Jakarta, CNN Indonesia --
Bendera Merah Putih sudah pernah berkibar di Gunung Everest, puncak tertinggi di dunia setinggi 8.849 meter di atas permukaan laut (mdpl) yang membentang dari Nepal ke Tibet.
Ekspedisi Indonesia pertama ke Everest dipimpin oleh tim Kopasus pada tahun 1997.
Anggota ekspedisi saat itu berjumlah 16 pendaki yang dibagi menjadi dua tim. Satu tim beranggotakan 10 orang (6 anggota militer dan 4 perwakilan sipil) berangkat dari sisi selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara 6 sisanya (4 anggota militer dan 2 perwakilan sipil) berangkat dari sisi utara.
Salah satu anggota tim perwakilan sipil yang berangkat dari sisi Selatan ialah Iwan Irawan, yang kini berprofesi sebagai Staf EAST (Eiger Adventure Service Team).
Saat itu Kwecheng - panggilan akrab Iwan - berusia 21 tahun. Mendaki gunung merupakan hobi yang baru digelutinya.
Setelah melewati masa pelatihan di beberapa gunung di Indonesia dan Nepal, dirinya kemudian berangkat ke Gunung Everest bersama 15 pendaki lainnya.
Kwecheng belum pernah mendaki di gunung salju sebelumnya, sehingga ia amat terkejut dengan kondisi alam yang ekstrem di Everest, Karena masalah kesehatan, akhirnya ia hanya bisa mendaki sampai 7.000 mdpl, lalu turun ke base camp.
Tahun berlalu, tapi Everest tak pernah sirna dari benak Kwecheng. Hingga ada tawaran untuk melakukan pendakian The Seven Summit (Tujuh Puncak Tertinggi di Dunia) pada tahun 2010-2012, akhirnya ia iyakan.
Dalam pendakian ke Everest kali ini, ia berangkat dari sisi utara. Dan berhasil sampai di puncak.
"Mendaki gunung nyatanya bukan saja mengandalkan otot. Ada banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan pendaki seperti; soal gizi, empati, hingga berserah diri kepada Tuhan," kata Kwecheng saat diwawancara oleh CNNIndonesia.com pada Kamis (4/11) melalui sambungan telepon.
Dalam obrolan selama dua jam, Kwecheng bercerita banyak mengenai suka duka mendaki Everest, hingga pengalaman hidup dan matinya di sana.
Ada banyak kasus kecelakaan sampai kematian di Gunung Everest, mengapa masih banyak pendaki yang tetap ingin ke sana, termasuk Anda pada saat itu?
Kwecheng: Everest bukan sekedar gunung tertinggi, tapi dia juga seperti gunung yang 'wajib' diziarahi para pendaki - bila memungkinkan. Seperti syarat naik haji kan, bila mampu.
Para pendaki juga merasa kalau belum sah rasanya jika belum menziarahi Gunung Everest. Meski akhirnya banyak juga pendaki yang "ditaklukkan" gunung itu sendiri.
Berapa kisaran biaya pendakian saat itu?
Kwecheng: Sekitar tahun 1990-an, biaya pendakian ke Everest mungkin US$30 ribuan kalau dari sisi selatan, dan US$20 ribuan dari sisi utara.
Sisi selatan lebih mahal karena lebih banyak yang dilihat, meski lebih banyak area berbahayanya, seperti Khumbu Icefall.
Sisi utara lebih murah karena medannya "lebih gersang": bebatuan, minim salju, tetapi tetap menantang karena jalurnya sempit dan curam.
Harga ini juga berbeda tergantung fasilitas dan layanan yang diberikan agensi pendakiannya. Semakin nyaman tendanya, semakin banyak makananan minumannya, dan semakin panjang catatan mereka mengantarkan orang summit, maka semakin mahal.
Contoh sederhananya bisa dilihat dari tenda dan antena satelit saat di base camp. Agensi yang mahal tendanya besar dan mewah, antena satelitnya juga banyak. Belum lagi makanan dan minumannya yang bisa free flow.
 Momen Iwan Irawan melakukan pendakian Gunung Everest bersama tim Seven Summits Indonesia. (Dok. Seven Summits Indonesia) |
Ada kemungkinan pendaki tertipu dengan "agensi nakal"?
