Ivana Marinavić mengatakan sejarah karantina di dunia dimulai pada tahun 1377, ketika wabah Black Death sedang dalam perjalanan untuk membunuh sepertiga populasi di Eropa.
Dubrovnik, pusat Republik Ragusa, adalah salah satu kota pedagang terkaya pada masa itu, dan ingin mempertahankan statusnya.
Tetapi, menutup gerbang perjalanan di kota kecil Dubrovnik tak semudah seperti di kota-kota besar semisal Venesia atau Milan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jadi para pemimpin kota membuat rencana untuk memaksa pengunjung karantina selama 40 hari di salah satu dari banyak pulau terpencil di lepas pantai Dubrovnik sebelum mereka diizinkan untuk datang ke darat.
Mereka menyebutnya "quarantino", kata dalam bahasa Italia untuk periode 40 hari, jangka waktu yang diyakini sejarawan "diilhami" oleh peristiwa-peristiwa alkitabiah, seperti ketika Yesus, dalam Perjanjian Baru, berpuasa di padang gurun selama 40 hari, atau 40 hari dan malam hujan yang membanjiri bumi dalam kisah Bahtera Nuh dari Alkitab Ibrani.
"Aturan karantina pertama cukup banyak diimprovisasi," kata Ivana Marinavić, ahli sejarah di Dubrovnik, seperti yang dikutip dari NPR.
"Pendatang ditempatkan di rumah-rumah kayu di sekitar pantai, bahkan ada yang bermalam seadaanya."
Pendatang yang dikarantina ditemani oleh seorang juru tulis, dua penjaga dan dua pembersih.
Ada juga seorang penggali kubur yang berjaga jika sewaktu-waktu pendatang yang sedang dikarantina bertemu dengan ajalnya.
Hampir 300 tahun kemudian, pada 1642, kota itu menyelesaikan pembangunan Lazaretto, serangkaian bangunan di luar tembok kota di mana pendatang - kebanyakan dari Kekaisaran Ottoman - akan karantina selama 40 hari.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...