Jakarta, CNN Indonesia --
Tahun 1996 bisa dibilang merupakan tahun terburuk dalam sejarah pendakian di Gunung Everest.
Di tahun itu, di saat teknologi, teknik, dan perlengkapan pendakian mulai modern, sebanyak delapan pendaki harus tewas dalam tragedi badai salju yang horor dan mencekam.
Kecelakaan tragis itu terjadi pada 10 Mei 1996. Delapan pendaki tewas dalam sehari merupakan rapor merah bagi pendakian gunung, termasuk di gunung tertinggi di dunia ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seorang penulis bernama Jon Krakauer, yang melakukan pendakian di tahun itu, menulis buku tentang insiden tahun 1996 yang diberi judul 'Into Thin Air'. Buku itu lalu diterbitkan setahun setelah tragedi, dan laris manis di pasaran.
Secara total, 15 orang tewas selama musim pendakian musim semi di Everest pada tahun 1996.
Antara tahun 1980 dan 2002, tercatat 91 pendaki tewas dalam pendakian di sana.
Awal mula tragedi
Tragedi tahun 1996 bermula dari kedatangan 17 tim ekspedisi yang hendak menjejak puncak Everest. Antusiasme ratusan pendaki seperti ini disebut belum pernah terjadi sebelumnya.
Salah satu peserta pendakian di hari itu termasuk Sandy Pittman, satu-satunya pendaki yang cukup berpengalaman.
Tanggal 10 Mei bencana terjadi, ketika empat tim ekspedisi berusaha mencapai puncak.
Pemandu Anatoli Boukreev membawa timnya ke puncak pada pagi hari, dengan tim Rob Hall dan Scott Fischer berada di belakang.
Saat badai dahsyat datang tiba-tiba, para pendaki ini terjebak dalam posisi genting. Bahkan pendaki yang kuat dan berpengalaman seperti Hall dan Fischer - keduanya veteran Everest - kesulitan.
Boukreev turun ke pos peristirahatan terdekat tanpa kliennya, dengan harapan meminta bantuan dari tim lain.
 Medan pendakian di Gunung Everest yang curam dan terjal. (iStockphoto) |
Namun dalam bukunya, Krakauer mengkritik hal ini. Sementara Boukreev dalam bukunya yang berjudul 'The Climb' yang juga diterbitkan pada tahun 1997 mengajukan keberatan atas kritikan tajam tersebut.
Hall dan Fischer tinggal bersama klien mereka, tetapi badai yang terus berlanjut dan membuat semua orang rentan terhadap kematian karena pasokan oksigen habis.
Meskipun teknologi memungkinkan Rob Hall untuk berbicara dengan istrinya di Selandia Baru melalui telepon satelit, tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan delapan pendaki lain, termasuk Hall dan Fischer, yang tidak dapat kembali ke kamp.
Pittman selamat hanya dengan radang dingin ringan.
Atas tragedi tersebut, Krakauer menyalahkan para pendaki yang tidak berpengalaman dan pemandu yang setuju untuk memimpin mereka hanya karena imbalan yang besar.
Sebanyak 98 pendaki lainnya berhasil mencapai puncak Everest pada musim semi tahun 1996.
Selain tragedi badai salju tahun 1996, puncak Everest sebenarnya telah "diwarnai" oleh kisah-kisah kematian yang memilukan:
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
1. Mayat Tertua
George Mallory berpartisipasi dalam dua ekspedisi paling awal yang dipimpin Inggris ke Gunung Everest pada tahun 1921 dan 1922, sebelum melakukan perjalanan terakhirnya dengan Andrew "Sandy" Irvine pada tahun 1924.
Kedua pria itu menghilang secara misterius selama pendakian, kemungkinan karena kondisi cuaca buruk.
Setelah beberapa upaya untuk menemukan tubuh mereka dan menelusuri kembali langkah mereka, jenazah George akhirnya ditemukan pada tahun 1999, atau 75 tahun setelah perjalanan mereka.
2. Si Sepatu Hijau
Sepatu Hijau adalah salah satu korban dalam bencana badai salju pada tahun 1996. Usai amukan alam mereda, jenazahnya ditemukan terkubur dalam cerukan salju. Hanya sepatu hijaunya yang terlihat.
