Setelah diketahui sosok pemenang sayembara tersebut, sontak banyak orang yang kaget.
Pasalnya, Friedrich adalah seorang Protestan dan akan membuat rumah ibadah untuk orang Islam. Tak sedikit yang meragukan dirinya.
Bahkan, Panogu menyebut pada 1962 rancangan yang dibuat ayahnya mendadak hilang. Akhirnya Friedrich harus membuat ulang dan sama persis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kata Panogu, banyak juga tokoh agama dan ulama yang meyakinkan masyarakat bahwa Masjid Istiqlal akan menjadi masjid yang nyaman dan membanggakan umat Islam Indonesia, meski arsiteknya seorang Protestan.
"Waktu itu ayah sampai dipeluk oleh Buya Hamka," kenang Panogu.
Selain itu, rancangan milik Friedrich telah mendapat pujian dari pangeran Arab. Lama kelamaan, semakin banyak orang yang menerima karyanya.
Tapi yang paling meyakinkan dari semuanya adalah kesungguhan Friedrich dalam membuat rancangan.
Sebelum merancang, ia melakukan riset dan berdiskusi dengan berbagai ulama. Sehingga, ia bisa menjawab apa kebutuhan umat Islam.
Bukan hanya itu, ia juga tak ingin melupakan konteks ke-Indonesia-an dalam Masjid Istiqlal.
"Dalam beberapa kali kesempatan pidato, ayah mengatakan kalau ini bukan hanya soal membangun masjid. Ini juga soal membangun masjid yang sesuai dengan karakter Indonesia," ujar Panogu menirukan ayahnya.
Ada banyak contoh bangunan peribadatan yang megah dan modern di negara lain. Namun, Friedrich menolak untuk sekadar ikut-ikutan.
Panogu mengingat ayahnya saat itu berpandangan bahwa kalau beragama Kristen jangan jadi orang Yahudi, kalau beragama Hindu jangan jadi orang India, kalau beragama Islam jangan jadi orang Arab. Sehingga ia membuat Istiqlal dengan karakter Indonesia.
Pandangan itu sebenarnya ia dapat dari Presiden Soekarno juga. Tapi, terlepas dari itu, Friedrich benar-benar menerapkannya ke dalam rancangan masjid Istiqlal.
"Eksterior dan interior yang dibuat ramah iklim tropis juga sekaligus merespon iklim Indonesia, sehingga seperti tidak terlalu panas saat berada di dalam Istiqlal," ujar Panogu.
"Tidak cuma lantai yang perlu atap, dinding juga perlu. Ada overhang, jadi sinar matahari tidak langsung masuk ke ruangan. Tapi mempersilahkan angin berhembus ke dalam Istiqlal. Sistem tropisnya ada ventilasi, menghindari hujan," jelas dia.
![]() |
Pembangunan Istiqlal kemudian selesai pada 1978. Masjid ini kemudian mendapat predikat sebagai menjadi masjid terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 200 ribu orang.
Enam tahun kemudian, yaitu tahun 1984, Friedrich tutup usia. Ia dilarikan ke di RSPAD Gatot Subroto karena mengalami komplikasi kesehatan.
Sepeninggal Friedrich, Masjid Istiqlal masih berdiri dengan gagah dan menawan.
Arsitekturnya terbukti tak lekang oleh zaman, seakan menua dengan sejarahnya yang membanggakan sekaligus mempersatukan bangsa.
Saat diwawancarai terpisah, Wakil Kepala Bidang Peribadatan Masjid Istiqlal, Abu Hurairah bahkan menjuluki Friedrich sebagai 'Bintang Istiqlal'.
Kedekatan jarak antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta juga sering mencari cerita kerukunan tersendiri setiap hari raya.
Saat Lebaran, biasanya Gereja Katedral Jakarta membuka gerbangnya untuk tempat parkir pengunjung masjid, begitu sebaliknya saat Natal tiba.
Berikut daftar lengkap karya arsitektur Friedrich Silaban yang membanggakan: