Memang bukan perkara mudah untuk membesarkan seorang anak bagi perempuan dengan titel janda, atau ibu tunggal.
Tantangan yang dihadapi tak sebatas masalah ekonomi untuk memenuhi kebutuhan anak dan diri sendiri, tapi juga terkait pandangan miring yang berujung diskriminasi terhadap pribadi.
Inilah yang saya hadapi, pandangan miring dan diskriminasi dari pihak sekolah hanya karena saya ingin nama Poppy Dihardjo terpampang di ijazah anak saya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Poppy adalah nama saya.
Saya membuat petisi di change.org tentang nama ibu yang seharusnya bisa tercantum di ijazah anak. Terutama bagi para ibu tunggal.
Perjalanan ini sebenarnya dimulai dari orang lain, seorang teman yang membagikan kesedihannya pada saya beberapa waktu lalu.
Semula, saya juga tidak memikirkan soal nama siapa yang harusnya tertulis di ijazah sekolah anak saya. Tidak terbersit di pikiran, karena memang tidak tahu juga kalau biasanya nama ayah kandung akan terpampang di kertas yang jadi penanda kelulusan itu.
Hingga suatu waktu, seorang teman menyampaikan keluhannya soal nama mantan suaminya yang bertengger di ijazah anaknya yang baru saja lulus sekolah dasar. Padahal, mantan suaminya itu tak berkontribusi apapun, baik secara moril maupun materil terhadap kehidupan dia dan anaknya setelah resmi bercerai. Tak menyumbang apapun pada kelulusan sang anak.
Saya sempat kaget, hingga akhirnya berinisiatif memeriksa ijazah saya di masa lalu. Benar saja, di sana hanya nama ayah yang terpampang, tanpa sedikit pun nama ibu di sana.
Saya kemudian berpikir ini juga bisa menimpa ijazah anak saya kelak. Kebetulan 2022 mendatang anak saya lulus dari salah satu sekolah dasar di Jakarta. Karena takut bukan nama saya yang ditulis di ijazah, saya pun berinisiatif mendatangi langsung kepala sekolahnya.
Saya ingat betul, awal Oktober kemarin saya bertemu dengan kepala sekolah yang kerap disapa dengan panggilan Mis itu. Saya tanya apakah nama saya bisa tercantum di ijazah anak saya kelak, dan tanpa basa basi kepala sekolah langsung berkata tidak.
Banyak alasan yang dia ungkap. Salah satu yang paling membuat hati saya sakit adalah cara dia memandang saya sebagai ibu tunggal. Padahal, sejak saya resmi bercerai pada 2018 lalu pihak sekolah sudah tahu bahwa putra saya hanya dibesarkan ibunya tanpa ayah sejak 2015 lalu karena konflik pernikahan.
Pihak sekolah ngotot bahwa nama ayah yang tercantum di ijazah sudah sesuai dengan peraturan pemerintah. Tapi, setiap kali saya bertanya aturan yang mana, mereka tak bisa menjawab.
Bagaimana mau menjawab, aturannya pun memang tidak ada kok.
Aturan yang menyebut soal mencantumkan nama itu tak spesifik menyebut ayah atau ibu, hanya orang tua sah yang namanya ada di akta lahir. Hey, nama yang muncul di akta lahir bukan hanya ayah tapi nama ibu juga ada di sana.
Penolakan tetap gencar mereka lakukan. Hingga pada satu titik mereka menyebut anak saya bisa mengalami gangguan psikologis karena status janda saya dan nama yang terpampang di ijazah.
Saya marah, kecewa dan merasa terhina.
Apa landasan mereka mendiagnosis psikologis anak saya padahal jelas mereka bukan psikiaternya? Tak hanya itu, salah satu alasan mereka menolak menyantumkan nama saya dalam ijazah adalah karena anak saya disebut akan susah meniti jenjang karier.
Saya tak habis pikir, kenapa mereka bisa semudah itu mengucap kata. Tak hanya lisan, sikap verbalnya pun membuat saya merasa terhina.
Keinginan saya semakin terpompa, apalagi saya juga yakin, tentu ibu tunggal yang mengalami ini tak hanya saya dan sahabat.
Bukan hanya perkara nama, ini adalah sebuah identitas yang harusnya diakui. Wanita yang berperan sebagai ibu tunggal juga orang tua, bukan pengasuh. Kami legal secara hukum maupun adat.
Perdebatan terus bergulir, saya bersikukuh ingin nama Poppy Dihardjo tercantum di ijazah anak saya kelak. Pihak sekolah menyampaikan berbagai syarat, dan salah satunya harus mendatangkan mantan suami saya untuk memberi persetujuan tersebut.
Saya pikir, ini benar-benar gila. Bagaimana bisa saya mendatangkan orang yang bahkan tak memiliki kontribusi apapun dalam mendidik, membiayai, dan memberi perhatian serta kasih sayang pada anak saya.
Saya rasa, syarat itu hanya akal-akalan pihak sekolah agar saya mundur dari keinginan tersebut.
![]() |
Gayung bersambut, setelah saya melakukan berbagai usaha, salah satunya dengan mengunggah di media sosial perihal diskriminasi yang saya alami sebagai ibu tunggal, pihak sekolah akhirnya setuju menjalankan keinginan saya.
Meski demikian mereka sama sekali tak meminta maaf atas sikap diskriminasi dan diagnosa psikologis, hingga sikap sok tahu terhadap masa depan anak saya.
Mereka hanya menyampaikan permohonan maaf atas "gangguan ketidaknyamanan yang dialami saya".
Memang benar saya menang, tapi mereka tak menyadari kesalahannya. Saya juga menang, tapi mungkin ada ribuan ibu tunggal yang tak memiliki keistimewaan seperti yang saya miliki, hingga akhirnya harus menelan mentah-mentah keputusan pihak sekolah.
Maka, saya juga berencana agar pemerintah mengubah regulasi terkait aturan nama dengan menambah kalimat sederhana di ujung aturannya, bahwa nama yang tercantum di ijazah adalah nama orang tua dan tak terpaku pada ayah saja.
Hujan sore itu di Jakarta, dan teriakan anak menyadarkan saya bahwa sebagai ibu tunggal diskriminasi memang bisa didapatkan kapan saja dan dari siapa saja. Hanya saja bagaimana kita melawan diskriminasi itu adalah hal paling konkrit yang bisa dilakukan.
Lagi pula, menjadi ibu tunggal bukan dosa hingga harus dipandang sebelah mata.
(chrs/vws)