Jakarta, CNN Indonesia --
Sudah hampir dua tahun saya menimba ilmu untuk studi S2 saya di kota Dresden, ibukota Jerman Timur. Walaupun saya mengenal banyak teman dari berbagai negara, saya baru memiliki satu teman akrab yang berasal dari Jerman.
Jika ditanya alasannya kenapa, menurut saya mungkin karena karakter penduduk Jerman pada umumnya yang relatif tertutup dan berhati-hati dalam menjaga privasi sehingga butuh waktu dan usaha ekstra untuk membangun hubungan persahabatan.
Lain halnya dengan di Indonesia yang biasanya baru sekali berkenalan pun kita bisa langsung bertukar nomor telepon atau sosial media dengan orang lain. Butuh waktu berhari-hari untuk bisa akrab dengan penduduk asli Jerman. Kalau ingin bertukar kontak, biasanya itu sebatas urusan sekolah atau kerja saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski tidak banyak interaksi di luar dunia perkuliahan dan pekerjaan, saya melihat bahwa orang-orang muda Jerman cukup ramah dan terbuka dengan pendatang dari luar Jerman.
Kalau di universitas, biasanya kami bertemu di acara kegiatan kampus dan perkumpulan dari berbagai negara. Bahkan, di banyak kampus sudah ada organisasi yang secara reguler mengadakan acara bertema budaya dari berbagai negara sebagai usaha untuk menghargai perbedaan.
Tahun ini merupakan peringatan 60 tahun berdirinya Tembok Berlin. Isu tembok pemisah antara Jerman Timur dan Jerman Barat ini memang sangat sensitif, bahkan hingga sekarang.
Di Dresden sendiri yang berada di wilayah Jerman Timur, "hawa" Neo Nazi, gerakan yang biasanya dikaitkan dengan isu rasial dan segregasi nasionalisme, cukup terasa. Pendukung gerakan ini yang biasanya orang-orang dewasa, banyak yang masih mendukung gerakan "memurnikan Jerman" ini.
Walaupun demikian, sebagian besar kaum mudanya justru menolak bangkitnya gerakan ini dan cukup sering menyuarakan keseragaman status dan hak bagi seluruh masyarakat di Jerman tanpa memandang latar belakang ras dan nasionalisme.
Kaum yang tergabung dalam organisasi garis kanan ekstrem ini berpikir bahwa negara tidak perlu menerima terlalu banyak masyarakat dari negara lain dan menginginkan Jerman tetap menjadi negara yang utuh tanpa terlalu banyak terganggu oleh pengaruh globalisasi dari negara lain.
 Demi menolak perlakukan rasial terhadap kaum kulit hitam di Cologne, Jerman, pada 6 Juni 2020. (AP Photo/Martin Meissner) |
Salah satu masyarakat yang sering menjadi korban pelanggaran oleh kaum ini adalah para imigran yang berasal dari negara-negara terdampak peperangan.
Mereka sering dicap sebagai orang asing yang menikmati fasilitas negara tanpa perlu membayar pajak, di mana pajak yang jumlahnya tinggi tersebut justru dibayarkan oleh penduduk Jerman.
Walaupun demikian, Jerman telah memiliki program dan peraturan tersendiri untuk membantu para imigran sehingga pada kenyataannya mereka tetap menyumbang kontribusi terhadap negara dan banyak di antaranya merupakan pekerja tetap yang juga membayar pajak.
Saya sendiri belum pernah mengalami kekerasan rasial selama tinggal di Jerman. Segala kejahatan rasial dilarang oleh pemerintah Jerman.
Di sini, kantor polisi membuka layanan untuk pengaduan kasus rasial, baik fisik atau verbal. Informasi perihal ini juga banyak disediakan melalui papan pengumuman di jalan sampai stiker di sarana transportasi umum.
Yang saya tahu, beberapa organisasi juga dibentuk untuk mendengarkan keluhan-keluhan terkait kekerasan rasial dan mereka aktif dalam upaya-upaya menjunjung kesetaraan rasial.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Antivaksin versus sains
Pandemi virus Corona tentu saja berdampak negatif pada kehidupan masyarakat di Jerman. Khususnya bagi para mahasiswa, kegiatan perkuliahan dan pekerjaan sambilan merupakan dua hal yang sangat dipengaruhi oleh pandemi, terutama karena banyak mahasiswa yang bekerja paruh waktu demi membiayai hidupnya selama kuliah.
Setahun yang lalu, kegiatan belajar mengajar di kampus saya bisa dibilang sangat kacau, karena selama ini kehadiran secara fisik sangat penting dan hampir seluruh tugas pun perlu dikumpulkan dalam bentuk cetak. Apalagi jurusan perkuliahan saya membutuhkan kedatangan ke laboratorium.
Belum mumpuninya sistem belajar dan mengajar jarak jauh serta kesiapan tenaga pengajar untuk menggelar kelas virtual juga menambah faktor sulitnya 'ngampus'.
