Lisboa, CNN Indonesia --
Bersepeda sudah lama menjadi hobi saya. Tapi saya tak bisa membayangkan sebelumnya kalau bisa bersepeda keliling dunia bersama suami.
Suami saya, Luís Simões, ialah seniman sketsa. Sementara saya seorang lulusan jurusan Ilmu Keolahragaan yang juga menggemari fotografi. Kami berdua sama-sama hobi bersepeda.
Luís memulai proyek World Sketching Tour (WST) sejak tahun 2012. Sedangkan saya baru bergabung dengannya pada tahun 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
WST sudah menyambangi Eropa, Asia, Oseania, Amerika Selatan, dan Afrika. Dalam perjalanan yang memungkinkan, Luís biasanya membuka kelas sketsa. Hasil dari kegiatan ini juga pernah publikasikan dalam pameran dan buku.
Bersepeda menjadi pilihan karena kami sepakat kalau dengan menggowes makan perjalanan bakal lebih terkenang. Sementara kalau naik kendaraan bermotor sepertinya perjalanan hampir tidak terasa.
Lagipula dengan naik sepeda kami bisa sekalian olahraga. Untuk berinteraksi dengan orang lokal pun lebih mudah, karena biasanya mereka mengapresiasi usaha kami gowes dengan banyak barang. Orang lokal dari kalangan mana pun tidak segan menyapa kami.
Kami melakukan apa yang kami senangi, yaitu mengunjungi tempat-tempat baru untuk Luís menggambar, dan memotret untuk saya.
Ada banyak persiapan bersepeda jarak jauh. Yang pasti, kami cek sepeda dan peralatan-peralatan yang akan kami perlukan sesuai cuaca atau kondisi negara yang kami lewati.
Biasanya kami memilih jalan-jalan pedesaan dan memilih menghindari jalan utama atau kota besar, jadi kalaupun ada kerusakan di sepeda kami, kami bisa perbaiki sendiri.
Sebagai perempuan biasanya saya memperhatikan siklus menstruasi. Kalau sudah mau datang bulan, saya komunikasikan ke suami agar saya bisa beristirahat 1-2 hari di hari-hari pertama menstruasi.
Rute ekstrem dan terindah
Tantangan bersepeda tentu saja berbeda dengan naik motor atau mobil karavan. Rute perjalanan yang dilewati sudah pasti lebih ekstrem. Tiga rute ekstrem menurut kami ialah; Pegunungan Andes di Peru, Bolivia dari La Paz sampai perbatasan Chile, dan Namibia.
Di Peru, kami berminggu-minggu naik-turun gunung untuk tetap bersepeda di atas ketinggian 3.000-5.000 mdpl. Mulai dari tipisnya oksigen, sampai hujan es sering terjadi setelah jam 3 sore. Tapi Peru adalah negara paling favorit kami untuk bersepeda. Rasanya tidak kapok kalau ada sponsor yang mengajak kami untuk ke sana lagi.
Oh iya, Luís sempat jatuh di Taman Nasional Huascaran. Tendon pundak kanannya robek yang mengakibatkan kami harus berhenti sepeda selama tiga bulan untuk masa penyembuhannya. Selain itu alhamdulillah tidak ada kejadian yang parah.
Lalu Bolivia dari La Paz sampai perbatasan Chile. Secara keseluruhan, jalur yang kami lewati di Bolivia tidak mudah. Kami memilih menjauhi kota-kota besar dan melewati pedesaan yang 90 persen jalanannya berpasir dan bergelombang. Kami lewat saat musim panas tiba.
Jarang ada orang di desa-desa yang kami lewati. Karena itu pula sulit untuk kami mencari makan atau bahkan beli bahan makanan untuk bekal di perjalanan. Belum lagi karena Bolivia ada di dataran tinggi, terik matahari sangat terasa menyengat di kulit. Tapi kalau kami berteduh, udara dingin yang malah terasa. Saya sempat mengalami momen ujung jari-jari tangan yang pecah-pecah karena suhu ekstrem ini.
