Jakarta, CNN Indonesia --
Ini ceritaku dan ayahku.
Apa yang kamu bayangkan ketika duniamu berubah 180 derajat dalam hitungan jam?
Duniamu yang sebelumnya baik-baik saja dalam satu malam tiba-tiba berubah menjadi malam yang tak kunjung terang. Hari-hari berlari cepat namun rasanya langkahmu tetap diam di tempat. Tak bisa berbuat apa-apa selain penyesalan dan amarah yang tersisa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Waktu itu, hari Sabtu, semuanya tampak baik-baik saja, beliau pun tengah asik menyapu halaman rumah yang rimbun dan penuh daun berguguran. Tiba-tiba, beliau terhenti sejenak, tangannya kaku, terkulai lemas tak bertenaga, katanya. Mungkin karena lapar, batinnya.
Tak berapa lama, ayah bergegas ke meja makan dan menyuap sepiring bubur yang sudah dibeli ibu untuk sarapan.
Sayangnya, itu bukan karena lapar. Siang hari, ayah mulai merasa tak enak badan. Ibu mengajaknya mengunjungi rumah kakaknya agar kembali bisa tertawa. Namun, hingga matahari tenggelam, saat kembali pulang, raut wajah ayah masih tetap muram.
Ibu memeluknya sembari berkata, "Ayo Pak, Bapak pasti sehat".
Namun, tidak seperti biasanya, ayah mengakhiri hari lebih cepat dan pergi tidur pukul 8 malam. Ini tak seperti Bapak biasanya.
Saat aku dan adik-adik sudah mulai menutup diri di kamar hendak untuk tidur, ibu mengetuk kamarku. Suaranya terdengar tenang, tapi mukanya tampak cemas.
"Bapak enggak enak badan. Bapak minta ke rumah sakit sekarang," kata Ibu.
Aku kemudian bertanya, "Kenapa? Ke mana?".
Dengan singkat ibu menjawab, "RS Pusat Otak di Cawang".
Pikiranku langsung semrawut dan bertanya-tanya kenapa ke rumah sakit otak, ada apa dengan otak bapak, apa yang diderita bapak selama ini.
"RS-nya dekat dari kantor kamu, jaga-jaga aja bawa pakaian untuk ke kantor besok pagi ya," kata ibu.
Dalam kondisi se-sempit ini, ibuku masih saja memikirkan pekerjaanku. Aku hanya bisa manut dan dengan cepat menarik pakaian pertama yang terlihat di depan mata, memasukkan semuanya ke tas. Dengan pikiran yang berkecamuk tak jelas dan menenteng tas, kami pergi ke rumah sakit. Aku kalut, bingung, tapi aku harus tetap kuat demi orangtuaku.
Pukul 11 malam, kami menyusuri jalan di kawasan Jakarta Selatan yang sudah sepi. Sebagian jalannya sedang dalam perbaikan dan ada penutupan jalan di sejumlah titik. Mobil kami pun terpaksa harus mengikuti jalur yang sudah ditentukan, hingga kami berhenti di persimpangan terdekat dari rumah sakit. Ada penjaga jalan di sana.
"Pak kami mau ke RS Pusat Otak, tolong beri kami jalan", kataku kepada penjaga jalan itu.
Beliau pun dengan cepat langsung membuka jalan, sehingga mobil kami bisa masuk ke kawasan rumah sakit tanpa harus memutar jauh lagi.
Simak sudut cerita Aku, Ayahku, dan Stroke di halaman berikut ini.
Setibanya di IGD, ayahku masih bisa berjalan tegap dengan sisa tenaganya. Dokter di IGD memintanya untuk berbaring dan melakukan sejumlah pemeriksaan.
Pada tes pertama, terlihat kedua tangan dan kaki ayahku sudah tidak seimbang saat diminta untuk diangkat setinggi mungkin. Sontak wajahnya juga mulai terlihat miring sedikit di bagian bibir.
Dokter lalu memintanya untuk melakukan beberapa tes di laboratorium. Kami sekeluarga hanya bisa menunggu di kursi ruangan tunggu.
Tiga jam berlalu, hasil tes keluar. Yang aku takutkan pun terjadi. Dokter mengatakan ada penyumbatan pembuluh darah di dua titik dekat otak kirinya dan satu titik dekat otak pusatnya.
Diagnosis pertama adalah stroke. Iya, ayahku dinyatakan stroke saat itu juga dan harus dirawat inap.
Dua hari ayahku dirawat di rumah sakit, kondisinya tak kunjung membaik. Sebaliknya, hampir seluruh badannya tidak bisa digerakkan sama sekali. Ayah menangis, menangisi keadaannya. Ini air mata dari pria yang selama ini selalu terlihat tangguh dan kuat, pria yang sejak kecil selalu menggendongku saat aku menangis, dan pria yang selama ini selalu bekerja keras demi istri dan anak-anaknya.
Tapi kini, air matanya menyadarkanku bahwa ayah, sang Superman, juga manusia yang juga punya air mata. Air mata yang selama ini disembunyikanya, luruh tak tertahankan di kedua pipinya.
Delapan hari beliau dirawat di rumah sakit hingga dinyatakan secara emosional sudah stabil, ayahku diizinkan untuk pulang ke rumah dan menjalani pelayanan rawat jalan.
Stroke ayah membuat tangan kanannya tidak bisa mengangkat beban apapun. Hatiku pedih ketika melihatnya membuka resleting tas dengan giginya.
Ayahku yang dulunya aktif dalam olahraga voli, badminton, dan tenis, kini hanya bisa menggerakan tangan kirinya. Ayahku yang dulunya tinggi, gagah, berisi, dan ceria kini menjadi tinggi, kurus, dan murung.
Ayahku yang dulunya sangat kreatif dalam urusan pertukangan, kini hanya bisa bekerja di depan layar laptop sambil duduk dengan mengenakan satu lengan tangan kirinya.
Bukan hanya kondisi fisiknya saja yang berubah, dalam sekejap emosinya turut berubah. Ayahku yang dulu murah senyum dan 'jayus', kini berubah menjadi pemurung dan pemarah.
Kepercayaan dirinya meredup dan yang diperlihatkan hanya rasa takut. Hal ini membuat kondisi emosional keluarga di rumah pun menjadi tidak stabil. Berbulan-bulan kami beradaptasi dengan kondisi yang baru, hingga akhirnya kami hanya bisa menemukan formulanya untuk ikhlas menerima kehidupan yang baru.
Hidup yang serba penyesuaian dan tenggang rasa tinggi antar sesama di rumah. Hidup yang serba penuh pengertian karena dipaksa mengerti kondisi ayah yang tiba-tiba sakit.
Dua tahun sudah berlalu kami bertahan dengan kondisi seperti ini, ayahku perlahan mulai bangkit. Beliau mulai kembali berolahraga sedikit demi sedikit sekadar untuk mengencangkan otot-ototnya kembali. Beragam terapi dan pengobatan masih terus beliau jalankan. Meski berat kakinya tuk melangkah, tetap dijalankan dengan sisa semangat yang dimilikinya.
Ayah yang selama ini menjadi tameng keluarga, dalam sekejap menjadi sosok yang paling menyita perhatian. Namun demikian, cintanya kepada keluarga akan tetap terasa walau dengan caranya yang berbeda.
Selamat Hari Ayah, Ayah. Kami akan selalu menyayangimu.