Kwecheng: Bisa saja, karena semakin banyak pendaki yang ingin naik Everest dengan biaya murah, dan oknum-oknum ini memanfaatkan kondisi tersebut.
"Agensi nakal" ini modusnya seperti tak transparan dalam hal fasilitas dan layanan.
Agensi yang baik sudah pasti transparan dalam segala hal. Mereka juga tak sekadar memandu pendakian, karena mereka juga menyediakan waktu aklimatisasi yang cukup, baik saat naik ataupun dan turun gunung.
Total satu bulan bersama mereka, sudah termasuk aklimatisasi saat naik dan setelah turun.
Berarti sudah bayar mahal bisa jadi pendakian sampai ke puncak gagal?
Kwecheng: Itu sangat mungkin, apalagi disebabkan oleh faktor cuaca.
Sherpa dari agensi terpercaya biasanya terbuka soal hal ini, mengapa kita tidak bisa melintas dan kapan kita bisa melintas lagi. Dan mereka sangat terbuka untuk diskusi.
Kalau dari "agensi nakal" biasanya langsung mengajak turun tanpa memberitahukan alasannya.
Mendaki Everest itu sudah pasti mahal dan mengancam nyawa, jadi lebih baik gunakan agensi besar yang sudah terpercaya.
Selain aklimatisasi, apa persiapan Anda, yang notabene pendaki dari negara tropis, untuk mendaki Everest?
Kwecheng: Saat berlatih di gunung-gunung Indonesia, saya sekaligus membiasakan diri menggunakan rock boots dan crampon, dua peralatan utama yang digunakan dalam pendakian gunung es.
Kalau di gunung-gunung Indonesia dua peralatan ini memang jarang dipakai, karena medannya tanah dan batu.
Pendakian di Everest saja sudah sulit karena faktor suhu yang dingin, ditambah lagi dengan kebiasaan menggunakan dua peralatan ini.
Kalau melihat pendaki dari Barat, wah mereka bisa sangat cepat jalannya, karena sudah terbiasa mendaki di medan salju plus di gunung yang berketinggian lebih dari 4.000 mdpl.
Saat siang hari di base camp saja mereka bisa tuh terlihat hanya pakai kaos dan celana panjang biasa, sementara pendaki dari negara-negara tropis tetap berjaket tebal sambil meringkuk kedinginan.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Bagaimana dengan urusan perut?
Kwecheng: Selain asma, saya juga memiliki penyakit lambung. Saat mendaki memang biasanya napsu makan berkurang, di tambah lagi saat mendaki di luar negeri.
Saat mendaki Everest, saya membawa banyak menu makanan Indonesia, seperti rendang, teri kacang, tempe kering.
Selain makan menu kontinental yang disediakan sherpa, makan menu kampung halaman juga bisa menguatkan diri dari sisi psikologis. Jadi enggak homesick.
Oh, yang juga masih saya ingat, saya selalu ngemil kurma saat pendakian. Di beberapa pendakian gunung es sebelum Everest, saya sempat membawa cokelat, tapi pas dibuka di tengah jalan malah membeku sepert batako.
Kurma yang dibuang bijinya lalu diisi kacang atau keju sangat menolong. Selain itu biskuit atau buah kering.
Apa faktor berbahaya yang ditemui selama pendakian?
Kwecheng: Longsor gletser dan salju serta badai. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, sisi selatan dan utara memiliki faktor bahayanya masing-masing.
Selain faktor sakit, tahun 1997 saya mendaki di sisi selatan dan hanya berhasil sampai ketinggian 7.000 mdpl juga karena medan esnya yang terlalu menantang.
Area Khumbu Icefall itu terutama. Kita harus menunggu hingga gletser membeku sempurna dan aman dilewati.
Perlu diketahui, selain pendaki, banyak juga sherpa yang meninggal karena harus membuka jalan.
Kalau di sisi utara, faktor berbahayanya jalan yang sempit dan curam. Hanya agensi tertentu yang dapat izin untuk mengantar pendaki melewati sisi ini.