Tetapi seiring berjalannya waktu, situasi ini bisa dikendalikan. Kondisi pandemi di Jerman juga berangsur membaik, sehingga kegiatan perkuliahan yang harus dilakukan di kampus bisa kembali dilakukan.
Berbicara mengenai kaum antivaksin, selain di Indonesia kaum ini juga ada di Jerman.
Melirik berita yang baru-baru ini menjadi sorotan publik di Jerman, di mana seorang perawat berani memalsukan vaksin dengan cairan saline untuk disuntikkan ke orang-orang yang telah datang untuk mengikuti proses vaksinasi, cukup membuat saya sadar akan bahaya kaum antivaksin.
Contoh ini merupakan bukti betapa ekstremnya seorang antivaksin dapat bertindak demi menjunjung pemikiran mereka sekalipun harus melibatkan kepentingan orang lain.
Vaksinasi memang tidak diwajibkan di Jerman. Walaupun demikian, pemerintah dan sebagian besar masyarakat menyadari pentingnya vaksinasi untuk menekan Covid-19 mengingat perlunya memitigasi penyebaran penyakit ini yang sangat cepat.
Sejak beberapa bulan lalu, pemerintah telah menyediakan tempat-tempat vaksinasi dan memperbolehkan dokter-dokter umum untuk memberikan vaksinasi kepada seluruh penduduk Jerman, termasuk pemegang residensi Jerman (pelajar, pekerja temporer, ataupun pemegang visa lainnya).
Sayangnya, kaum antivaksin - yang biasanya termakan berita hoaks - terus berusaha keras menularkan pahamnya ini kepada orang lain sehingga memicu kebingungan dan ketegangan, misalnya dengan menyebarkan berita-berita dengan klaim sains tertentu mengenai efek vaksin pada anak-anak di masa depan, atau efek vaksinasi terhadap kesehatan mental manusia.
Semuanya ini tentu saja disebarkan tanpa klaim studi yang jelas, tetapi tidak sedikit yang menyertakan "comotan" temuan sains dari publikasi tertentu yang tidak berhubungan, supaya terkesan dapat dipercaya. Tidak sedikit juga yang menolak memakai masker karena disebut-sebut "mencabut kebebasan" seorang individu.
Kebencian terhadap vaksin dan penggunaan masker seakan menjadi "Tembok Berlin" baru dalam penanganan pandemi di Jerman.
 Pedemo antipenguncian wilayah di Jembatan Brandenburg, Berlin, Jerman, pada 18 November 2020. (AP/Michael Sohn) |
Seperti yang kita tahu, dalam situasi pandemi ini menjaga diri sendiri juga termasuk menjaga orang lain. Tidak hanya memisahkan masyarakat Jerman menjadi dua kubu, tetapi layaknya Tembok Berlin di masa lalu yang memisahkan anggota keluarga dan sanak saudara secara fisik, tembok transparan ini juga memisahkan manusia-manusia dari toleransinya terhadap orang lain.
Dengan menghindari vaksinasi dan penggunaan masker, orang-orang telah memisahkan dirinya dengan kewajiban menjaga keamanan bersama, terutama orang-orang lain yang berisiko kesehatan atau sudah lanjut usia.
Saat ini, untuk "merayu" lebih banyak penduduk Jerman supaya bersedia divaksin, pemerintah memberi banyak keistimewaan, mulai dari kemudahan untuk mengakses pusat perbelanjaan dan restoran, hingga aturan bebas karantina jika datang dari luar negeri termasuk negara berisiko Covid-19.
Dari pantauan saya, banyak anak muda yang lebih tergerak untuk divaksin, karena mereka telah mengedukasi dirinya secara mandiri mengenai bahaya penularan virus Covid-19 jika tidak segera divaksinasi.
Tinggal di negara yang memiliki banyak "-isme" tentu saja membuat saya banyak belajar. Walau berbeda pendapat, nyatanya penduduk Jerman tetap bangga pada negaranya. Salah satu contohnya mereka tertib dan disiplin pada aturan. Jika diminta di rumah saja selama penguncian Covid-19, mereka akan taat pada aturan yang berlaku.
Begitu juga soal melestarikan sejarah dan budaya, seperti halnya eksistensi Tembok Berlin ini. Sebelum pandemi, museum dan tugu peringatan biasanya ramai, tak hanya oleh turis mancanegara tapi juga turis domestik.
Walau sejarahnya kelam, mereka yang mencintai persatuan biasanya datang mengunjungi Tembok Berlin untuk mengingatnya sebagai simbol betapa nelangsanya suatu negara jika perbedaan SARA menjadi sumber perpecahan bangsa yang menyengsarakan bertahun-tahun.
Giliran kita sebagai kaum penerus perjuangan dari sejarah Indonesia, tembok manakah yang akan kita runtuhkan demi menjunjung kesatuan dan perdamaian?
---
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, silakan hubungi [email protected]
[Gambas:Photo CNN]