Kemudian Namibia. Di Namibia kami juga 90 persen gowes di jalanan berpasir yang bergelombang. Waktu itu kami bersepeda di bulan-bulan yang paling panas di negara itu, Oktober-November. Parahnya lagi, sudah hampir 2 tahun tidak ada hujan di sana.
Mulai dari jam 11 siang, temperatur udara bisa lebih dari 45 derajat Celcius. Dan temperatur paling panas yang pernah kami rasakan di sana adalah sampai 55 derajat Celcius! Kalau mengingat lagi rasanya seperti gowes di dalam oven. Panas!
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
[Gambas:Instagram]
Tapi banyak juga tempat indah yang kami lewati. Tiga tempat terindah menurut Luís ialah; Peru, Gunung El Chalten di Argentina, dan pemukiman Suku asli Namibia dan Angola.
Banyak sekali tempat yang indah di Peru, terutama di pegunungan Andes. Satu lagi yang spesial di sini adalah Machu Picchu. Karena tidak ada jalur buat pesepeda, kami harus meninggalkan sepeda di Cusco dan naik angkutan umum untuk mengunjungi tempat ini.
Selama Luís menggambar dan saya berfoto di Machu Picchu, kami merasakan semua cuaca dalam satu tempat: kabut, panas, dingin, dan hujan.
Tempat terindah kedua menurut Luís ialah Gunung El Chalten di Argentina. Untuk ke gunung ini, kami harus meninggalkan sepeda dan hiking seharian untuk keesokan paginya pergi ke puncak demi menikmati matahari terbit.
Lalu pemukiman Suku asli Namibia dan Angola: Himba dan Muakahona. Orang-orang dari suku asli biasanya sudah terbiasa dengan foto. Malah kebanyakan capek dengan turis yang seenaknya jeprat-jepret. Tapi lain hal dengan sketsa, mereka tidak mengerti apa yang Luís lakukan. Lalu kami menjelaskan kepada mereka mengenai seni gambar.
Indah itu kadang bukan soal tempat, bisa jadi soal apa yang kami rasa atau kesan saat itu.
Bertengkar dan jatuh sakit
Sama seperti pasangan pada umumnya, tentu saja kami pernah bertengkar. Hanya saja pertengkaran kami biasanya terjadi di tengah-tengah gunung, di rumah orang yang lagi kami tumpangi untuk istirahat, atau pernah juga tengah-tengah ladang garam.
Pernah ada kejadian lucu. Awalnya kami bertemu sepasang pesepeda asal Argentina dan seorang pesepeda asal Perancis di El Bordo, salah satu kota kecil di Kolombia. Karena arah kami sama dan lingkungan yang akan lewati termasuk berbahaya, kami berpikir kalau gowes berbarengan akan lebih aman. Jadilah kami berlima gowes ke selatan menuju perbatasan Kolombia-Ekuador.
Waktu itu adalah kali pertama untuk saya dan Luis bersepeda dengan pesepeda lain. Hari pertama kami gowes sejauh 75km dengan tanjakan 1.500m. Meskipun berat, hari itu seru banget! Peluh terasa ringan karena kami saling memberi dukungan satu sama lain.
Malam harinya kami sewa kamar sederhana (kira-kira Rp50 ribu per kamar) yang biasanya untuk para supir truk menginap. Setelah makan malam, kami langsung ke kamar masing-masing untuk beristirahat, karena keesokan harinya kami masih harus bangun pagi-pagi untuk melanjutkan perjalanan yang panjang.
Tengah malam, tiba-tiba saya dengar suara musik yang sangat kencang, bahkan jendela kamar saya sampai bergetar. Saya menunggu 3 menit.., 5 menit.., tapi musik belum juga berhenti. Saya yang kesal tidak bisa tidur langsung keluar mencari asal mula musik itu. Saya heran kenapa dari pihak pengelola tidak menegur tamu yang menjadi biang keroknya.
Ketika sampai di depan pintu tempat suara musik terdengar, saya langsung menggedor pintunya.
"Senor.., puedes bajar la musica por favor?" Saya minta suara musiknya dikecilkan.
