Jakarta, CNN Indonesia --
'Restless Anal Syndrome' diduga menjadi efek pascainfeksi Covid-19. Meski jumlahnya tidak banyak tapi penyakit ini patut diwaspadai.
Menurut laporan kasus baru-baru ini yang diterbitkan di BMC Infectious Diseases, seorang pria berusia 77 tahun di Jepang mengalami "deep anal discomfort" atau ketidaknyamanan di bagian anus beberapa minggu setelah ia pulih dari COVID-19.
Dalam laporan kasus tersebut, Itaru Nakamura, Takao Itoi, dan Takeshi Inoue dari Rumah Sakit Universitas Kedokteran Tokyo, mendiagnosisnya dengan 'Restless Anal Syndrome', varian yang tidak biasa dari Restless Leg Syndrome (RLS). Varian RLS telah diamati di perut, kandung kemih, dan mulut, tetapi ini adalah presentasi anal pertama yang dijelaskan dalam literatur medis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria Jepang itu melaporkan ketidaknyamanan sekitar 10 sentimeter jauh di dalam anusnya. Dia mengatakan kepada dokter bahwa dia memiliki keinginan untuk buang air besar dan dorongan untuk terus bergerak, tetapi buang air besar tidak mengurangi perasaan itu.
Gejalanya memburuk di malam hari dan dalam periode istirahat sama halnya dengan penderita RLS. Selain itu ia bisa mendapat sedikit kelegaan dengan olahraga, seperti dilansir dari BusinessInsider, Jumat (1/10).
Pemeriksaan kolonoskopi menyebutkan bahwa selain wasir, tidak ada yang salah di dalam rektum pria itu. Dia tidak memiliki kelainan otak, gangguan kandung kemih, atau disfungsi ereksi. Selain sedikit kecemasan dan insomnia, perasaan gelisah adalah satu-satunya masalah kesehatannya sejak Covid-19.
Beberapa minggu sebelumnya, pria itu dirawat di rumah sakit dengan kasus COVID-19 yang relatif ringan yang meliputi sakit tenggorokan, batuk, dan demam. Dia mengalami demam ringan selama 10 hari dan dirawat karena pneumonia ringan.
Ketidaknyamanan pada duburnya di mulai setelah dia pulih dari gejala pernapasan, hal ini membuat dirinya kembali dilarikan ke rumah sakit. Para dokter menentukan bahwa karena pasien belum pernah mengalami kegelisahan di anusnya sebelumnya, kemungkinan itu adalah sindrom yang terkait COVID.
Setelah mengonsumsi Clonazepam, obat yang digunakan untuk mengobati kejang, ketidaknyamanan di anusnya teratasi.
Varian Restless Leg Syndrome
'Restless Anal Syndrome' merupakan varian dari 'Restless Leg Syndrome' (RLS). Sindrom ini biasa memiliki empat fitur gejala yang membedakannya yaknipertama, pasien merasakan dorongan untuk terus menggerakan kakinya. Kedua, gejala memburuk dalam periode istirahat,ketiga, gejala membaik dengan olahraga. Dankeempat, gejala memburuk pada malam hari.
Apa sebenarnya RLS ini? Banyak ahli yang mengatakan bahwa penyakit ini dikenal juga sebagai penyakit kaki gelisah. RLS leg berhubungan dengan adanya gangguan pada pembuluh vena. Sindrom itu muncul ketika pembuluh vena tidak lagi elastis. Gejala yang mungkin timbul adalah tungkai kaki berkedut sewaktu tidur.
Biasanya keadaan ini akan membaik ketika seseorang melakukan gerakan seperti peregangan, menggoyangkan kaki, atau berjalan. Umumnya gejala tersebut akan memburuk ketika malam hari, atau saat tidur.
Sayangnya, gerakan yang dianggap sebagai upaya untuk 'memperbaiki kondisi saat itu' sebenarnya hanya akan menambah kelelahan.
Dikutip dari Mayo Clinic, para peneliti menduga RLS mungkin disebabkan ketidakseimbangan dopamin pada otak, yang mengirimkan pesan untuk mengontrol gerakan otot.
Mereka juga mengidentifikasi kalau gejala tersebut bisa muncul karena keturunan. Peneliti mengaku menemukan gen penyakit ini dalam kromosom.
Dilansir dari Forbes, meskipun sindrom itu sendiri tidak akan menyebabkan kondisi medis yang lebih serius, itu benar-benar dapat memengaruhi hidup, tergantung pada seberapa serius gejalanya. RLS dapat menyertai kondisi medis lain yang lebih serius seperti neuropati perifer, kekurangan zat besi, dan masalah sumsum tulang belakang.
Hubungannya dengan Covid-19
Lalu apa hubungannya Covid-19 dengan masalah ketidaknyamanan di anus alias RLS? Nah, sindrom pernafasan akut parah virus corona (SARS-CoV-2) telah menunjukkan bahwa itu dapat menyebar ke pusat sistem saraf. Hal itu menjelaskan mengapa berbagai masalah neurologis dan psikiatri seperti kehilangan penciuman atau rasa, kecemasan, delirium, psikosis, dan ensefalitis dapat terjadi akibat infeksi SARS-CoV-2. Bahkan, ada laporan kasus seorang wanita berusia 36 tahun dan seorang wanita berusia 48 tahun menderita RLS saat mengidap Covid-19.
Ada varian lain dari RLS yang mempengaruhi bagian tubuh lain seperti lengan, perut, wajah, kepala, rongga mulut, kandung kemih dan alat kelamin. Perlu diingat varian RLS ini juga merupakan diagnosis medis.
Laporan kasus ini adalah contoh lain bagaimana Covid-19 dapat dikaitkan dengan berbagai masalah yang sangat luas. Meski demikian satu laporan kasus tidak cukup untuk menentukan hubungan sebab akibat yang jelas antara Covid-19 dan 'Restless Anal Syndrome'. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan bagaimana sebenarnya hubungan kedua kondisi tersebut.