62 Persen Nakes Susah Minta Ibu Tetap Beri ASI Eksklusif
Pekan Menyusui Sedunia (World Breastfeeding Week) tahun ini mengingatkan bahwa perlindungan terhadap ibu menyusui jadi tanggung jawab bersama.
Ini tak terkecuali para tenaga kesehatan (nakes) yang jadi figur penting dalam memastikan keberlangsungan ASI eksklusif. Namun sebuah riset terbaru dari Health Collaborative center (HCC) menemukan mayoritas nakes kesulitan mempertahankan ibu untuk terus menyusui meski ada pandemi. Padahal sudah banyak diketahui manfaat memberikan ASI ekslusif bagi anak dan ibunya, bahkan saat ibu positif covid sekalipun. Salah satu manfaat ASI eksklusif juga akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh anak.
"Ada 62 persen dokter, bidan, juga nakes lain mengatakan kesulitan mempertahankan ibu-ibu Indonesia untuk menyusui selama masa pandemi," kata Ray Wagiu Basrowi, peneliti utama riset dalam konferensi pers, Rabu (4/8).
Riset ini melibatkan sebanyak 1.004 nakes yang terdiri dari dokter (154 responden), bidan (758 responden) dan nakes lain (konselor laktasi, ahli gizi dll). Mereka mayoritas bertugas di layanan kesehatan primer (puskesmas), sebagian di rumah sakit dan praktik mandiri di 25 provinsi. Riset dilakukan pada bulan Februari sampai Mei 2021.
Ray mengungkapkan dengan masa kerja sekitar 8-23 tahun, responden dianggap mengalami dua periode yakni periode sebelum pandemi dan saat pandemi. Riset menggunakan metode cross-sectional yang memadukan survei daring dengan kuesioner yang sudah divalidasi tim ahli dan analisis statistik.
"[Kalau ada 62 persen] berarti sekitar 6-7 dari 10 nakes terutama di layanan primer mengatakan sulit sekali mempertahankan ibu untuk terus menyusui," katanya.
Setelah dilakukan analisis statistik, peneliti menemukan ada empat faktor penting.
1. Tidak ada pelayanan antenatal secara daring
Riset menemukan sebanyak 57 persen layanan kesehatan primer tidak memiliki antenatal care (ANC) atau pelayanan antenatal secara daring atau telemedicine. ANC sendiri merupakan layanan kesehatan ibu dan anak, meliputi pemeriksaan kehamilan, kesiapan persalinan, sampai pemberian ASI eksklusif.
Padahal ANC daring sangat penting diselenggarakan sebab posyandu tutup selama pandemi, puskesmas menutup kelas ibu hamil maupun kelas laktasi demi menurunkan potensi penularan. Sebelum pandemi, nakes bisa dengan mudah 'hands-on' atau terlibat, bersentuhan langsung dengan ibu dan membantu kesulitan terkait laktasi.
"Dari analisis bivariat, untuk melihat dampaknya kalau ini terus terjadi, hasilnya ternyata kalau fasilitas kesehatan enggak ada antenatal care yang daring, yang terjadi [ada risiko] 1,4 kali lebih besar nakes akan terganggu pelayanan laktasi dan kesehatan ibu anak," kata Ray.
2. Tidak ada pelatihan untuk manajemen laktasi khusus masa pandemi
Sebanyak 66 persen nakes di layanan primer tidak pernah mendapatkan pelatihan untuk manajemen laktasi khusus masa pandemi. Ray mengungkapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendorong ibu untuk tetap menyusui tetapi negara tidak memberikan protokol atau guideline menyusui selama pandemi.
"[Responden menyebut] hanya seruan, edaran surat pemberitahuan, link website dari lembaga dan mereka bingung menerapkannya," imbuh dia.
Jika ini tidak diatasi, layanan kesehatan 1,2 kali lebih berisiko terganggu layanan antenatal terutama laktasinya.
3. Tidak ada informasi terkait menyusui aman saat pandemi
Menyusui tetap aman dilakukan meski ibu positif Covid-19. Namun 42 persen nakes mengaku tidak ada ketersediaan informasi mengenai menyusui yang aman selama masa pandemi di faskes mereka bertugas.
4. Tidak ada fasilitas menyusui khusus pasien Covid-19
Meski ibu tetap didorong untuk menyusui, tetapi ini tidak diimbangi dengan ketersediaan fasilitas. Sebanyak 64 persen faskes primer tidak memiliki fasilitas menyusui khusus pasien Covid-19.