia berani menaikan harga lebih tinggi dari biasanya, dari Rp25 ribu menjadi Rp28 ribu, dan tetap laku.
Kini ia tak berani menaikan harga lantaran sepi pembeli. Ia takut jika harganya dinaikan ia tak akan mendapatkan pembeli sama sekali.
"Kalau menjelang Imlek biasanya lebih rame. Kalau tahun kemaren menjelang Imlek itu biasanya dinaikin. Kalau sekarang ga berani naikin. Takut turun lah orang pasti gamau. Kita ga berani," katanya lesu.
 Pedagang bakmi di Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat, mengantarkan pesanan ke pembeli. (CNNIndonesia/Safir Makki |
Sambil duduk ia bercerita selama pandemi tempat makannya ini terpaksa harus tutup. Saat awal diberlakukan PSBB, Ia mengingat, ada dua atau tiga hari dalam seminggu tak berjualan karena saking sepinya.
Kini, setelah peraturan itu melonggar, ia bisa berjualan seperti biasa. Ia masih bisa mengantongi uang walau tak seperti dulu.
"Dulu bisa Rp2 juta sehari. Kalau sekarang jauh banget. Paling Rp700 ribuan," ucap Hartono.
Setelah masuk ke Toko Sukaria, mencoba Bakmi Amoy dan Sasak, saya masuk ke kedai kopi legendaris yaitu Kopi Es Tak Kie.
Secara historis, Kopi Es Tak Tie sudah ada sejak 1927. Artinya, Kopi Es Tak Kie ada sebelum Indonesia merdeka.
Saat saya masuk, ada lebih dari tujuh meja yang tersedia di sana. Satu meja terdisi dari empat kursi. Tapi, tak semua kursi bisa diduduki. Sejak diberlakukannya PSBB ada delapan kursi yang tepaksa diangkat ke meja.
"Bangku kan tadinya saya buka semua tapi setelah PSBB saya angkatin delapan bangku," ucap pemilik Kopi Tak Kie, Latief Yulus.
Akibatnya, pendapatan dia berkurang hampir setengahnya. Sebelum pandemi, kata Latief, pendapatan per hari bisa di atas Rp1 juta. Kini ia hanya mendapat Rp400 ribu sampai Rp600 ribu.
Ia bercerita ke pada saya mengenai keprihatinan menghadapi pandemi. Katanya, ada banyak orang terdampak. Ia berharap pandemi cepat berlalu agar semua tak lagi kesusahan.