Ada jalur yang hampir vertikal dan cuma muat dilintasi satu orang, sehingga kita harus mendaki bergantian, baik dengan yang hendak naik atau yang hendak turun.
Medan di sisi utara juga lebih terbuka, sehingga angin bisa langsung menerjang. Kalau badai bisa sangat gawat.
Tapi pendaki Indonesia mungkin bisa lebih akrab dengan sisi utara, karena hampir mirip dengan gunung-gunung di Indonesia.
Dan bahaya tak hanya kita temui saat naik. Begitu juga saat turun.
Saat naik mungkin kita masih segar, pemakaian tabung oksigen masih bisa diatur, camilan dan air minum masih banyak.
Tapi saat turun, tubuh sudah lelah, tabung oksigen menipis, dan persediaan konsumsi sudah habis. Banyak pendaki yang meninggal saat turun.
Pendakian Everest memang seperti seleksi alam. Yang jalannya cepat bisa menyalip yang jalannya lambat.
Kesalahan teknis dan bencana alam juga diperparah dengan antrean pendaki yang panjang. Yang mendaki di Everest itu bukan hanya puluhan, tapi juga ratusan, bahkan ribuan.
Bayangkan, ribuan orang kelelahan sambil menahan dingin untuk sampai ke puncak Everest, yang mungkin hanya dijejak 10-20 menit, lalu turun lagi karena harus bergantian dengan pendaki lainnya.
 Jalur utara yang berbatu di Gunung Everest. (Dok. Seven Summits Indonesia) |
Pernah melihat pendaki yang tewas di depan mata?
Kwecheng: Saat mendaki di sisi utara, saya pernah melihat pendaki asal China yang terpeleset lalu bergelantungan dengan seutas tali di jurang.
Saya tidak bisa menyelamatkannya, karena saat itu saya tidak punya peralatan lebih untuk evakuasi. Jalur yang dilalui juga sedang padat, sehingga saya harus segera melintas.
Saat turun, saya mendengar akhirnya dia diselamatkan sherpa.
Seorang pendaki berarti harus memiliki empati besar, walau harus gagal summit Everest untuk menyelamatkan pendaki lainnya?
Kwecheng: Empati itu bagian dari ekspedisi. Apalagi tujuan naik gunung selain menjadi manusia yang lebih baik?
Selama pendakian rasa empati memang sangat diuji. Kita sebisa mungkin harus menolong pendaki yang sedang kesulitan. Di Everest biasanya masalahnya soal tabung oksigen.
Tapi banyak pendaki yang tak terselamatkan karena ia sudah terlalu payah untuk minta tolong. Wajah-wajah mereka kan juga tertutup google dan masker, sehingga kita tidak bisa langsung melihat ekspresinya saat kesusahan.
Saya pernah mendengar cerita seorang pendaki asal Palestina yang gagal summit karena ia menolong pendaki asal Israel untuk turun.
Sesampainya di base camp, sang pendaki Israel mengatakan kalau dirinya berjanji membiayai pendakian sang pendaki Palestina sebagai ucapan terima kasih telah menolongnya. Kisah yang sangat mengharukan, mengingat dua negara itu punya sejarah konflik.
Kabarnya banyak mayat pendaki yang dibiarkan begitu saja di Everest. Seperti apa kondisinya yang sempat dilihat mata?
Kwecheng: Betul sekali, kabar itu benar adanya, dan saya melihat banyak jenazah bertebaran selama pendakian di selatan dan utara Everest.
Evakuasi jenazah memang mahal, bahkan lebih mahal dari biaya mendakinya sendiri. Belum lagi medannya yang sulit, terutama di sisi utara, karena banyak pendaki yang meninggal di ketinggian di atas 8.000 mdpl.
Kondisi mayat-mayat di sana masih segar, karena dibekukan es. Dari kejauhan nampak sedang terduduk atau tertidur, tapi saat didekati ternyata sudah meninggal.
Mereka masih berpakaian lengkap, dengan google, masker, topi, jaket, sepatu, terkadang tas. Sangat menyedihkan melihatnya.
Di tengah perubahan iklim dan pemanasan global yang lebih cepat terjadi, jenazah-jenazah ini semakin sering bermunculan dari dalam es. Kalau masih memungkinkan, badan mereka diturunkan.