Ditemukan di dekat puncak, banyak orang yang mengatakan kalau jenazah itu ialah Tsewang Paljor, salah satu dari tiga pemandu yang hilang dari salah satu ekspedisi.
Hingga saat ini jenazahnya masih ada di tempatnya meninggal. Tubuhnya digunakan sebagai penanda jejak bagi pendaki bahwa mereka hendak mendekati puncak sisi utara gunung.
 Pendakian tim China untuk mengukur ketinggian Gunung Everest pada tahun 2020. (Tashi Tsering/Xinhua via AP, File) |
3. Si Pendaki Solo
Setelah dua kali gagal naik puncak Everest dengan timnya pada tahun 2003 dan 2004, seorang pendaki bernama David melakukan perjalanan ketiga dan terakhirnya pada tahun 2006 dengan konsep pendakian solo.
Dia bertekad untuk melakukan perjalanan tanpa oksigen tambahan dan peralatan minimal.
Tidak jelas apakah dia benar-benar berhasil mencapai puncak, tetapi banyak pendaki yang mengaku melihat sosoknya terduduk di dekat cerukan tempat wafatnya Sepatu Hijau.
Tewasnya David dalam pendakian sempat menimbulkan kontroversi, karena lokasi jenazahnya sebenarnya dilalui setidaknya 40 pendaki.
Pendaki-pendaki ini juga dituduh egois karena melupakan keselamatan pendaki lain hanya demi naik ke puncak Everest.
Namun ada pendaki yang buka suara, karena sebenarnya kondisi David sudah tak tertolong lagi sejak ditemukan pendaki yang pertama.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
[Gambas:Photo CNN]
4. Si Putri Tidur
Pada tahun 1998, pendaki asal Amerika, Francys Arsentiev ditemukan hampir mati beku oleh dua pendaki lainnya, Ian Woodall dan tunangannya, Cathy O'Dowd, hanya 300 meter dari puncak Gunung Everest.
Pasangan itu akhirnya membatalkan pendakian mereka untuk membantu Arsentiev, tetapi sudah terlambat.
Saat mendiskusikan nasib tragis Francys dengan Telegraph, mereka mengingat kata-kata terakhirnya yang menghantui: "Jangan tinggalkan aku."
Francys, yang dikenal sebagai "Sleeping Beauty (Putri Tidur)", telah berhasil menjadi wanita pertama yang mencapai puncak Everest tanpa menggunakan oksigen tambahan sebelum kematiannya.
Dia mendaki bersama suaminya, Sergei, yang dinyatakan hilang setelah mencoba mencari tabung oksigen dan obat-obatan dari pendaki lain.
5. Si Wanita Jerman
Sebelum "Si Putri Tidur", pendaki asal Jerman bernama Hannelore Schmatz adalah wanita pertama yang tewas saat mencoba mencapai puncak Everest pada tahun 1979.
Dia berada 100 meter dari puncak Everest, saat hendak turun, ketika dia menjadi terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanannya.
Tubuhnya ditemukan membeku dalam posisi berbaring. Jenazahnya dinamakan "Si Wanita Jerman" oleh pendaki lainnya.
 Pos pendakian Everest di Solokhumbu. (PRAKASH MATHEMA / AFP) |
6. Si Pilot
Pada tahun 1934, 10 tahun setelah upaya George Mallory yang gagal, seorang pilot asal Inggris bernama Maurice Wilson percaya bahwa kombinasi puasa dan doa adalah semua yang dia butuhkan untuk mencapai puncak Everest.
Rencananya adalah untuk terbang ke titik tertinggi dan berjalan sampai ke puncak Everest, tetapi dia tidak memiliki pengalaman terbang atau pengalaman mendaki.
Setelah beberapa perjalanan yang kacau ke dan dari pangkalan, George tidak pernah kembali. Mayatnya ditemukan terkubur di salju setahun kemudian.
7. Si Pendaki Jepang
Dalam komunitas pendakian, mencapai 'Seven Summit (Tujuh Puncak)' alias tujuh gunung tertinggi di dunia adalah sebuah kehormatan.
Pada usia 47 tahun, Yasuko adalah wanita tertua yang melakukan perjalanan mendaki Everest pada saat itu.
Dia telah mendaki enam puncak gunung tertinggi di dunia, sebelum menjadi korban dari tragedi badai salju tahun 1996.