Hampir di setiap distrik di Korea Selatan memiliki deretan restoran, kafe, bar sampai tempat karaoke. Banyak juga hot place atau tempat trendi yang sering didatangi anak muda seperti Hongdae, Itaewon, Gangnam dan Apgujeong.
Tentu saja mereka ke sana untuk "dilihat dan melihat" teman-teman sebayanya. Kalau bisa berkenalan dan jodoh, siapa tahu bisa berlanjut ke kencan berikutnya - meski rasanya ajang meeting atau mencari di aplikasi kencan lebih besar kesempatannya untuk bertemu dengan calon pasangan.
Tahap kenalan sampai pacaran di Korsel tidak jauh berbeda dengan di Kanada ataupun di Indonesia. Namun, saya juga sering mendengar teman-teman saya sesama ekspatriat yang mengalami momen ghosting (ditinggal tanpa penjelasan) atau diselingkuhi di sini.
Harus diingat bahwa Korsel adalah homogeneous society dan banyak penduduknya yang mempunyai belum terbiasa dengan orang asing, sehingga beberapa dari mereka memiliki stereotipe tertentu. Contohnya ada saja yang menganggap kalau orang asing tidak perlu diajak berhubungan serius, sehingga mereka kerap dipermainkan. Tapi sekali lagi, tidak semua orang Korea memiliki pandangan ini.
Tak disangka, tata nilai Indonesia dan tata nilai Korea lebih banyak punya kesamaan dibanding perbedaan. Karena sama-sama orang Asia, saya dan pasangan tidak pernah merasakan perbedaan kebudayaan yang terlalu menonjol sampai sering menimbulkan pertengkaran.
Bagi kami, pertengkaran dalam rumah tangga itu wajar, dan menurut saya apa yang dipermasalahkan dan bagaimana cara penyelesaiannya semua tergantung sifat dan pola interaksi pasangan masing-masing. Bukan tergantung dari asal negaranya.
Budaya Korea tidak lebih superior dari budaya Indonesia, jadi kami masing-masing belajar dari satu sama lain. Tapi yang kami rasakan adalah adanya kesamaan nilai adat ketimuran hanya saja cara dan adat yang kadang-kadang berbeda. Kami memutuskan memfokuskan bagaimana cara membangun identitas kami sebagai pasutri dengan menggabungkan dua budaya yang kami miliki.
Contohnya, saat persiapan pernikahan kalau di budaya keluarga saya yang Tionghoa ada sesi sangjit, di Korea ada sang gyeon rye (상견례). Konsepnya sama namun isinya berbeda, tapi kami memutuskan untuk membuat sesi ini sederhana dengan tetap menggabungkan kebutuhan dua budaya yang berbeda.
Karena kerasnya persaingan hidup di Korsel, ditambah dengan biaya hidup yang tinggi, membuat banyak anak muda di sini lebih enggan untuk menikah. Begitu juga dengan pasangan suami istri dalam urusan memiliki keturunan. Kesibukan bekerja terkadang menjadi pertimbangannya.
Tapi, tuntutan orang tua atau usaha mencarikan jodoh untuk anaknya, banyaknya list pertanyaan memastikan "bibit-bebet-bobot" calon pasangan, sampai seringnya pertanyaan "kapan punya anak" masih saja ada dan bisa dilihat sebagai kesamaan antara mertua versi Indonesia dan Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...