Harga pendakian yang mahal juga sudah termasuk asuransi kecelakaan. Kita sudah menandatanganinya. Kalau wafat di tengah jalan dan ada buktinya, uang asuransi itu bisa diserahkan ke ahli waris.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Seperti apa momen hidup dan mati Anda selama pendakian di Everest?
Kwecheng: Mendaki Everest berarti sudah siap mati.
Membicarakan kematian sudah seperti hal biasa di Everest. Semua pendaki, baik yang pemula sampai profesional sekalipun, tidak luput dari ancaman kematian di sana.
Sebelum berangkat, saya sudah minta izin ke ibu untuk mengikhlaskan. Kalaupun saya wafat, biarkan saja jenazah saya di sana, tak perlu repot-repot dibawa pulang ke Indonesia.
Momen hidup dan mati saya di Everest yang pertama saat pendakian tahun 1997. Saat itu lambung saya bermasalah dan harus turun ke base camp.
Menjelang mendekati tenda, badai mulai datang. Penglihatan saya semakin kabur. Sherpa juga tak terlihat. Akhirnya saya memilih duduk sambil memejamkan mata, berharap ada yang melihat saya.
Pikiran soal mati bolak-balik melintas. Saya teringat pesan sherpa sebelum berangkat untuk "mengikhlaskan segala hal dan menyerahkan kepadaNYA". Saya terus berdoa kepada Tuhan, memohon ampun dan keselamatan.
Beberapa menit kemudian mata saya yang awal berat pelan-pelan terbuka. Saya didatangi sherpa yang langsung mengantarkan saya ke tenda. Saya langsung makan, minum, tidur, dan tidak lupa mengucap doa masih bisa selamat.
Tahun 2012 saya mengalami hipoglikemi di base camp. Sampai hari ke-tiga, saya tidak bisa menggerakkan tubuh saya. Pikirannya sama, akan mati.
Hingga akhirnya saya mengikhlaskan diri kepada Tuhan. Bak sebuah keajaiban, di hari ke-empat, di saat matahari bersinar cerah, tubuh saya segar kembali dan bisa melanjutkan pendakian.
Gunung Everest selama ini dianggap sebagai gunung suci oleh penduduk sekitarnya, dan anggapan itu memang benar adanya.
Di puncak tertinggi ini, Tuhan serasa lebih dekat dengan kita.
Banyak pendaki yang datang dengan "ego" besar memecahkan rekor ini dan itu. Tapi pada akhirnya, sisi spiritual mereka ikut "tersentil" akan keagungan Sang Pencipta, bahkan bagi para pendaki yang awalnya mengaku ateis.
Sudah melewati berbagai momen hidup dan mati selama pendakian, apa yang Anda rasakan setelah berhasil summit di puncak gunung tertinggi di dunia?
Kwecheng: Saya summit di pagi hari, jadi antrean masih belum penuh, sehingga bisa merasakan 25 menit berada di puncak Everest.
Puncak Everest itu kecil. Luasnya 4x4 meter persegi mungkin. Kanan kirinya jurang, jadi tak bisa banyak-banyak orang. Mungkin 15 orang dalam sekali waktu masih cukup. Jadi kalau sudah terlalu penuh, ada ranger yang meminta pendaki yang sudah lama di atas untuk turun.
Haru sudah pasti. Sujud syukur lalu mengambil dokumentasi. Saking membuncahnya perasaan, saya hampir gagal merekam video. Rasanya masih tak percaya bisa berada di puncak tertinggi dunia.
Sejauh mata memandang, hanya hamparan gunung es dan langit yang terlihat. Mungkin seperti di surga. Tuhan terasa besar dan dekat, dan saya sebagai umatNYA terasa sangat kecil dan tidak berdaya. Haru sekali kalau diingat-ingat lagi.
Lucunya, di tengah keharuan saya dan teman, kami melihat kawanan sherpa yang asyik membakar rokok kretek, minum kopi, sambil berbincang di pinggir jurang.
Mereka terlihat santai, tanpa masker oksigen bahkan lepas jaket, seakan tak perlu membuktikan ego kepada siapapun bahwa mereka sudah sering bolak-balik ke puncak Everest hahaha...