Bukannya dikecilkan, dia cuman bilang, 'Ratico, ratico!' yang artinya 'sebentar, sebenar!' suara desahan terdengar bercampur dengan musik kencang itu.
Saya semakin kesal saat mendengarnya. Saya gedor pintunya berkali-kali jawabannya tetap saja sama.
Kemudian pegawai penginapan datang untuk memperingati tamu tersebut agar mematikan musiknya, tapi tetap saja tidak digubris. Si pegawai itu pergi sebentar lalu tidak lama kembali lagi sambil membawa remote. "Buat apa remote?" pikir saya.
Rupanya ia mematikan musik itu dari lubang di atas pintu. Musiknya sudah mati, eh tersisa suara desahan yang keras terdengar di seluruh penginapan. Canggung dan tidak bisa berbicara apa-apa ke pegawai penginapan, setelah bilang 'gracias' saya langsung lari kembali ke kamar.
Pagi harinya waktu sarapan bersama teman-teman saya, mereka menggoda saya pake kata 'ratico.., ratico!' berkali-kali. Ternyata mereka dengar semua malam hari itu.
Sampai sekarang, kalau saya dengar ada yang bilang 'ratico', saya langsung menahan ketawa karena kejadian malam itu hehehe....
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
[Gambas:Instagram]
Selain kisah desahan, kami juga punya pengalaman yang mengesankan sekaligus mengharukan. Selama bersepeda di negeri orang, sering sekali kami ditolong orang yang tidak dikenal. Salah satunya ya waktu Luīs jatuh dari sepeda di Peru.
Kami meminta tolong teman dari Warmshower (juga di Peru) untuk dicarikan rumah tumpangan selama beberapa hari sampai bisa dapat tempat sewa yang murah selama proses penyembuhan Luīs.
Akhirnya temannya teman punya mantan calon mertua yang mau membantu kami. Syaratnya kami harus ketemu beliau di tempat yang telah ditentukan. Setelah berbincang selama 10 menit, beliau bilang boleh datang ke rumahnya.
Singkat cerita, begitu kami sampai rumahnya, kami langsung diberi kunci dan beliau bilang akan pergi keluar kota selama beberapa hari. Kepercayaan yang beliau tunjukkan ke kami itu begitu besar sehingga kami sangat terharu.
Kami tinggal di sana selama proses penyembuhan Luis. Sampai sekarang kadang-kadang saya masih ngobrol dengan beliau.
Gowes selama pandemi
Sepanjang tahun 2020 kegiatan kami terhenti akibat pandemi virus Corona yang membuat banyak negara melakukan pembatasan perjalanan sampai penguncian wilayah.
Awal pandemi kami sedang gowes di Angola. Hingga kami memutuskan kembali ke Portugal karena kami tidak ingin nekat menyeberang wilayah di tengah kondisi yang tidak pasti, baik dari soal aturan sampai sebaran penyakitnya. Jadi sejak balik ke Portugal, kami belum gowes ke mana-mana.
Namun tak pernah sekalipun kami ingin menyudahi WST. WST bukan proyek yang kemarin baru lahir, tapi memang sudah menjadi gaya hidup bagi Luīs (dari 2012). Mungkin untuk sekarang kami menunda dulu untuk melakukan eksplorasi ke Afrika.
Tahun ini kami cuma gowes di sekitar Portugal. Tepatnya mulai pertengahan bulan Juni besok di mulai dari ujung tenggara Portugal, gowes ke utara lalu ke pesisir pantai, dan turun lagi ke selatan sampai kembali ke titik awal. Rencananya kami akan melakukan ini 3-4 bulan lamanya. Kira-kira 3.000km totalnya.
Tentu saja kami menyambut baik jika ada sponsor yang tertarik dengan konsep gowes kami dan mengajak bekerja sama, sehingga kami bisa membagikan pengalaman gowes yang berharga ini ke lebih banyak orang.
Semoga kita semua diberi kekuatan melewati pandemi virus Corona ini sehingga suatu hari nanti saat sedang gowes saya dan Luīs bisa bertemu dengan pembaca CNNIndonesia.com. Amin.
---
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, silakan hubungi [email protected]
[Gambas:Instagram]