Bahasa yang sulit sampai rute kereta yang rumit sempat membuat saya agak sedikit trauma saat mengunjungi Jepang pada tahun 2012. Tidak pernah terlintas di benak saya untuk akhirnya bisa kuliah dan bekerja di sini.
Kedatangan saya untuk kuliah di jurusan Teknik Komputer di Jepang pada tahun 2015. Negara Matahari Terbit menjadi pilihan saya setelah aplikasi saya untuk kuliah di Singapura ditolak. Usai penolakan, saya berencana melanjutkan studi ke Amerika Serikat. Di sana juga banyak keluarga yang menetap, jadi saya rasa hidup akan lebih mudah.
Saat sedang menunggu jadwal pendaftaran kuliah di Negara Paman Sam, ada teman saya yang hendak ke Jepang untuk belajar bahasa. Saya berpikir untuk ikut sekalian liburan. Namun kakak saya menyarankan untuk kuliah saja di sana. Jujur saya sempat ragu, terutama karena kendala bahasanya. Tapi saya teringat lagi oleh perkataan guru saya sewaktu SMA, bahwa orang yang bisa merantau jauh dari keluarga niscaya akan lebih mandiri dan bijak. Jadilah saya berangkat kuliah di Jepang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satu tahun sembilan bulan saya mempelajari bahasa Jepang. Tapi tekad saya untuk bisa kuliah dan bekerja di sini sudah bulat, sehingga saya terus semangat. Menurut saya, Jepang merupakan negara yang sangat menarik untuk dipelajari, dari hal teknologi sampai kehidupannya. Bagaimana negara ini bisa cepat bangkit setelah tragedi bom atom terus membuat saya terkesan.
Sudah lumayan menguasai bahasa Jepang tak membuat kehidupan saya sebagai perantau langsung mudah. Masih ada rute kereta yang amat rumit yang harus saya hapalkan.
Begitu juga soal makanan. Ada banyak tempat makan enak di Jepang, tapi kalau makan di luar setiap hari tentu saja akan bikin kantong bolong. Jadilah saya belajar masak. Walau rasanya hambar, seperti sayur saya tambah garam atau tahu saya oseng bumbu sederhana, saya amat menikmatinya.
Lucunya, saat ini saya sering merasa kehilangan kalau belum makan makanan hambar seperti yang biasa saya buat sewaktu kuliah dulu.
Hingga saat ini, tepat waktu masih menjadi salah satu tradisi yang dihormati di Jepang. Datang sepuluh menit sebelum waktu janjian atau maksimal telat sepuluh menit masih bisa dihargai. Saya sudah mulai terbiasa dengan tradisi tersebut, yang akhirnya terbawa sampai ke Indonesia. Pernah sewaktu pulang ke Tanah Air saya janjian dengan teman pukul 14.00, tapi mereka datang pukul 16.00.
Penduduk Indonesia rasanya perlu mencontoh penduduk Jepang dalam hal tepat waktu. Dengan begitu, kita bisa belajar menghargai orang lain.
Selain disiplin waktu, penduduk Jepang juga masih sangat disiplin dalam hal belajar dan bekerja. Rasanya kasus penduduk yang stres belajar atau bekerja sudah banyak ditulis media internasional, salah satunya kasus pekerja yang lelah bekerja sampai meninggal dunia.
Stres di sekolah atau kantor kadang juga sampai menyebabkan bunuh diri. Berbeda dengan karyawan yang biasanya mengakhiri hidupnya karena merasa gagal dalam pekerjaan, kasus bunuh diri di lingkungan sekolah biasanya terjadi karena seorang siswa yang ditindas oleh teman-teman sebayanya. Perlakuan tak terpuji itu nyatanya masih terjadi, sehingga stres belajar ditambah stres pergaulan.
Tapi penduduk Jepang tak selamanya tertutup atau tak acuh dengan sesama warga negara atau pendatang. Mereka biasanya perlu dikenal lebih lama, sebelum akhirnya bisa membuka diri. Tak semua penduduk Jepang bisa berbahasa Inggris, jadi mereka sungkan untuk akrab dengan pendatang. Tapi kalau kita bisa berbincang sederhana dalam bahasa Jepang, biasanya lama kelamaan mereka jadi lebih terbuka.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...