SUDUT CERITA

'Nerakaku, Kantor Toxic-ku'

CNN Indonesia
Minggu, 12 Des 2021 16:00 WIB
Panggil saja saya Isya, seorang karyawan swasta yang merasakan pusingnya punya kantor yang saya sebut super toxic. Ini cerita saya.
Panggil saja saya Isya, seorang karyawan swasta yang merasakan pusingnya punya kantor yang saya sebut super toxic. Ini cerita saya.(CNNIndonesia/Astari Kusumawardhani)

Kantor dan sistemnya semakin toxic buat saya setiap harinya, terutama bagi karyawan yang sakit. Saya pernah terkena covid-19 tahun lalu. Beruntung saya tak alami gejala apapun dan bahkan tak merasakan apapun. Dokter bilang kemungkinan hanya karena sisa-sisa jasad virus dalam tubuh yang terdeteksi PCR kala itu.

Beberapa rekan lain juga banyak yang terinfeksi, maka grup support untuk pasien covid-19 di kantor pun dibentuk. Sayangnya, dengan nama 'grup support' grup ini sama sekali tidak mendukung si sakit. Sebaliknya hanya sebagai informasi bagi orang yang sudah sembuh, harus masuk kerja lagi, atau bahkan info seputar pekerjaan. Ah, kesal.

Beberapa orang sudah sempat ngoceh dan mengeluhkan soal grup ini. Tapi tak ada respons balik dan perbaikan dari admin tim support. Lima hari setelah dinyatakan terinfeksi covid-19, saya diharuskan PCR kembali di rumah sakit karena saya isolasi mandiri di rumah. Sehari kemudian HRD langsung menginformasikan ke grup support soal hasil PCR. Saya sudah dinyatakan negatif.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seketika itu juga, saya 'ditendang' dari grup support dan dijapri oleh bos HRD.

"Kamu sudah negatif, besok masuk kerja lagi."

Tak habis pikir, saya lantas membalas pesannya dengan aturan wajib Covid-19 dari pemerintah tentang menyelesaikan isolasi mandiri sampai 2 minggu. Kantor tak setuju.

Akhirnya saya memutuskan untuk ambil cuti demi menyelesaikan masa isoman saya sampai tuntas. Saya tak mau ambil risiko.

Kembalinya ke kantor dan berbekal ongkos PCR sendiri (saat itu masih sekitar Rp700 ribuan) yang tak bisa reimburse kantor, omongan-omongan soal saya masih tak surut. 'Kok bisa sih dia kena? kan dia enggak ngapa-ngapain?"

Capek hati ini mendengarnya. Akhirnya hari demi hari saya masih kembali bekerja. Demi bisa kerja lebih baik, saya memutuskan untuk sedikit bergeser meja ke dekat teman-teman saya di beda divisi.

Melihat itu, bos HRD menghampiri dan menegur saya. Saya sempat bilang kalau saya butuh konsentrasi kerja dan tak bisa bekerja di open space di mana banyak orang yang membicarakan saya di belakang.

"Keluar saja." katanya saat itu saat dia mendengar saya tak bisa bekerja di meja itu. 

Panas kuping dan hati saya mendengar itu. Saya pindah kursi hanya sementara dan demi menyelesaikan kerjaan. Saya tak ngobrol atau buang-buang waktu duduk di situ. Apa salah saya?

Kondisi makin menjadi ketika salah seorang rekan kerja saya meninggal dunia. Managemen kantor seolah tak peduli, uang santunan didapat dari uang sumbangan kawan-kawan yang berduka saja. Sekadar ucapan dan bunga dukacita saja, atau sekadar mereka menunjukkan batang hidungnya pun mereka tak mau.

Kalau Anda masih bingung kenapa saya masih bertahan kerja di sini, jawabannya sederhana, belum ada pekerjaan baru. Klise memang, tapi ya mau gimana? 

Nyatanya, ketika saya bicara ini ke orang tua, mereka masih belum merestui saya untuk pindah kerja karena belum mendapat pekerjaan yang baru. Jadi sampai saat ini saya masih bertahan sembari mencari-cari kesempatan baru agar terbebas dari kantor dan orang-orang yang toxic ini.

(chs)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER