Jakarta, CNN Indonesia --
Malam hari biasanya merupakan waktu tersibuk di Mikado, sebuah arena video game jadul di Tokyo, Jepang, tetapi suasana lebih sepi, sehingga tak ada lagi keriuhan saat terjadinya pertarungan 'Street Fighter'.
Sepinya arena video game merupakan salah satu dampak pandemi virus Corona di Jepang. Jam operasional tempat yang populer disebut dingdong di Indonesia itu juga di batasi.
"Biasanya sekarang sedang penuh pengunjung," keluh Yasushi Fukamachi, seorang manajer di Mikado, arena video game yang dilengkapi 250 mesin permainan jadul, menarik kedatangan orang-orang yang biasanya begadang hingga dini hari, baik pelajar atau pekerja kantoran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini mendekati jam 8 malam hanya ada beberapa gamer yang mengenakan masker sedang bertarung, menghabiskan menit-menit terakhir kesenangan mereka sebelum diminta pulang karena tempat harus tutup.
Sejak awal Januari, Tokyo dan kawasan lain Jepang berada dalam keadaan darurat untuk menurunkan jumlah kasus virus Corona yang melonjak.
Pemilik bisnis diminta untuk tutup lebih awal, dengan kemungkinan denda bagi mereka yang melanggarnya.
Tetapi tidak seperti bar dan restoran, arena video game seperti milik Mikado tidak menerima uang tunai dari pemerintah sebagai kompensasi atas hilangnya pendapatan.
Beberapa arena video game bangkrut setelah keadaan darurat pertama Jepang tahun lalu, yang membuat sebagian besar dari mereka ditutup sepenuhnya selama dua bulan, dan mereka yang selamat sekarang berjuang mati-matian.
"Jumlah pelanggan yang kembali datang sangat sedikit," setelah keadaan darurat virus pertama, kata Fukamachi kepada AFP, tetapi pada November tempatnya kembali ramai didatangi sekitar 90 persen pelanggan.
Pada akhir Desember, ketika kasus Covid-19 melonjak di ibu kota dan di tempat lain, jumlah pengunjungnya kembali turun drastis turun menjadi sekitar 50 persen.
Pelanggan menjauh meskipun protokol kesehatan diterapkan, mulai dari penghalang plastik di antara mesin permainan, hingga desinfeksi harian koin 100 yen yang digunakan untuk memulai permainan, tambahnya.
Space Invaders
Bahkan sebelum pandemi, "arena video game kecil dan independen di Jepang sudah banyak yang tutup", Morihiro Shigihara, seorang jurnalis dan penulis yang pernah mengelola sebuah arena, mengatakan kepada AFP.
Jumlah arena video game di Jepang telah turun dari 22 ribu pada tahun 1989 - sekitar satu dekade setelah rilisnya video game 'Space Invaders' - menjadi hanya 4.000 pada tahun 2019, menurut polisi, yang mengeluarkan izin operasional arena.
Dan sejak akhir tahun lalu, sejumlah arena video game terkenal di Tokyo telah tutup untuk selamanya, termasuk di distrik hiburan Akihabara dan Shinjuku.
"Fakta bahwa arena besar pun akan gulung tikar satu demi satu menunjukkan parahnya situasi," kata Shigihara.
Raksasa video game Sega pada November menjual 85 persen bisnis arenanya, meski logonya masih menghiasi pusat game nasional yang kini dijalankan oleh perusahaan lain.
Dengan konsumen yang cenderung memiliki konsol pribadi, sekaligus menghadapi persaingan dari game telepon genggam, pemilik arena video game harus beradaptasi untuk bertahan hidup.
Lebih dari setengah keuntungan arena video game biasanya berasal dari mesin capit (claw-crane) yang menguntungkan, menurut Asosiasi Industri Hiburan Jepang.
Video game hanya menyumbang 13 persen dari keuntungan arena pada 2017, turun dari sepertiga pada 1993, katanya.
Ruang tamu komunitas
Meskipun telah menjadi barang langka di banyak negara lain, arena video game jadul di perkotaan Jepang seakan menjadi ruang keluarga kecil bagi komunitas.
"Salah satu kesenangan datang ke sebuah arena video game adalah bisa memulai percakapan, untuk mengetahui bagaimana pemikiran orang lain," kata pemain reguler Mikado Atsushi Nakanishi (43) kepada AFP.
Hiroshi Suzuki (28) mengatakan bahwa sejak arena yang sering ia datangi tutup, ia kehilangan kontak dengan orang-orang di sana.
"Menyedihkan. Tempat yang bersahabat dan untuk bersosialisasi menghilang," kata Suzuki.
Manajer Mikado Fukumachi mengatakan ahwa arenanya akan bertahan.
Dia merencanakan kampanye donasi untuk tetap bertahan, setelah mengumpulkan sekitar US$350 ribu pada tahun lalu.
"Pemerintah tidak melakukan apa pun untuk membantu kami keluar dari situasi tanpa harapan ini," kata Fukamachi.
Penutupan hanya akan mengkhianati pelanggan setia yang menunjukkan "cinta" mereka untuk arena dengan donasi, tambahnya.
Fukamachi juga memikirkan strategi bertahan hidup pasca pandemi, karena dia yakin tren kerja jarak jauh dan tinggal di rumah akan terus berlangsung.
Setiap malam, Mikado menyiarkan pertandingan video game secara langsung ke 80 ribu pengikut YouTube, untuk menjangkau gamer yang terjebak di rumah dan mendapatkan uang dari iklan.
Arena lainnya, "yang menjalankan bisnis konvensional, akan menderita," dia memperingatkan.