 Momen Iwan Irawan melakukan pendakian Gunung Everest bersama tim Seven Summits Indonesia. (Dok. Seven Summits Indonesia) |
Sherpa memang sudah seperti manusia super, ya?
Kwecheng: Betul sekali. Saya sepakat dengan anggapan bahwa kalau ada superhero di dunia nyata, maka itu adalah sherpa.
Anak gunung yang paling anak gunung ya itu sherpa.
Intuisinya sudah tak terbantahkan lagi. Bahkan pengelola agensi yang kebanyakan orang Barat mengakui, kalau pendakian Everest tidak akan ada tanpa adanya sherpa.
Mustahil mendaki Everest tanpa sherpa.
Saya sendiri pernah melihat ada sherpa yang hanya mengenakan jaket seadanya dan celana jeans naik turun mengantarkan makanan di ketinggian 6.000 mdpl. Sementara pendaki lainnya sedang lunglai dengan jaket tebal dan tabung oksigennya.
Sherpa juga mengajarkan pendaki untuk menghormati gunung, yang selaras dengan penghormatan kepada Tuhan, apapun latar belakang agama pendaki.
Dengan menghormati alam, pendaki bisa menyadari kekuatan diri, yang akhirnya menghindarkan mereka sendiri dari ancaman-ancaman bahaya yang biasanya disebabkan oleh kenekatan akibat ingin "menaklukan gunung".
Sejarah pendakian Everest sudah 100 tahun lamanya. Apa evolusi terbesar yang ada lihat?
Kwecheng: Perlengkapan mendaki gunung semakin modern, ringan, dan memudahkan.
Hingga tahun 1990-an, tabung oksigen masih sangat berat. Sekarang, tabungnya berbahan alumunium yang dibungkus karbon, sehingga lebih ringan.
Belum lagi terobosan baru dalam hal jaket dan sepatu. Kita sebagai pendaki kini bisa tetap melindungi diri tanpa harus terhalang bahan yang tebal atau berat.
Tapi saya tetap angkat topi dengan para pendaki perintis. Di tengah keminiman teknologi dan teknik, mereka tetap bisa menjadi pionir summit di gunung-gunung, bahkan yang seterjal Everest.
Bayangkan, tim Inggris dulu bisa mendaki Everest dengan perlengkapan berlapis-lapis dan berat, sepatu dengan balutan wol berlapis-lapis agar tetap hangat.
Sudah pernah summit di Everest, apakah akan berencana ke sana lagi? Atau ada mimpi pendakian lainnya?
Kwecheng: Kalau bisa dibilang, saya sudah tidak ada lagi ambisi ke Everest. Tapi kalau diminta memandu pendaki-pendaki generasi muda Indonesia, saya siap melakukannya.
Mimpi pendakian saya lainnya ialah summit di K2, gunung tertinggi ke-dua di dunia yang ada di Pakistan, juga Khakaborazi yang merupakan gunung tertinggi di Asia Tenggara.
Ketinggian Khakaborazi bisa dibilang masih kontroversi, karena sempat ada tim Jepang yang ke sana, namun belum bisa membuktikan ketinggiannya.
Saya dan tim dari Indonesia punya rencana ke sana, kami sudah berlatih di Gunung Raung di Jawa Timur sampai Gunung Cook di Selandia Baru pada 2019, namun sayangnya awal tahun 2020 seluruh dunia lockdown. Konflik di Myanmar juga belum reda.
Doakan saja situasi membaik, sehingga tim Indonesia bisa menjadi yang pertama summit dan membuktikan ketinggian Khakaborazi. Tentu saja ini bisa menjadi prestasi bersejarah bagi pendakian Tanah Air dan dunia.
Untuk pendakian K2, saya masih harus meminta izin lebih lanjut dengan istri saya hehehe... Berhubung sekarang sudah berkeluarga dan punya anak, izinnya tidak cuma kepada orangtua saja.
Pendakian di K2 juga tak kalah berbahaya dengan Everest, jadi saya harus menyiapkan fisik dan mental. Sudah harus siap-siap lagi kehilangan nyawa jika Tuhan punya rencana lain untuk saya di sana.